Bahaya Kekerasan Seksual, Gender dan Eksploitasi Anak dalam Situasi Darurat Kemanusiaan

Keadaan darurat (atau krisis kemanusiaan) terjadi ketika satu peristiwa atau serangkaian peristiwa mengancam kesehatan, kesejahteraan, atau keselamatan masyarakat. Ada berbagai macam keadaan darurat yang dapat terjadi seperti bencana alam, fenomena yang disebabkan oleh manusia, atau kombinasi dari keduanya, yang membebani kemampuan masyarakat untuk mengatasi atau merespons.

Dalam situasi yang darurat seperti itu masyarakat berada di posisi yang rentan: akses kehidupan yang rusak, fasilitas umum berhenti fungsi, dan terkendalanya basis penunjang kebutuhan dasar masyarakat.

Kerentanan ini menjadikan masyarakat risiko terhadap berbagai bahaya. Akhirnya hal ini menjadi beban ganda bagi penyintas terdampak bencana atau mereka yang sedang dalam keadaan darurat. Salah satunya rentan terhadap kekerasan seksual, kekerasan berbasis gender, dan eksploitasi anak.

Kekerasan seksual, kekerasan berbasis gender dan eksploitasi anak hadir karena adanya ketimpangan relasi kuasa. Dalam keadaan darurat biasanya masyarakat terpisah antara dua sisi yang berbeda: si miskin dengan si kaya, atasan dengan bawahan, penolong dan penerima manfaat, dsb. Ketika hal ini terjadi, orang akan mencoba menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan pribadi, baik berupa keuntungan biologis, ekonomi, sosial, dan budaya.

Contoh pernah terdapat 57 laporan kekerasan seksual menimpa penyintas bencana di Sulawesi Tengah. Laporan tersebut didapat ketika dilakukan rapid assessment yang dilakukan selama November 2018 hingga Januari 2019. Salah satu kekerasan seksual terjadi ketika salah seorang hendak mengakses fasilitas mandi, saat di lokasi minim pencahayaan, tempat yang terisolasi, dan kamp-kamp pengungsian atau tenda.

“Terdapat 57 kasus penganiayaan fisik dan seksual termasuk pemerkosaan yang dilaporkan selama penilaian cepat kekerasan berbasis gender yang dilakukan selama November 2018 hingga Januari 2019,” Uja Fatia Nadia selaku Kordinator Nasional Kekerasan Berbasis Gender dalam Situasi Darurat Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-bangsa (UNFPA) dimuat dalam Tirto (02/09/2019).

Ironisnya para korban masih ada beberapa yang tidak melaporkan kasusnya. Bagi mereka kasus itu tabu dan takut dipermalukan masyarakat apabil terkuak ke permukaan. Hal ini mendorong perilaku destruktif lainnya yakni mencoba menggugurkan kandungannya.

“Remaja perempuan yang hamil setelah diperkosa berusaha menggugurkan kandungannya, seringkali dengan cara-cara yang tidak aman. Terdapat dua kasus remaja perempuan meninggal karena aborsi yang tidak aman,” tutur Ita dalam Tirto.

Setidaknya 1 dari 5 penyintas menjadi korban kekerasan seksual. Hal ini diperparah bagi mereka yang masih dalam anak-anak. Saat situasi darurat terjadi, anak-anak acapkali terpisah dari keluarga atau kerabatnya sehingga tidak ada orang yang mampu menjaga mereka.

“Anak-anak dalam situasi darurat (menjadi) sangat rentan. Selama konflik bersenjata, bencana alam, dan keadaan darurat lainnya, anak-anak mungkin terpaksa meninggalkan rumah mereka, beberapa direnggut dari keluarga mereka, dieksploitasi dan dilecehkan di sepanjang jalan. Mereka berisiko cedera dan kematian. (Bahkan) mereka mungkin direkrut oleh angkatan bersenjata,” tulis UNICEF.

Dilansir dari Detik, pada tahun 2022 KPAI melaporkan terdapat 834 kasus kejahatan seksual terhadap anak.  Kasus terbanyak perihal pencabulan yakni 400 kasus. Kemudian diikuti kasus pemerkosaan sebanyak 395 kasus, lalu kasus anak sebagai korban pencabulan sesama jenis ada 25 kasus. Terakhir terdapat 14 kasus anak menjadi pemerkosaan sesama jenis. Kemudian dalam sistem informasi online kekerasan perempuan dan anak /Simfoni PPA KemenPPA RI, pada tahun 2022 terdapat aduan kekerasan seksual terhadap anak mencapai 4.718 kasus. Pada tahun sebelumnya malah mencapai 7.545 kasus.

Pada bulan Maret penyintas bencana di Kota Palu melaporkan perihal keamanan hidup mereka selama di Hunian Sementara (Huntara) yang rentan terhadap kekerasan seksual. Bahkan terdapat anak yang sudah menjadi kekerasan seksual.

“Parahnya ada anak SD yang menjadi korban kekerasan seksual di Huntara yang saat ini saya tempati,” ungkap Saritini Haris salah satu penyintas dilansir dari TrueStory pada 8 Maret 2023.

Kasus lainnya terjadi di Kota Makassar, tiga pemuda memperkosa seorang siswa kelas 1 SD yang juga merupakan penyintas bencana pada Oktober 2018 lalu.

Di antara faktor-faktor spesifik yang menyebabkan peningkatan kekerasan seksual, gender dan terhadap anak-anak selama bencana adalah melemahnya mekanisme perlindungan masyarakat dan kelembagaan, terbatasnya akses ke layanan keadilan dan kesehatan, terganggunya layanan dan kehidupan masyarakat, pemindahan dan pemisahan keluarga, dan hilangnya akses ke perumahan yang aman dan bantuan keuangan (IFRC, 2015)

Dengan kenyataan di atas, diperlukan beberapa intervensi dan mitigasi untuk menekan kemungkinan terjadinya kekerasan seksual, gender dan terhadap anak di situasi darurat kemanusiaan dan kebencanaan. Upaya mitigasi ini harus menjadi pusat perhatian penanganan baik saat terjadi situasi darurat maupun non-darurat.

Hal ini dapat dicapai mulai dari pengentasan kemiskinan, tingkatkan institusi dan aktor penegak serta bantuan hukum, perkenalkan dan tingkatkan program kesadaran gender, dan tingkatkan keterlibatan masyarakat serta partisipasi perempuan yang inklusif dan aktif (Rezwana and Pain, 2023: 141). Sehingga dengan demikian diharapkan mampu menjadi stimulus dan upaya solutif dalam menekan kasus kekerasan seksual, gender, dan eksploitasi anak. Semoga ini menjadi upaya menjadikan masyarakat yang tangguh baik saat hadapi bencana maupun kekerasan seksual. Saatnya Indonesia Tangguh Hadapi Bencana. (AFP/ DMC Dompet Dhuafa)