Sebelum seorang perempuan menemukan sebuah penemuan besar yang memudahkan hidup umat manusia di zamannya, atau seorang lelaki menulis satu bundel puisi yang beberapa waktu kemudian dinobatkan sebagai karya besar oleh banyak orang, pertama-tama, mereka semua perlu hidup terlebih dahulu. Hidup menjadi syarat pertama setiap orang sebelum melakukan apapun yang mereka kehendaki.
Persoalan paling awal dalam hidup manusia dimulai pada upaya mereka bertahan hidup. Bagaimana cara manusia bertahan hidup, sesederhana perkara mengisi perut, punya karakteristik yang berbeda-beda di setiap zaman.
Mengingat bumi satu-satunya sumber yang tersedia bagi manusia untuk memperoleh segala kebutuhan hidupnya, cara manusia bertahan hidup erat hubungannya dengan kerja-kerja kolektif mereka atas sumber daya alam. Dan bila dicermati lagi, ini menentukan bentuk pengejawantahan dari bagaimana sikap manusia memperlakukan bumi.
Mari kita melompat jauh ke waktu belakang, masa di mana sistem produksi kebutuhan hidup manusia masih amat sederhana.
Pada saat itu umat manusia hidup di tengah kemiskinan ekstrem. Kebutuhan untuk mengisi perut agar bisa bertahan dari hari ke hari terpenuhi lewat kegiatan berburu dan meramu.
Ketiadaan teknologi dalam produksi bahan pangan atau kebutuhan hidup, membuat manusia pada masa pra-sejarah hidup dalam kemiskinan yang ekstrim.
Ketiadaan teknologi dalam produksi ini menjadi sebab manusia pada masa itu tidak mampu mengolah sumber-sumber daya alam yang menjadi basis bagi kehidupannya.
Kondisi ini mendorong dan memaksa manusia untuk hidup berkelompok dalam satu komunitas untuk menjamin kelangsungan hidup kolektif.
Tidak ada produk surplus untuk disimpan dan dikonsumsi di lain waktu. Manusia pada saat itu mengambil apa-apa dari alam hanya untuk hari itu sesuai dengan apa yang dibutuhkan pada saat itu.
Namun kondisi manusia yang tak mampu mengelola alam tidak berlangsung abadi, karena di antara makhluk hidup lain, hanya manusia yang dianugerahi korteks prefrontal lobus yang terus berkembang di otaknya sehingga punya kesanggupan untuk berpikir dan berencana.
Selain itu, ibu jari di antara jari-jari di tiap telapak tangannya, membuat manusia dapat menggenggam dengan baik. Kombinasi dua kualitas jasmani itu menjadikan manusia mampu menciptakan peralatan yang memudahkan keberlangsungan hidupnya.
Kemampuan berpikir yang dimiliki manusia membuatnya mampu merespons dan mengantisipasi ancaman yang hadir dari fenomena alam. Dari hal itu juga manusia mampu menaklukan alam guna menyanggupi pemenuhan kebutuhan hidup umatnya.
Namun dari kecanggihan berpikir manusia itu melahirkan sebuah problem dilematis.
Kesanggupan dalam menaklukan alam untuk mengeruk sumber dayanya membawa pada masalah yang serius terhadap kondisi bumi itu sendiri.
Produksi segala tetek bengek kebutuhan hidup manusia kerap melampaui jumlah riil yang dibutuhkan manusia. Orientasi produksi barang kebutuhan hidup dilandasi keuntungan semata. Alhasil, pada masa ini produksi barang menciptakan surplus yang tak ayal banyaknya.
Kondisi-kondisi seperti ini menjadi suatu problem serius mengingat apa yang kita produksi untuk kebutuhan hidup manusia berasal dari satu-satunya sumber, yaitu bumi.
Problem ini juga menyebabkan efek domino yang membawa pada beragam persoalan, misalnya aktivitas ekslopitatif terhadap bumi, lonjakan timbulan sampah dari apa yang kita konsumsi, dan beragam konsekuensi destruktif lainnya terhadap kehidupan.
Selain itu, ancaman itu bisa berwujud pada kemungkinan kita tidak dapat mewarisi bumi dengan kondisi yang baik untuk hidup anak-cucu kita di masa depan.
