Kep. Seribu, Jakarta—Pulau Pari salah satu pulau kecil di Kepulauan Seribu yang terancam tenggelam akibat dampak krisis iklim menyimpan cerita yang perlu kita dengar.
Maka bila ada waktu sedikit longgar, duduklah sejenak. Karena ada sebuah kisah dari seorang nelayan yang punya tujuan luhur dalam menjaga apa-apa yang dimilikinya agar tidak hilang ditelan ombak.
Empat belas tahun sudah usia pohon mangrove Pak Misin (52 tahun). Bukan usia yang bisa dibilang tua untuk ukuran tanaman mangrove yang punya taksiran umur hingga ratusan tahun. Namun pohon mangrove yang ditanamnya 14 tahun lalu di sekitar pantai Pulau Pari menyimpan asa besar untuk menjaga pulau kecil tersebut tetap ada di hari-hari yang akan datang. Menyimpan harapan besar untuk menjaga hubungan antar manusia, mata pencaharian, dan tujuan hidup yang telah ditata selama bertahun-tahun.

Pada 2010, Pak Misin seorang diri membuat penuh pinggiran pantai-pantai di Pulau Pari dengan tanaman mangrove yang ia tanam. Usahanya itu bertujuan untuk mencegah daratan pulau diserang abrasi. Semua yang dilakukannya tidak atas titah dari siapapun atau apapun. Semua itu dilakukan atas niat tulusnya ingin melindungi kehidupan anak-cucunya di masa depan.
Ketika ditanya telah berapa banyak pohon mangrove yang sudah ia tanam sejak tahun 2010, Pak Misin menjawab penuh keyakinan, “Ada sejuta pohon yang saya tanam.”
“Awalnya saya tanam satu pohon. Tanam lagi seribu pohon. Dan saya berpikir kalau saya bisa tanam seribu pohon, berarti saya bisa tanam sejuta pohon,” ucap Pak Misin.
Sejuta pohon bakau ditanam Pak Misin didorong atas kegelisahannya. Kegelisahan yang bercokol dalam benaknya bahwa bayangan daratan Pulau Pari yang kian lama kian tergerus air laut sungguh nyata dan dekat.
Kita semua yang hidup dan tinggal jauh dari pesisir mungkin menganggap pulau tenggelam dimakan air laut seperti bualan fiktif dalam film-film. Namun apa yang dihadapi Pak Misin dan warga Pulau Pari lainnya terlalu serius untuk sekadar menjadi obrolan warung kopi yang bisa ditinggalkan begitu saja.
“Untuk melindungi pulau dari abrasi dengan beton saya tidak mungkin. Saya melindungi dengan biaya yang murah, dengan menanam mangrove,” kata Pak Misin yang sehari-hari merupakan seorang nelayan untuk menghidupi diri dan keluarganya.

Pak Misin meyadari betul apa yang membuat pulau kecil tempatnya lahir dan hidup bisa hilang. Abrasi yang terjadi selama ini dan krisis iklim yang memperparah kondisi telah memaksanya yakin bahwa ancaman pulau tenggelam itu memang ada. Ia memahami jalan keluar yang bisa menangkal ancaman pulau hilang itu terjadi adalah dengan menanam mangrove.
“Saya takut pulau saya ini kembali ke asal. Karena akibat tidak ada mangrove pulau akan kembali ke asal. Saya tahu sekali, di Kepulauan Seribu, banyak pulau-pulau kecil yang sudah tenggelam. Karena memang tidak ada pohon mangrovenya,” ungkap Pak Misin.
“Saya selalu berpikir kalau saya sudah terlambat melakukan ini semua. Seharusnya sudah saya lakukan sejak remaja. Kalau saya dari remaja sudah menanam, pohon-pohon itu pasti sudah besar,” tambahnya.
Pak Misin bercerita bahwa banyak pantai di Pulau Pari menyusut luasnya secara perlahan. Pantai Tanjung Rengge, pantai paling ujung timur Pulau Pari, menjadi salah satunya. “Dulu kalau kita lempar batu dari ujung kanan ke ujung kiri pantai, ga akan bisa lewat itu batu. Sekarang kamu lempar saja batu dari ujung pantai ke ujung lainnya, mudah buat dilewati. Karena sudah sekecil itu pantai Tanjung Rengge,” jelas Pak Misin.
“Saya merasa belum berhasil dalam menanam mangrove. Karena bisa dibilang berhasil kalau pohon-pohon mangrove bisa menahan pasang surut air laut. Dan pantai tidak tenggelam lagi ketika air laut pasang. Itu bisa bekerja kalau pohon mangrove yang kita tanam tumbuh besar,” katanya.
Mangrove punya daya kuat dalam menahan abrasi air laut. Akarnya yang kuat dan rimbun dapat mengikat dan menahan sedimen pantai. Ini mencegah sedimen terbawa arus laut dan ombak yang kuat. Mangrove juga dapat menstabilkan substrat lumpur dan meredam kekuatan gelombang, sehingga dapat mengurangi proses abrasi.
Keberadaan mangrove di wilayah pantai juga mampu menjadi habitat hewan-hewan laut, sehingga mampu juga menjaga keseimbangan ekosistem wilayah pesisir.
Pulau Pari adalah salah satu pulau kecil di Kepulauan Seribu dengan luas kurang dari 42 hektar. Lebih dari 400 keluarga tinggal di pulau ini, sebagian besar bekerja sebagai nelayan atau dalam sektor pariwisata. Pulau Pari telah lama terkena dampak krisis iklim. Banjir rob, kenaikan permukaan laut, cuaca ekstrem, dan gelombang tinggi semakin sering terjadi, memperburuk kehidupan sosial ekonomi masyarakat di sana.
Pantai di Tanjung Rengge menjadi salah satu yang mengalami krisis iklim yang sangat parah. Krisis iklim telah mengakibatkan abrasi di Pantai Rengge kian memburuk. Pohon-pohon di pinggir pantai tumbang.
“Saya tidak mau ke depannya, anak cucu saya menderita karena pulau tidak ada perlindungan. Pulau menjadi tenggelam. Saya tidak mau itu terjadi,” pungkas Pak Misin.

Setiap orang di Pulau Pari mengenal Pak Misin sebagai orang pertama yang menanam mangrove guna melawan krisis iklim yang berdampak pada keberadaan pulau kecil tersebut. Kini kisahnya terus menguar, menginspirasi banyak orang. Yang paling dekat adalah warga Pulau Pari yang tergerak untuk ikut terlibat dalam melestarikan mangrove. Mereka berdiri sejajar bersama Pak Misin, menanam mangrove; berjuang melawan ancaman tenggelamnya pulau akibat krisis iklim dan juga campur tangan manusia yang merusak lingkungan pesisir.
Di tempat lain, kehidupan terus berjalan. Dunia yang jauh dari Pulau Pari mungkin tidak pernah tahu atau memahami perjuangan seorang nelayan dengan pohon-pohon mangrove-nya. Namun di sini, di pulau yang terancam tenggelam ini, Pak Misin adalah pahlawan tanpa tanda jasa, seorang penjaga yang tak kenal lelah, yang setiap hari mengukir kisah tentang keteguhan hatinya untuk melindungi pulau tempat di mana ia lahir dan hidup.
Dan sementara ombak terus menghempas, pohon-pohon mangrove yang ditanamnya terus bertumbuh, kuat dan kokoh, seperti harapan yang selalu hidup dan terus terang-benderang. Karena Bumi Cuma Satu, Berdaya Sekarang. (MAA/DMC Dompet Dhuafa)