Banjir Semakin Marak: Apakah Ini Pertanda Nenek Moyang Manusia Merupakan Makhluk Air?

Well, hari sudah menunjukan tanggal 18 Juli 2024, terhitung sudah 200 hari berlalu semenjak awal tahun 2024 ini. Dengan lamanya hari berlalu, semakin besar pula jumlah bencana yang ada di Indonesia.

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 18 Juli ini ada 694 kejadian bencana banjir. Jumlah tersebut sebanding dengan 1 : 3, secara kasar, satu hari ada tiga kejadian bencana banjir di Indonesia.

Secara keseluruhan ada 1.051 kejadian bencana di Indonesia dengan total 316 jiwa meninggal dunia, 667 luka-luka, 46 hilang dan 4.297.585 mengungsi dan menderita.

Jika ditotal maka ada 4.298.614 jiwa yang terdampak. Hampir dua kali lipat dari jumlah korban judi online yakni 2,37 juta.

Jika dibandingkan dengan jumlah hari yang berlalu hingga saat ini, maka setiap harinya ada 21.494 jiwa terdampak akibat bencana.

Jumlah tersebut mengingatkan saya dengan jumlah korban kematian lonely death di Jepang.

Dengan 21 ribu jiwa terdampak, itu setara dengan luas lahan 105 kilometer persegi, jika menghitung dengan berdasarkan kepadatan penduduk 200 orang per kilometer persegi.

Luas lahan tersebut sudah mendekati luas lokasi wisata Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yakni 152 kilometer persegi.

Sulit membayangkan jika satu hari ada tiga kejadian banjir dan 21 ribu jiwa terdampak yang meliputi hampir luas lahan yang setara dengan lokasi taman wisata nasional.

Indonesia sendiri memang rentan terhadap bencana banjir. Menurut Aqueduct Global Flood Analyzer, ada tiga penyebab banjir di Indonesia yaitu berkurangnya tutupan pohon, cuaca ekstrem (perubahan iklim), dan kondisi topografis Daerah Aliran Sungai (DAS).

“Kondisi topografis wilayah juga tentunya berpengaruh terhadap terjadinya banjir di Sulawesi Selatan dan Bengkulu, akan tetapi karena kemiringan lereng kedua DAS tersebut didominasi oleh datar (0-8%) sampai curam (25-40%), pengaruhnya akan lebih sedikit jika dibandingkan dengan kondisi topografis pegunungan Cyclop yang didominasi lereng sangat curam (>40%),” tulis World Resources Institute (WRI) Indonesia.

Contoh nyata tutupan pohon yang berkurang dan menyebabkan banjir adalah di Provinsi Jambi. Contoh banjir akibat cuaca ekstrim bisa terlihat di Demak, di mana sungai tidak bisa menampung luapan air hingga merendam rumah warga.

Wilayah Demak lainnya justru sudah terdampak akibat abrasi yang dahsyat akibat meningginya permukaan air dan dampak panjang perubahan iklim.

Di wilayah perkotaan, banjir juga terjadi akibat minimnya resapan air. Lantaran gedung-gedung besar dan lokasi-lokasi wisata yang kurang memperhatikan mitigatif bencana, mengakibatkan banjir sering terjadi. Misalnya di Semarang, Riau, Kendari, Aceh, Jakarta, bahkan wilayah yang berdekatan dengan Ibu Kota Negara (IKN).

Lalu apakah ini tandanya Indonesia ditakdirkan hidup dalam air akibat maraknya banjir? Atau justru memang nenek moyang kita yang berasal dari air? Well…usut punya usut, ada teori menarik soal hal ini.

*Kerasakti yang Suka Diobok-obok*

Tahun 1960an muncul hipotesa tentang Kera Air (The Aquatic Ape), yang pertama kali muncul dari tulisan dari pakar biologi kelautan Sir Alister Clavering Hardy atau biasa disebut Alister Hardy. Kemudian dikembangkan oleh seorang pakar antropologi Elaine Morgan pada tahun 1970an.

Wait what? Really?

Hipotesa Kera Air melihat ciri-ciri fisiologis dan perilaku manusia modern dapat dijelaskan oleh adaptasi terhadap lingkungan air pada masa evolusi manusia.

Jadi bukannya manusia adalah nenek moyang kera yang hidup di air. Bukan juga manusia duyung, kalau itu mah Amanda Manopo saja, atau kalau mau agak retro yah Ayu Azhari, anak kelahiran 90-an pasti tahu sinetron Putri Duyung.

Hipotesa Kera Air ini melihat bahwa kemampuan manusia berjalan dengan dua kaki semula untuk adaptasi bergerak di perairan dangkal, seperti berjalan di dasar sungai atau pesisir pantai.

Rambut tubuh yang minim juga mengindikasikan sebuah bentuk adaptasi yang semula untuk berenang atau hidup di air, di mana rambut tubuh yang lebih sedikit akan mempermudah pergerakan dalam air.

Manusia telah kehilangan seluruh rambutnya kecuali di kepala, yaitu bagian tubuhnya yang menonjol keluar dari air saat ia berenang: rambut tersebut mungkin disimpan sebagai pelindung terhadap sinar matahari tropis.

”Rambut, di bawah air, secara alami kehilangan fungsi aslinya untuk menjaga tubuh tetap hangat karena bertindak sebagai penghantar panas yang buruk; kualitas itu, tentu saja, bergantung pada udara yang tidak bergerak di ruang di antara bulu-bulu – prinsip yang diterapkan pada pakaian dalam Aertex,” tulis Alister Hardy dalam ”Was Man More Aquatic in The Past?” (1960).

