Ciputat, Tangerang Selatan—Pada Senin petang (10/06/2024), di lapangan gedung Student Center Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Yudi Latif, MA., Ph.D, seorang cendekiawan sekaligus Dewan Pembina Dompet Dhuafa, berdiri di atas panggung sebagai orator di acara Orasi Lingkungan yang diselenggarakan Kelompok Mahasiswa Pecinta Lingkungan Hidup dan Kemanusiaan Kembara Insani Ibnu Batuttah (KMPLHK RANITA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa.
Dalam kesempatannya beliau menyuarakan buah pikirannya tentang krisis iklim, pandangan atas lingkungan yang terlalu antroposentris dan refleksi diri: apa yang perlu kita lakukan untuk kebaikan masa depan ekologi dunia secara umum, dan Indonesia secara khusus.
Di hadapan puluhan mahasiswa yang hadir, beliau membuka orasinya dengan menjabarkan tentang bumi yang berusia 4,6 milyar tahun telah dilalui kiamat sebanyak lima kali yang memusnahkan seluruh hayati. Menurutnya, saat ini kita masih menunggu giliran bagi datangnya ‘kiamat keenam’.
Kiamat keenam ini merupakan sebuah metafora dari gambaran di mana bumi mengalami puncak kerusakan ekologi yang berdampak pada terganggunya kehidupan. Kiamat ini datang tidak dengan sendirinya, alih-alih seperti itu, ia muncul sebagai sebuah akibat dari cara buruk manusia memperlakukan bumi. Ia muncul sebagai sebuah dampak yang tak terduga dari sebab-sebab antroposentris.
“Cepat atau lambatnya kiamat ini datang ditentukan oleh tangan-tangan manusia. Seperti yang telah diisyaratkan dalam kitab suci Alquran: Bahwa kerusakan di laut dan di bumi itu sebenarnya ditentukan oleh tangan-tangan manusia. Jadi kiamat ini bisa lama bisa cepat datangnya tergantung kepada perbuatan manusianya,” kata Yudi Latif.
Saat ini, tanda-tanda menuju kiamat keenam sudah mulai terlihat. Pemanasan global dan efeknya terhadap perubahan iklim bukan lagi isapan jempol. Yudi Latif menerangkan serangan gelombang panas yang melanda kawasan Asia, seperti India dan Filipina menimbulkan banyak masalah dan kerugian serta menjadi bukti bahwa krisis iklim benar adanya.
“Sekarang global warming ini benar-benar menimbulkan masalah baru. Sekarang di Arab Saudi ini cuaca begitu terik suhu antara 45-50 derajat celcius. Jadi kita doakan saja semoga jama’ah haji bisa lolos dari ujian sejarah ini. Karena berat sekali. Dan tentu saja rantai kecepatan global warming itu semakin mendekat,” ujar Yudi Latif.
“Akibat krisis iklim, cuaca menjadi sulit diprediksi; kadang-kadang Arab Saudi bisa mengalami hujan salju, sementara di Eropa, panas dan dingin bisa berlangsung sangat ekstrem,” lanjutnya.
Kemudian Yudi Latif menjelaskan bagaimana Indonesia punya andil dalam dampak-dampak kerusakan atas lingkungan dan alam, termasuk ksisis iklim. Pendapat ini dilandaskan pada data yang termuat dalam Intergenerational Solidarity Index yang menempatkan Indonesia di posisi 72 dari 122 negara. Indeks ini mengukur seberapa banyak negara memberikan kesejahteraan bagi generasi yang akan datang. Dari data ini menunjukan buruknya perhatian Indonesia terhadap keberlanjutan hayati untuk generasi di masa depan.
Bukan sebuah keanehan bila melihat apa yang terjadi. Karena mudah sekali menemukan proyek pembangunan yang lebih mengutamakan pembangunan jangka pendek dan lapar tanah, yang melahap vegetasi dan mengeruk sumber daya alam melampaui batas-batas wajar di negeri ini. Hal ini tentu menjadi faktor penting mengapa kerusakan alam dan ancaman ketidaklestariannya untuk masa yang akan datang menjadi sebuah kenyataan yang sulit dihindari.
Yudi Latif dalam orasinya menyebutkan fenomena ini cerminan bentuk baru penjajahan atas dasar waktu, di mana generasi sekarang menghabiskan sumber daya tanpa memikirkan masa depan.
”Generasi hari ini seolah-olah bisa menghabiskan apa saja, hutan, tambang, semua hal kita habiskan. Seolah tidak ada ruang dan waktu bagi anak-anak di masa depan. Seolah-olah masa depan itu waktu kosong yang tidak ada penduduknya,” jelas Yudi Latif.
Melihat kerusakan ekologi, perubahan dan krisis iklim yang telah dan sedang berlangsung ini Yudi Latif menyampaikan sikap yang perlu dilakukan.
Yang paling pertama memperbaiki konsep pemikiran kita yang selama ini seringkali menempatkan manusia sebagai pusat alam semesta, yang secara tak sadar menihilkan eksistensi makhluk hidup lain yang punya peran penting dalam menjaga titik keseimbangan kehidupan ini.
“Untuk mencegah percepatan kiamat keenam, kita harus merefleksi diri dan memeriksa teologi kita. Agama-agama Abrahamik seringkali terlalu antroposentris, menekankan manusia sebagai pusat semesta, dan mengabaikan hubungan dengan alam. Di dalam ajaran Islam, selain menjaga hubungan dengan Allah (Hablum minallah) dan sesama manusia (Hablum minannas), kita juga harus menjaga hubungan dengan alam (Hablum minal Alam),” ucap Yudi Latif
“Manusia dimuliakan sebagai khalifah untuk merawat ekosistem, bukan untuk mengeksploitasi alam semena-mena. Kemuliaan manusia terletak pada kemampuan merawat alam semesta. Jagat kecil manusia bergantung pada jagat besar, sehingga harmoni dengan alam sangat penting,” pungkasnya. (MAA/DMC Dompet Dhuafa)