Dengan memasuki cuaca panas, berbagai masalah lain turut mengintai kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Hal ini disertai dengan minimnya curah hujan dan kecepatan angin yang rendah, sehingga partikel yang berbahaya mengendap dan tidak terurai serta mendorong terhirup (atau terkonsumsi) oleh masyarakat.
Salah seorang pengamat lingkungan Emilya Nurjani menjelaskan pencemaran udara bisa meningkat di masa curah hujan yang minim, hal ini juga diperburuk dengan intensitas transportasi, industri dan penggunaan bahan material seperti batu bara.
“Secara teori memang benar, karena jika ada hujan maka gas hasil pembakaran akan larut dengan air dan diturunkan ke permukaan sehingga udara kembali bersih. Dengan kondisi sekarang di mana sudah lama tidak hujan dan kelembaban juga cukup rendah, keberadaan gas tadi jadi banyak,” terangnya dalam laman resmi Universitas Gadjah Mada (10/08/2023).
“Kecenderungannya di musim penghujan kualitas udara lebih bagus dibanding musim kemarau, tapi pada saat pandemi kita melihat bahwa kualitas udara juga cukup baik bahkan saat musim kemarau. Jadi itu bukan satu-satunya variabel, meskipun musim penghujan tetap jika sumber pencemaran cukup tinggi maka kualitas udara bisa buruk juga,” lanjutnya.
Pada April 2024, cuaca panas sudah menghampiri wilayah Indonesia. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan peningkatan fenomena suhu panas ini karena posisi semu matahari yang dekat dengan Khatulistiwa. Ini adalah siklus umum yang terjadi setiap tahun.
”Kondisi ini membuat suhu udara di sebagian wilayah Indonesia menjadi relatif cukup terik saat siang hari,” ujar Guswanto selaku Deputi Bidang Meteorologi BMKB dilansir dari Kompas.com (7/4/2024).
Lebih jauh Guswanto menjelaskan bahwa potensi hujan lebat dan angin kencang tetaplah ada di Indonesia, sehingga janganlah khawatir akibat cuaca panas yang mulai meradang di sekitar kalian.
Akan tetapi cuaca panas yang berkepanjangan mampu mendorong peningkatan konsentrasi partikulat matter (PM) 2,5 dan ozon di permukaan tanah.
Secara sederhana PM 2,5 adalah jenis partikulat yang berukuran sangat kecil dan dapat menimbulkan berbagai penyakit. PM 2,5 sangat berbahaya lantaran mikrooirganisme dalamnya dapat menyebabkan berbagai penyakit pernafasan, sehingga polusi udara jelas mengganggu kesehatan paru masyarakat.
Selain kesehatan paru, polusi udara dapat mengganggu kesehatan mental seseorang. Polusi udara mendorong dan memperparah kesehatan mental hingga menyebabkan depresi, kecemasan, gangguan kepribadian, demensia dan skizofrenia.
Dalam penelitian lain juga mendorong kemunculan demensia (menurunnya kemampuan berpikir dan ingatan, biasanya terjadi pada usia 65 tahun ke atas).
Paparan polusi udara dapat menyebabkan peradangan sistemik, kerusakan pada sawar darah-otak (sistem pelindung otak), dan peningkatan peradangan saraf yang dapat menyebabkan kematian saraf.
Hal ini lantaran mikroglia (sistem imun saraf pusat) terkontaminasi, sehingga akibatnya komponen yang membahayakan saraf dapat lolos dan menyebabkan demensia. (Wilker dkk, 2023)
Temuan lain yang berjudul Air Pollution and Emergency Department Visits for Mental Disorders among Youth (2020) oleh Szyszkowicz dkk, mencatat polusi udara memperburuk orang yang memiliki gangguan penggunaan zat (Substance-Related Disorder), gangguan suasana hati (Mood Disorder), gangguan kecemasan (Anxiety Disorder), dan gangguan Skizofrenia-Psikotik (Schizophrenic and Psychotic Disorders).
Hal ini ditinjau dari jumlah kunjungan selama tahun 2004 – 2015 di Toronto, Kanada dalam paparan polusi udara nitrogen dioksida, partikulat matter 2.5, dan ozon. Akibatnya intensitas kunjungan konsultasinya meningkat.
Dalam temuan lain dengan metode yang tidak berbeda jauh yakni intensitas kunjungan konsultasi di tengah paparan polusi udara yang berjudul The association between short-term ambient air pollution and daily outpatient visits for schizophrenia: A hospital-based study (2019) oleh Liang Dkk.
Dengan mengambil sampel dan titik fokus di kota Xi’an, kota industri dengan polusi terberat di Tiongkok. Adapun jangka waktu yang ditilik adalah dari 1 Oktober 2010 – 31 Desember 2013.
Kesimpulannya, paparan jangka pendek terhadap polusi udara sekitar yakni partikulat matter 10, sulfur dioksida, dan nitrogen dioksida, dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko kunjungan rawat jalan setiap hari untuk skizofrenia.
Terburuk dari semua itu polusi udara juga mampu meningkatkan jumlah kematian bunuh diri, yakni setiap peningkatan 1 g/m3 PM2.5 harian adanya peningkatan 0,49% pada kasus bunuh diri harian dan 0,171 lebih banyak rawat inap terkait bunuh diri (peningkatan sebesar 50%) (Persico dan Marcotte, 2022).
”Polusi dapat menyebabkan peradangan di otak, defisit serotonin, dan mengganggu jalur respons stres. Kondisi tersebut membuat perilaku depresi dan impulsif lebih mungkin terjadi,” tulis Wawan Kurniawan dalam The Conversation (25/09/2023).
Dengan melihat kenyataan di atas, ada baiknya, bahwa masing-masing kita menyiapkan dan antisipasi terhadap segala bentuk polusi udara yang ada di sekitar, baik yang berada di dalam ruangan maupun yang di luar ruangan. Karena Bumi Cuma Satu, Berdaya Sekarang. (AFP/ DMC Dompet Dhuafa)