”Ketika membahas rambut, menarik untuk dikemukakan bahwa apa yang disebut “jalur rambut” – arah letak rambut di berbagai bagian tubuh – berbeda pada Manusia dan pada kera; Yang perlu diperhatikan terutama adalah bulu-bulu di punggung, yang semuanya menunjuk pada garis-garis yang bertemu secara diagonal menuju garis tengah, persis seperti aliran air yang mengalir mengelilingi tubuh dan bertemu, ketika ia berenang ke depan seperti katak,” lanjut Hardy.

Kemudian hiotesa ini melihat manusia memiliki lapisan lemak subkutan yang lebih tebal dibandingkan dengan primata darat lainnya. Hipotesa ini menyatakan bahwa lapisan lemak tersebut adalah adaptasi untuk mengatur suhu tubuh di air yang lebih dingin.

Lalu kelenjar keringat manusia dinilai memungkinkannya pendinginan tubuh yang efisien, dianggap sebagai adaptasi untuk mengatur suhu tubuh saat beraktivitas di perairan atau di sekitar air.

”Banyaknya kelenjar keringat pada manusia memungkinkannya bertahan di iklim tropis dan tetap mempertahankan lapisan lemak dalam jumlah besar yang diperlukan untuk kehidupan akuatik,” tulis Hardy.

Terakhir hipotesa ini mengusulkan bahwa manusia pra-sejarah mungkin telah mengonsumsi lebih banyak sumber makanan dari air, seperti ikan dan sumber protein lainnya yang tersedia di lingkungan air.

Hipotesa ini kembali muncul di tahun 1970 dengan penjelasan lebih rinci oleh Elaine Morgan.

Menurutnya di beberapa bagian Afrika, pada periode yang sama, terjadi perubahan lingkungan yang drastis. Laut menerjang dan membanjiri wilayah yang luas di utara benua. Sebagian kawasan hutan terputus dari wilayah Afrika lainnya sehingga membentuk pulau-pulau dan rawa-rawa laut.

”Populasi kera yang terdampar di pulau-pulau tersebut mungkin menyadari bahwa sumber makanan mereka berkurang dan beralih ke laut di sekitar mereka untuk menambah makanan mereka. Beberapa orang mungkin mendapati habitat arboreal mereka berubah menjadi rawa dan terpaksa tenggelam ke dalam air,” tulis Elaine dalam The Aquatic Ape (1982).

”Keinginan mereka untuk belajar berenang mungkin serupa dengan keinginan Bekantan di hutan Kalimantan yang sering tergenang air. Ada kemungkinan bahwa keadaan darurat seperti itu, pada masa-masa sebelumnya, menyebabkan perubahan pada kehidupan laut nenek moyang paus, anjing laut, dan lembu laut, karena, sebagaimana dikemukakan oleh J. Z. Young, spesies-spesies ini pada mulanya hanya “belum terbiasa beradaptasi” dengan situasi akuatik seperti kera Afrika,” lanjut Elaine.

*Kontroversi dan Minimnya Bukti*

Hipotesa ini telah kontroversial dan sering kali dianggap sebagai hipotesis alternatif yang kurang didukung oleh bukti arkeologis dan genetik.

Kritik terhadap teori ini termasuk ketiadaan bukti fosil yang jelas mendukung adaptasi air secara signifikan dalam evolusi manusia, serta pertanyaan mengenai interpretasi ciri-ciri fisik manusia modern yang diusulkan sebagai adaptasi terhadap kehidupan di air.

Secara keseluruhan, Hipotesa Kera Air tetap menjadi subjek perdebatan dalam bidang ilmu pengetahuan, dengan pendukungnya melihatnya sebagai kerangka kerja yang mungkin membantu menjelaskan beberapa aspek evolusi manusia, sementara kritikusnya menyoroti kekurangan bukti empiris yang kuat untuk mendukung klaim-klaimnya.

Dua karya Hardy dan Elaine tersebut mendapat kritik yang cukup keras. Namun yang terkeras adalah yang kedua, karena sarat akan agenda politik.

”Konteks kedua publikasi tersebut, yang pertama adalah esai populer dan yang kedua adalah risalah yang sarat politik, mengabaikan kaidah ilmiah,” tulis John H. Langdon dalam Umbrella hypotheses and parsimony in human evolution: a critique of the Aquatic Ape Hypothesis (1996).

Hipotesa ini dianggap Payung Hipotesa atau ”Teori Segalanya”, yang di mana penjelasannya terlalu berlebihan dan terlalu sederhana.

Teori ini berupaya memberikan satu alasan tunggal bagi sejumlah besar adaptasi—yang kita tahu muncul pada waktu berbeda dalam perjalanan evolusi manusia.

Ciri-ciri seperti kebiasaan bipedalisme, otak besar, dan bahasa tidak semuanya muncul sekaligus—sebaliknya, kemunculannya terjadi selama jutaan tahun. Tidak masuk akal untuk menyatukan semuanya seolah-olah memerlukan satu penjelasan.

”Karena pada akhirnya sains adalah soal bukti, bukan angan-angan,” tulis Alice Roberts & Mark Maslin dalam Scienfitic American (2016).

Terlepas semua itu, apakah manusia masih membutuhkan pelampung jika rumahnya tenggelam banjir setinggi dua meter atau cukup berangan bisa bernafas di dalam air tanpa bantuan alat apapun? Atau manusia dan pemangku kebijakan mulai memperhatikan dengan seksama tata kelola ruang lingkungan hidup agar bisa serasi serta tidak merugikan siapapun atau apapun.

Lebih-lebih manusia hanya bisa berusaha dan berdoa. Lalu sisanya? Ya nonton Mermain in Love atau Putri Duyung saja sambil ditemani kopi hangat dan cemilan gurih manis. (AFP/ DMC Dompet Dhuafa)