Mengapa Kebun Sawit Tidak Sama dengan Hutan? 

Kita mungkin tidak bisa banyak berdebat tentang ini: Sawit merupakan salah satu komoditas paling penuh persaingan di negara-negara berkembang. Minyak sawit telah digunakan oleh seantero dunia untuk berbagai produk seperti makanan, non-makanan, dan bahan bakar nabati.  

Permintaan akan komoditas pertanian ini amat tinggi, dan Indonesia menjadi salah satu negara penopang terbesar permintaan minyak sawit di seluruh dunia. 

Demam komoditas sawit di dunia menjadi faktor pengembangan proyek sawit di Indonesia dari tahun ke tahun. Indonesia mengembangkan proyek perkebunan sawit besar-besaran hingga menjadi produsen/pengekspor utama komoditas ini.  

Implikasi dari hal ini adalah pembukaan lahan untuk ditanami bibit tanaman sawit—yang pada sejarahnya berasal dari Afrika Barat ini.  

Dalam kurun waktu 2011 hingga 2023, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat dari 7,8 juta hektar menjadi 16,8 juta hektar, yang berarti pertumbuhan lebih dari dua kali lipat dalam periode tersebut (Katadata.co.id). 

Namun dari serangkaian angka gigantik produksi sawit dan keuntungan yang didapat, kita mesti sekali memperdebatkan bila ada satu gagasan yang menyamakan perkebunan sawit dengan hutan. Karena persepsi tersebut jelas-jelas keliru.  

Di balik bayang-bayang produksi komoditas ekspor yang menguntungkan ini, ekosistem hutan tropis yang heterogen telah dikonversi secara cepat menjadi bentangan luas tanaman tunggal (monokultur).  

Transformasi tersebut telah mengakibatkan rusaknya keanekaragaman hayati yang terkandung dalam hutan, yang pada alamiahnya merupakan tempat hidup dari segala jenis tetumbuhan, dan berbagai macam spesies. Mereka semua banyak menggantungkan hidupnya pada keberadaan hutan tropis yang ada.  

Selama dua dekade terakhir, industri sawit telah melahap 9,79 hektare hutan tropis di Indonesia (atau 11 persen dari luas hutan pada tahun 2000). 

Menurut Kazuki Iwasa dalam buku Pancaroba Tropika: Perubahan Lingkungan Hidup di Asia Tenggara (2021), perluasan pengembangan perkebunan sawit yang berlebihan membuat Indonesia menghadapi masalah-masalah seperti lenyapnya keanekaragaman hayati secara besar-besaran, pembabatan hutan, pembakaran hutan, dan sengketa lahan. 

Selain itu, meskipun sama-sama tumbuhan yang memiliki daun, batang, dan akar, serta kemampuan menyerap karbondioksida di udara, perkebunan sawit tidak bisa disejajarkan dengan peran besar hutan di Bumi. 

Melansir artikel di Kompas.id yang berjudul Sesat Pikir Deforestasi demi Sawit menjelaskan bahwa sekalipun sawit menyerap karbon, namun jejak total emisinya lebih besar.  

Perubahan penggunaan lahan merupakan sumber utama emisi sawit yang monokultur. Misalnya, emisi sawit yang ditanam di lahan gambut enam kali lebih besar daripada rata-rata.  

Kebun Sawit dan Potensi Bencana yang Muncul 

Industri minyak sawit tidak berdiri sendiri, ia erat kaitannya dengan perkebunan sawit. Dua hal ini terhubung dalam rantai komoditas yang panjang dari hulu ke hilir.  

Sebagaimana lahan produksi pertanian lainnya, perkebunan sawit dibentuk. Beberapa kasus, kebun sawit berdiri di atas hutan yang dibuka secara besar-besaran.  

Melansir Mongabay Indonesia dalam artikel berjudul Perkebunan Sawit, Bom Waktu Bencana Alam Kalbar, pembukaan lahan baru berskala besar dengan pola membakar atau mekanisasi menggunakan alat berat pasti mengubah kontur alam untuk areal tanam. 

Anak-anak sungai dan cekungan yang terdapat di hutan sebagai media yang menampung air hujan, kini berubah menjadi dataran yang landai dan tak bisa menjadi area penampung air hujan. Akibatnya air akan mencari jalan ke tempat yang paling rendah, dan bisa jadi itu adalah pemukiman warga.  

Problem ini akan menjadi serius, hutan mengalami degradasi. Salah satu fungsinya sebagai penyimpang cadangan air hilang. Hal ini bisa berdampak pada munculnya potensi bencana banjir.  

Hutan adalah ekosistem kompleks yang menyimpan kehidupan ribuan spesies flora dan fauna, menyediakan jasa ekosistem penting, serta berperan sebagai penyerap karbon alami. Sebaliknya, perkebunan sawit adalah lanskap monokultur yang homogen, yang secara ekologis tidak mampu menyamai fungsi hutan tropis. 

Perbedaan ini terletak pada kemampuan hutan dalam menyediakan berbagai fungsi ekosistem. Hutan tropis tidak hanya menyerap karbon dioksida tetapi juga mengatur siklus hidrologi, mencegah erosi, menjaga kualitas tanah, dan mendukung keanekaragaman hayati. Sementara itu, perkebunan sawit cenderung merusak siklus ini.  

Selain itu, penggunaan pestisida dan pupuk kimia yang intensif di perkebunan sawit juga mencemari lingkungan. Limbah kimia ini mengalir ke sungai dan lautan, merusak ekosistem perairan, dan mencemari sumber air bersih bagi masyarakat sekitar. 

Hutan adalah paru-paru dunia yang tidak tergantikan. Mengorbankannya untuk komoditas seperti sawit adalah keputusan yang harus dikaji ulang secara mendalam, karena keuntungan finansial jangka pendek tidak sebanding dengan kerugian ekologis dan sosial yang kita tanggung di masa depan. Karena Bumi Cuma Satu, Berdaya Sekarang. (MAA/DMC Dompet Dhuafa)