Refleksi 20 Tahun Tsunami Aceh: Pentingnya Investasi Peringatan Dini untuk Kesiapsiagaan Bencana

Banda Aceh—Manusia hadir setelah begitu banyak hal terjadi di muka bumi. Gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi atau angin topan sudah lama berlangsung dan terus berulang sejak bumi ini kosong melompong hingga manusia hadir di dalamnya. Serentetan peristiwa tersebut merupakan fenomena alam yang sering kali dianggap ‘bencana alam’, yang kedatangannya tidak pernah kita harapkan.

Namun, pada hakikatnya peristiwa tersebut memang seharusnya menjadi bagian dari siklus alam, fenomena yang seharusnya ada sebagai bagian dari kehidupan di bumi. Yang harus dipikirkan adalah bagaimana kita mampu mengurangi risiko bencana yang timbul dari fenomena alam tersebut.

Pengurangan risiko bencana hanya bisa tercapai bila kita mampu memiliki sikap kesiapsiagaan yang terimplementasi dalam segala sisi. Termasuk pada investasi peringatan dini guna membangun kesiapsiagaan masyarakat yang tangguh dalam menghadapi bencana.

Penjelasan di atas merupakan pokok-pokok pikiran yang dibincangkan dalam acara talkshow “Refleksi 20 Tahun Tsunami Aceh: Investasi Peringatan Dini untuk Membangun Kesiapsiagaan Masyarakat yang Tangguh dalam Mengahadapi Bencana.” Acara ini diselenggarakan oleh Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa untuk menyambut peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Tahun 2024 yang dihelat di Kota Banda Aceh, pada Senin (7/10/2024).

Bertempat di SMEA Premium Rumoh Aceh, Kota Banda Aceh, acara bincang-bincang ini menghadirkan beberapa pembicara, di antaranya Pangarso Suryotomo (Direktur Kesiapsiagaan BNPB RI), M. Hasan Dibangka (Ketua FPRB Aceh), Syamsul Ardiansyah (SO Aliansi Strategis dan Kerelawanan Dompet Dhuafa), Maula Muhammad Umar (Tokoh Masyarakat Aceh), dan Achmad Lukman (Ketua FPRB DKI Jakarta).

Syamsul Ardiansyah menjelaskan keterlibatan Dompet Dhuafa ketika merespons bencana tsunami Aceh yang terjadi pada tahun 2004 lalu, serta bagaimana Dompet Dhuafa secara khusus, dan masyarakat secara umum mampu mengambil pelajaran untuk direfleksikan pada masa sekarang ini.

“Lantas apa yang kita pelajari dari tsunami Aceh? Tsunami Aceh itu semacam wake up call, semacam alarm panggilan bagi setiap pelaku kemanusiaan, khususnya respons bencana di Indonesia, untuk melihat bahwa di negara kita—yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo (ungkapan dalam bahasa Jawa yang menggambarkan kondisi masyarakat dan wilayah yang subur makmur, aman, dan tenteram), itu ada potensi ancaman yang tidak kalah besar, bahkan sangat besar,” ungkap Syamsul.

Menurut Syamsul, wake up call ini tidak hanya berlaku untuk di Indonesia, bahkan berlaku untuk seluruh dunia. Sebagai pelaku retrospektif, ada pelajaran berharga dari peristiwa tsunami Aceh tahun 2004 lalu yang bisa kita ambil, yaitu adalah persitiwa tersebut menjadi momentum titik balik dari upaya kita secara kolektif merespons bencana. Yang tadi sifatnya responsif kita mulai berpikir perlunya ke arah yang lebih kesiapsiagaan pada pengurangan risiko.

“Di aceh itu ada tradisi Smong. Itu adalah peringatan dini berbasis masyarakat yang tumbuh dan berakar di sistem sosial masyarakat di Aceh. Kita pelajari betul bahwa ada siklus bencana yang terjadi, dan siklus ini tidak bisa direspons dengan hanya melakukan pendekatan tanggap darurat,” lanjut Syamsul.

Dari peristiwa Aceh banyak memantik perubahan ke arah yang lebih baik dalam merespons suatu bencana. Menurut Syamsul, Dompet Dhuafa menjadi salah satu oraganisasi kemanusiaan yang beruntung mampu belajar banyak dari peristiwa yang terjadi 20 tahun lalu.

“Alhamdulillah, singkat cerita, dari tsunami Aceh kita menyaksikan banyak sekali organisasi-organisasi kemanusiaan di Indonesia yang saat ini mampu mengembangkan kapasitasnya bahkan bukan hanya tampil dan berkarya dalam skala nasional, tetapi juga memberikan kontribusi pada ranah global. Dengan rendah hati salah satu lembaga yang kami sampaikan memiliki pengalaman itu adalah Dompet Dhuafa. Jadi kami merasa beruntung terlibat dalam upaya kolektif dalam penanganan bencana tsunami Aceh pada tahun 2004,” ujarnya.

“Dari Aceh kita baru tahu pada saat kita merespons gempa saat itu kita sifatnya insidental, tetapi pada saat di Aceh kita sama-sama tahu bahwa investasi pada kesiapsiagaan menjadi kunci bagi masyarakat dan bangsa yang hidup di tengah ancaman seperti Indonesia,” pungkasnya.

Kawan Baik, peristiwa bencana alam, seperti tsunami Aceh, adalah pengingat penting akan urgensi kesiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana bagi kita semua. Pengalaman yang diperoleh dari tragedi tersebut seharusnya menjadi pelajaran kolektif, mendorong kita untuk tidak hanya fokus pada respons darurat, tetapi juga berinvestasi dalam peringatan dini dan kesiapan yang lebih matang.

Dengan begitu, kita dapat membangun masyarakat yang lebih tangguh dan mampu menghadapi tantangan alam yang tak terhindarkan. Kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan lembaga kemanusiaan menjadi kunci untuk mewujudkan masa depan yang lebih aman dan terjaga dari risiko bencana. Karena Bumi Cuma Satu, Berdaya Sekarang. (MAA/DMC Dompet Dhuafa)