Gotong Royong dan Penggantinya

Oleh Tomy Michael

Ketika warung telepon (wartel) masih banyak, gotong royong adalah hal yang sangat menarik dan semua warga berkumpul. Mereka lakukan pembersihan lingkungan menjelang hari kemerdekaan, pembabatan pohon menjelang musim hujan atau salah satu program sekolah yang menyenangkan. Sebetulnya manusia identik dengan kemampuan berpikir dan bersikap baik namun secara alamiah termasuk serigala bagi manusia lainnya. Kemanusiaannya pun juga tergantung dari banyak hal seperti kondisi lingkungan sekitar, ketaatan akan ajaran agama, tingkat pendidikan atau olah masalah dalam dirinya. Ketika terjadi permasalahan maka ia akan mencari cara untuk menyelesaikannya. Konsep demikian dikenal sebagai dialektika dalam ajaran Socrates sehingga kemapanan dirinya dipecahkan dengan ketidaktahuannya perlahan-lahan. Jika demikian, apa yang kita agung-agungkan sebagai kebaikan maka seolah-olah berdiri dalam dua kotak. Kebaikan yang dimaksud adalah gotong royong.

Makna gotong royong dalam hidup anak-anak memiliki pola sederhana yaitu bagaimana agar bisa bermain bersama. Gotong royong tidak melihat kebaikan atau keburukan namun bagaimana masalah itu cepat selesai. Beranjak dewasa, manusia sepertinya tidak lagi membutuhkan gotong royong karena kemampuan dirinya berkembang pesat. Gotong royong ibarat pekerjaan membuang waktu dan sikap kesendirian sepertinya lebih menarik dilakukan.

Secara “normatif” gotong royong diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis (UU No. 40/2008). Bisa dibaca dalam Penjelasan Umum termaktub “Ciri budaya gotong royong yang telah dimiliki masyarakat Indonesia dan adanya perilaku musyawarah/mufakat, bukanlah jaminan untuk tidak terjadinya konflik, terutama dengan adanya tindakan diskriminasi ras dan etnis”. Terdapat perubahan makna bahwa gotong royong adalah perbuatan yang tidak menghasilkan apapun. Gotong royong yang identik dengan kebersamaan menjadi sarana masuknya konflik dan pemahaman ini tampaknya tidak dipromosikan oleh negara. Sebagai tambahan perbandingan, bisa kita gunakan juga Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyelenggaraan Bulan Bhakti Gotong Royong. Menganut asas penulisan peraturan perundang undangan yang baik maka peraturan menteri dalam negeri ini menguatkan gotong royong sebagai sikap mulia.

Saya menilai bahwa terjadi perubahan berpikir dalam penyelesaian kasus diskriminasi ras dan etnis. Saya menghindari penggunaan paradigma karena tokoh Thomas Samuel Kuhn tidak memberikan definisi normatif malahan dia menawarkan makna paradigma sangat banyak. Jika negara tidak bisa menjamin bahwa gotong royong dan musyawarah maka masyarakat harus bertindak seperti apakah? Hal ini menunjukkan bahwa negara harus hadir karena dalam konteks ini tersirat ada cara lain untuk mengatasinya. Bisa saja dengan penegakan hukum yang represif dimana keberadaan undang-undang adalah jalan terbaik. Termasuk penjatuhan sanksi yang memberi nestapa dianggap sempurna. Pengaturan akan diskrimnasi ras dan etnis juga terkait di beberapa undang-undang seperti undang-undang hak asasi manusia, undang-undang perlindungan data pribadi hingga undang-undang informasi transaksi elektronik. Jikalau demikian, dimanakah letaknya gotong royong sebagai penciri orbis terrarum? Dunia yang begitu rapuh saat ini, menolak jalan kemanusiaan yang melekat padanya. Kemudian penolakan akan gotong royong juga menolak bentuk pemerintahan demokrasi secara keilmuan. Bukankah kebersamaan adalah bahasa universal untuk mencapai yang diinginkan? Kehendak alamiah adalah capaian yang bisa dipertimbangkan untuk dilakukan dengan skala prioritas.

Mari kita bandingkan dengan makna gotong royong di Rwanda yang bersifat menyatukan semua masyarakat. Pemerintah Rwanda membutuhkan waktu lama untuk membangun gotong royong dalam wujud Umuganda. Program yang dimulai sejak tahun 2009 ini membuat Rwanda sebagai salah satu negara terbersih di Afrika. Walaupun secara etimologi, Umuganda identik dengan kerja paksa di tahun 1970-an. Artinya butuh waktu dengan gotong royong itu sendiri. Tetapi konsep gotong royong di Indonesia hanya sebatas ajaran yang sebetulnya bisa “dipaksa” untuk memiliki teleologi bernegara.

Dalam konsep ilmu negara, demokrasi awalnya luapan dari bentuk pemerintahan oligarki dan mereka yang menolaknya akhirnya memunculkan pemikiran demokrasi itu sendiri. Pembatasnya hanya konstitusi sebagai produk politik karena sifatnya hanya kesepakatan warga negara dan pemerintah. Dengan konsep demokrasi barat maka hak asasi manusian muncul dan akibatnya tokoh-tokoh Indonesia menolak. Salah satunya Mohammad Hatta mengatakan bahwa demokrasi kita harus unik dan harus beda, berangkat dari perasaan kolektivisme.

Mengapa harus kolektivisme? Bermula dari perasaan yang sama dan adanya kebutuhan sejenis. Mohammad Hatta meneguhkan gotong royong dan musyawarah sebagai penciri khusus kita. Persamaan garis tangan dan tujuan akhir menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam hidup. Walaupun UU No. 40/2008 tadi sudah dicabut sebagian dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tetapi didalamnya masih ada pikiran konkret akan gotong royong.

Cara bersikap yaitu dengan melihat das sein dan das sollen. Negara tidak boleh menyalahkan gotong royong sebagai kekhawatiran terjadinya konflik. Bagaimanapun juga gotong royong adalah bagian terutama dalam hidup. Belajar das sein akan menghasilkan das sollen yang maksimal. Implikasi hukum akan penolakan gotong royong maka konflik akan tereduksi dari sikap apatis. Negara harus bisa menggunakan kesadaran moral termasuk mengubah seluruhnya isi UU No. 40/2008. Undang-undang ini sudah tidak lagi relevan karena hak asasi manusia yang diteriakkan banyak menjadi hak manusiawi.

Mudah-mudahan ada kepedulian dengan tetap memasukkan kebaikan gotong royong dan musyawarah sebagai ontologi yang dalam menangani kekalutan ini. Jadi jika kita tidak bergotong royong maka apakah mungkin diri ini menjadi individualis? Walaupun demikian, saya tetap mempromosikan gotong royong sebagai jaminan agar diskriminasi tidak terjadi, perlakuan yang sama juga kepada musyawarah. Sudah waktunya melakukan perubahan UU No. 40/2008.