Atas dasar itu, pada masa kontemporer ini muncul wacana-wacana seperti global warming, perubahan iklim atau yang paling baru adalah transisi energi, yakni usaha untuk beralih dari pemakaian energi fosil ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan, sedang gencar-gencarnya.
Oleh beberapa ilmuwan, transisi energi menjadi kunci untuk keluar dari masalah-masalah lingkungan saat ini, saat di mana kegiatan ekstraktif untuk mengolah sumber daya alam dan ekses-ekses yang dihasilkannya (misal, polusi asap kendaraan berbahan bakar minyak) sudah terlalu merusak bumi.
Namun, ada yang perlu kita ketahui dari sisi yang tak banyak diwartakan terkait transisi energi ini.
Di tengah hilir mudik kendaraan listrik, tanpa polusi udara dan suara, menyusuri ruas-ruas jalan di kota mungkin menjadi pemandangan ideal masyarakat kota untuk memulihkan kesehatan udara perkotaan.
Kendati kita melihat kesejukan dalam pemandangan tersebut, ada kondisi yang tak pernah tersampaikan. Di waktu yang sama di tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota, ada hutan adat yang terampas demi berdirinya pabrik besar penghasil baterai untuk daya kendaraan listrik di perkotaan. Industri tersebut menjadi muara dari sekelumit masalah kemanusiaan, dan juga melahirkan ancaman serius terhadap perubahan iklim.
Wacana transisi energi dari penggunaan bahan bakar fosil ke energi yang terbarukan, menjadi legitimasi pembangunan industri nikel tetap berdiri meski harus mengeksklusi kehidupan masyarakat setempat, dan dalam proses operasional produksinya sangat tidak mewakili semangat berkelanjutan.
Menurut laporan Climate Rights International (CRI) bahwa operasi pertambangan dan peleburan nikel perushaan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Pulau Halmahera, Provinsi Maluku Utara punya dampak buruk untuk manusia dan lingkungan, termasuk pula memperburuk perubahan iklim yang terjadi.
Meski tujuan dari transisi ke kendaraan listrik adalah untuk mengurangi jejak karbon dari industri otomotif, peleburan nikel di IWIP menghasilkan jejak karbon yang sangat besar.
Alih-alih menggunakan tenaga surya dan angin terbarukan yang melimpah, IWIP telah membangun setidaknya lima pembangkit listrik tenaga batu bara dan pada akhirnya menjadi rumah baru bagi dua belas pembangkit listrik tenaga batu bara yang baru.
Pada operasionalnya, pembangkit listrik tenaga batu bara tersebut menyediakan 3,78 megawatt per tahun dengan membakar batu bara berkualitas rendah dari Kalimantan. Angka ini lebih besar dibandingkan konsumsi batubara tahunan Spanyol dan Brazil.
Proyek-proyek pembangunan atas nama kemajuan ekonomi suatu negara, yang katanya berkelanjutan, kerap kali menyisakan sebuah dampak laten yang sering terabaikan. Bumi, sumber penghidupan dan bahkan hidup manusia itu sendiri kerap menjadi korban demi berdirinya pembangunan yang ‘mulia’ itu.
Landasan moral yang mendasari tujuan mulia pembangunan punya andil untuk menutupi borok yang muncul darinya sebagai sebuah dampak yang seolah-olah layak diterima.
Proyek pembangunan berkelanjutan hanya menjadi pepesan kosong jika tidak disertai semangat ramah lingkungan dalam proses produksinya.
Kondisi dilematis yang hadir dari pembangunan berkelanjutan dan dampak yang ditinggalkannya, proses transisi energi ini harus tegas mengacu pada peninjauan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Serta untuk perusahaan-perusahaan yang menjalankan produksi hulu dari produk-produk wacana transisi energi ini memiliki operasi yang bertanggungjawab terhadap lingkungan hidup dan sosial serta menghormati lingkungan dan hak asasi manusia.
Kendati begitu, transisi energi bukan berarti punya dalih untuk tidak diperjuangkan. Melihat ancaman krisis iklim yang semakin mencekam dan mara bahaya yang hadir bersamanya, transisi energi yang “benar-benar berkelanjutan” menjadi solusi paling mangkus untuk memperbaiki hubungan manusia terhadap bumi–yang menurut penulis sedang tidak baik-baik saja. Karena Bumi Cuma Satu, Berdaya Sekarang. (MAA/DMC Dompet Dhuafa)