Flotim, NTT—“Layanan ini bagus untuk kami di pengungsian mandiri seperti ini. Kami sangat bangga karena adanya medis keliling bisa membantu kami, mungkin persoalan obat-obatan, karena mengingat kalau kami ke puskesmas kan lumayan jauh”, ujar Muhammad Amin Dewa Wutun ujar salah satu penyintas yang mengungsi di Desa Konga, Kecamatan Titehena, Kabupaten Flores Timur (Flotim), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Yayasan Baitul Maal PLN (YBM PLN) dan Dompet Dhuafa Nusa Tenggara Timur serta Disaster Management Center (DMC) membuka layanan aksi layanan medis untuk penyintas erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki pada Kamis (21/11/2024).
Tim medis yang terdiri dari 1 (satu) dokter dan 3 (tiga) perawat melancarkan aksi medisnya di berbagai titik posko pengungsian di Kecamatan Titehena.
Mulai dari titik Posko Pengungsian Lapangan Bokang dan di Posko Pengungsian Lapangan SDI Waidang di Desa Ile Gerong, serta Posko Pengungsian Mandiri di wilayah Desa Konga.
Muhamad Amin Dewa Wutun (47), asal Kampung Padangpasir, Desa Hokenjaya, Kecamatan Wulanggitang merupakan salah satu penerima manfaat dari layanan medis keliling ini.
Dia merupakan penyintas yang sedang mengungsi di salah satu wilayah persawahan di Desa Konga. Dia bersama puluhan jiwa penyintas lainnya tinggal di rumah dan dipan yang tertutup terpal dan triplek seadanya.
Dahulu tempat tidur di posko pengungsian ini hanya dipan dan atap yang tertutup terpal, membuat mereka rentan dengan angin malam dan angin hujan yang melanda.
Akan tetapi saat ini wilayah NTT masih cenderung mengalami cuaca panas, berbanding terbalik dengan mereka yang berada di wilayah Jabodetabek yang mengalami cuaca hujan deras.
Meski masyarakat sudah terbiasa dengan cuaca seperti ini, mereka tetap rentan terpapar penyakit di saat tanggap darurat erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki.
Penyintas paling banyak menunjukkan gejala penyakit paru-paru. Abu dan cuaca panas serta debu menjadi pemicu drastis penyakit-penyakit ini.
“(Sebagian besar) menunjukkan gejala ISPA, myalgia, dyspepsia, dermatitis dan HT grade II”, ujar Ummi Laben selaku tim medis Respons Darurat Kesehatan Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (RDK LKC) Dompet Dhuafa NTT yang bertugas.
Amin sendiri mengeluhkan tentang kondisinya yang sedang batuk, pilek, sakit pinggang dan sakit di daerah lambung yang kemudian diberikan beberapa obat oleh tim YBM PLN dan Dompet Dhuafa NTT.
“Batuk pilek, dan pinggang sakit, (penyakit) lambung juga ada. Mungkin karena abu vulkanik atau debu setiap hari, kan kita juga kerja”, imbuh Amin.
Kelima anaknya juga satu persatu konsultasi dengan dokter dari YBM PLN dan Dompet Dhuafa NTT. Masing-masing anak mendapatkan asupan vitamin untuk menjaga kesehatan tetap prima. Sang istri juga turut mendapatkan pelayanan medis ini.
Anak-anaknya cukup—bahkan terbilang lebih dari cukup—ceria di situasi tanggap darurat seperti ini. Energi dan keceriaan mereka sama sekali tidak habis. Sebuah kenikmatan dan anugerah yang patut disyukuri.
Amin bersama penyintas lainnya sedang mengerjakan pembangunan toilet darurat dan perbaikan tenda pengungsian dengan cuaca panas yang kadang menusuk pori-pori kulit. Hanya ini “kerja” yang saat ini ia geluti, buah pengalaman kerja di perusahaan kayu di Papua selama 7 (tujuh) tahun.
Amin sendiri merupakan petani di Desa Hokenjaya, salah satu wilayah yang terdampak abu vulkanik Gunung Lewotobi Laki-Laki. Adapun ia bertani kelapa, kemiri, dan mente.
Namun karena erupsi ini, dia tidak bisa lagi mendapatkan penghasilan, kebun-kebunnya juga terbengkalai tertutup abu. Lahan pertanian dia yang merupakan peninggalan orang tuanya akhirnya sementara ini tidak bisa digarap. Selain bertani ia juga merupakan ojek di wilayah kampungnya.
“Belum bisa diperbolehkan ke kebun. Karena kondisi masih awas gunung, jadi kita harus menghindar, nanti sudah aman baru bisa kembali lihat kebun”, pungkasnya.
“Kurang lebih bertani sudah tujuh tahun, itu adalah peninggalan orang tua punya. Sebelum bertani bekerja di ojek, di Pasar Boru, lingkungan Hokkenjaya”.
“Kalau ada ojek sekarang ya insyallah ya kalau ada ojek, kalau tidak ada, ya sudah begini saja duduk”.
Amin dan istri serta 5 (kelima) anaknya mengungsi di sini. Mereka bersama warga penyintas lainnya bahu membahu untuk bisa bertahan hadapi situasi darurat ini. Saling melengkapi, melindungi, dan mengayomi satu-sama lain. Hanya itu yang memperkuat semangat mereka di kala sulit seperti ini.
Salah satu anaknya sendiri merupakan penyandang disabilitas, tetapi dia dan istri tetap tegar dan tangguh dalam menatap masa depan.
Dia sendiri belum terpikirkan apa yang mau dilakukan ketika situasi sudah kembali normal, seolah-olah situasi normal masih jauh dari kenyataan dalam benak Amin.
“Belum terpikir, masih bingung”, Amin menghela nafas.
“Sebelum erupsi ya kita kegiatan di kebun habis itu ambil hasil pulang, ketika erupsi begini kita bingung kerjanya kita mau kerja apa. Kebun pun dilarang karena status (gunung) masih awas, jadi mau ke kebun juga setengah mati”, imbuhnya.
“Dulu idam-idaman kita bilang Flores yang hijau, Hokkenjaya yang hijau, lembah yang hijau, cuman kan sekarang keadaan sudah begini kita mau tidak mau kita harus keluar dari situ”.
Seolah menjawab doa-doa penyintas yang terdampak, bantuan dari pegiat kemanusiaan terus berdatangan sehingga beberapa kebutuhan cukup terpenuhi.
“Alhamdulillah baik, kita di pengungsian diperhatikan, jadi kita baik-baik saja”, sambungnya
“Begini kan enak kita langsung periksa dapat obatnya. Terima kasih untuk YBM PLN dan Dompet Dhuafa NTT yang sudah mendatangkan dokter untuk kami di pengungsian mandiri seperti ini. Makasih banyak”, ujar Amin.
“Intinya kita selalu mendukung dalam pengungsian supaya kita bisa tetap terjaga atau jangan sampai ada percecokan, kita harus jaga itu saja. Yang penting saling bantu membantu di pengungsian supaya kita tetap jaga kerja sama yang baik”, tutup Amin.
Kawan Baik, mari panjatkan doa terdalam kepada Allah SWT untuk kesembuhan dan keselamatan jiwa-jiwa yang terdampak akibat erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki. (AFP/ DMC Dompet Dhuafa)