Ancaman Megathrust dan Peran Vital Sekolah dalam Mitigasi Bencana

Kabupaten Lebak, Banten—Beberapa waktu belakangan ini kita diramaikan oleh ontran-ontran tentang gempa megathrust. Semua linimasa media sosial tidak luput dari kehebohan isu megathrust ini. Semua orang seolah dibuat panik oleh pemberitaan tentang potensi gempa dengan dampak kehancuran yang luar biasa yang mungkin terjadi di Indonesia. Namun yang menjadi masalah adalah tidak ada yang tahu kapan gempa megathrust ini akan terjadi. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pun tidak bisa memprediksi kapan datangnya gempa besar ini secara pasti.

Himbauan BMKG tentang potensi terjadinya gempa megathrust di Indonesia muncul setelah terjadi gempa megathrust berkekuatan 7,1 skala richter di Jepang pada 8 Agustus 2024. Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono, mengatakan bahwa gempa Megathrust Nankai (Jepang) memang perlu diwaspadai, akan tetapi tidak perlu dikhawatirkan. Sebab, Nankai tidak akan berdampak langsung pada lempeng tektonik di Indonesia karena jaraknya yang sangat jauh.

Kendati begitu, Indonesia tetap harus waspada dan siaga. Sebab, segmen Seismic Gap Megathrust Selat Sunda (M8,7) dan Megathrust Mentawai Suberut (M8,9) hanya menunggu giliran untuk menyebabkan gempa yang dahsyat.

Terhitung sudah ratusan tahun kedua segmen tersebut belum menimbulkan gempa dengan skala besar. Sebagai antisipasi, BMKG pun melakukan monitoring, processing, dan diseminasi informasi gempa dan peringatan dini tsunami sesegera mungkin.

Salah satu zona yang termasuk dalam segmen Seismic Gap Megathrust Selat Sunda adalah wilayah Lebak (Banten). Wilayah Lebak yang terhampar di sepanjang pesisir selatan pulau Jawa terdapat potensi tsunami setinggi sekitar 20 meter apabila megathrust di bagian Selat Sunda ini melepaskan energi besarnya.

Ada potensi gempa besar akan terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, meskipun tidak ada satu pun yang memprediksi secara tepat kapan itu akan terjadi. Lantas, bagaimana menyikapi ancaman megathrust di Indonesia?

Sekolah Harus Menjadi Garda Terdepan dalam Upaya Mitigasi Bencana

Dalam kegiatan seminar tentang “Menyikapi Potensi Ancaman Megathrust di Selat Sunda: Peran Guru dalam Membangun Kesadaran dan Kesiapsiagaan Bencana di Sekolah”, yang diselenggarakan Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa pada Rabu (25/9/2024) di Kecamatan Malingping, Kabupaten Lebak, Banten, Dr. Nuraini Rahma Hanifa, pakar kebencanaan sekaligus peneliti Geohazard Risk and Resilience BRIN, menjelaskan bahwa edukasi tentang pemahaman kebencanaan, bagaimana dampaknya dan simulasi evakuasi bencana menjadi salah satu aspek yang sangat krusial dalam mitigasi bencana.

“Edukasi terkait pemahaman bencana, memahami apa itu gempa dan tsunami serta melaksanakan simulasi evakuasi gempa dan tsunami secara rutin itu sangat membantu sekali dalam melakukan persiapan untuk selamat dari bencana gempa dan tsunami,” ujar Rahma.

Dari aspek fisik atau material, ada beberapa hal yang perlu disiapkan sebagai sikap bijak menghadapi potensi ancaman gempa besar, Rahma mengambil contoh kasus di Jepang.

“Kalau kita bicara tentang gempa dan tsunami banyak sekali korban jiwa dan kerusakan karena bangunan yang roboh. Maka upaya mitigasinya yaitu perkuat bangunan dan juga kode bangunan tahan gempa supaya bangunan bisa lebih kuat terhadap bahaya gempa. Dan kalau di Jepang memang bangunan itu pasti mengikuti kode bangunan (tahan gempa) terakhir dan juga Jepang berani mengeluarkan kebijakan seperti retrofitting,” lanjut Rahma.

Retrofitting merupakan proses memperbarui bangunan yang sudah ada dengan menambahkan fitur dan teknologi baru. Tujuannya untuk meningkatkan efisiensi energi, kinerja dan ketahanan bangunan terhadap ancaman iklim atau bencna seperti gempa.

“Seratus persen sekolah di Jepang setelah gempa Kobe tahun 1995 telah mengalami proses permbaruan bangunan. Dan saat ini sekolah di Jepang seluruhnya telah retrofitting. Selain sekolah, ada rumah sakit, perguruan tinggi, fasilitas pemerintah, dan fasilitas medis itu sudah dilakukan retrofitting,” kata Rahma.

Rahma juga menjelaskan bagaimana sekolah punya andil besar dalam mitigasi bencana dan pengurangan risiko bencana di masyarakat. Melihat potensi gempa megathrust yang siklus terjadinya bisa sangat panjang (puluhan hingga ratusan tahun), sekolah bisa menjadi medium utama untuk menyebarkan pemahaman mitigasi bencana dari satu generasi ke generasi berikutnya.

“Sekolah adalah tempat kita belajar, menimba ilmu. Anak-anak kita akan belajar dan tumbuh dari sekolah. Anak-anak kita bila sudah besar akan membawa nilai-nilai mitigasi bencana itu ke tempat kerjanya masing-masing dan keluarganya. Maka sekolah menurut saya menjadi tempat yang sangat penting untuk kita memulai pendidikan kebencanaan untuk anak-anak kita, dan juga masyarakat dari generasi ke generasi,” tutup Rahma.

Melihat peran vital sekolah dalam mitigasi bencana maka para guru perlu mempunyai wawasan memadai tentang kesiapsiagaan bencana. Posisi guru cukup startegis untuk meneruskan nilai-nilai kesiapsiagaan bencana ke anak murid.

Gempa megathrust tidak dapat diprediksi kehadirannya. Ia bisa datang kapan saja dan dampaknya bisa membawa kehancuran bagi kehidupan.


Namun usaha untuk meminimalisir kerusakan yang ditimbulkan dapat dilakukan. Dengan membekali diri dan generasi mendatang dengan pengetahuan serta keterampilan yang tepat, kita dapat memperkuat ketahanan masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terburuk dari bencana megathrust yang mungkin terjadi. Karena Bumi Cuma Satu, Berdaya Sekarang. (MAA/DMC Dompet Dhuafa)