Tulisan oleh Vivi Aniq Auvia Hidayani (relawan aktif dari Dompet Dhuafa Volunteer Yogyakarta sekaligus koordinator divisi kebencanaan DDV Yogyakarta) dan Amalia Nurusifa Sari (mahasiswi pascasarjana yang fokus mempelajari isu ekologi dan perubahan iklim)
Berdasarkan survei data BPS pada tahun 2022 terdapat 22,5 juta difabel atau setara 5% dari total keseluruhan penduduk di Indonesia. Angka tersebut memberi kesadaran perlunya memberikan perhatian kepada difabel. Faktanya di negara kita, kelompok difabel masih kerap dipandang sebagai sebuah objek yang jauh dari konsep masyarakat inklusif dan kemanusiaan. Seringkali, masyarakat memandang difabel sebagai objek bantuan, seolah-olah mereka tidak memiliki kekuatan atau peran penting dalam perubahan sosial. Difabel sebagai objek cenderung menimbulkan stigma negatif yang kuat atas ketidakberdayaan dan pandangan belas kasihan. Namun, ini adalah pandangan yang keliru. Difabel juga dapat menjadi agen perubahan yang aktif dalam memperjuangkan keadilan ekologis.
Seiring berjalannya waktu alih-alih melihat mereka sebagai objek yang cenderung bermakna pasif, kita harus melihat mereka sebagai subjek yang memiliki hak untuk mengambil peran. Difabel tidak hanya dilibatkan sebagai penerima program, namun terlibat sebagai penggerak. Dengan keterampilan unik dan perspektif yang mereka bawa, difabel memiliki potensi untuk berperan aktif dalam berbagai inisiatif lingkungan, mulai dari pengelolaan sampah hingga pelestarian alam. Saat ini, kondisi lingkungan dapat dikatakan semakin memburuk akibat eksploitasi yang berlebihan dan perubahan iklim yang tak terkendali. Hal ini mendorong masyarakat untuk mencari cara-cara baru dalam menjaga dan melestarikan bumi. Salah satu peran yang dapat diambil yaitu kontribusi terhadap tobat ekologis yang sedang gencar dilakukan oleh multisektor.
Konsep tobat ekologis (ecological conversion) bisa disederhanakan sebagai aksi global untuk menyelamatkan lingkungan. Aksi tersebut dapat berupa ragam upaya yang sejalan dengan alam misalnya mengubah sikap, bertindak dengan dasar etika lingkungan, sampai memiliki gaya hidup berkelanjutan. Konsep ini menitikberatkan pada tanggungjawab kita bersama sebagai manusia dalam menjaga bumi dari krisis ekologi terlebih pasca-industri demi terciptanya tempat tinggal yang lebih baik. Dalam pandangan ini, pertobatan bukan hanya soal pengakuan terhadap kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan terhadap alam, tetapi juga sebuah perubahan total dalam cara hidup kita sebagai manusia.
Konsep ini mengajak untuk memperbaiki hubungan antara manusia dengan alam, mengubah cara dengan mengelola sumber daya, dan memikirkan kembali cara untuk memanfaatkan alam dalam kehidupan manusia. Pergerakan konsep ini beberapa tahun terakhir memang sudah dilakukan oleh beragam sektor dari pemerintah, swasta, komunitas, hingga individu melalui kreativitasnya masing-masing.
Menghubungkan konsep tobat ekologis dan kontribusi difabel, peran yang sangat penting adalah bagaimana difabel ikut menyuarakan pentingnya isu lingkungan, mengembangkan solusi inovatif yang ramah difabel, dan mentransfer ilmu kepada difabel lain yang belum terjangkau. Dalam hal ini, difabel dapat berperan sebagai contoh hidup dari bagaimana perubahan dalam cara berpikir dan dapat berkontribusi pada keberlanjutan lingkungan. Dengan memberikan mereka ruang untuk berperan, sebenarnya proses pertobatan sedang dijalani, karena mengakui bahwa setiap individu, tanpa memandang kemampuan fisik atau mental, memiliki peran penting dalam menjaga bumi.
Selain itu, peran difabel dalam menjaga lingkungan tidak terbatas pada aktivitas fisik semata. Mereka bisa terlibat dalam pendidikan lingkungan, advokasi kebijakan ramah lingkungan, serta pengembangan teknologi yang lebih berkelanjutan. Posisi difabel sebagai agen aktif perubahan dapat menjadi katalisator karena basis difabel yang memiliki ikatan kelompok yang erat dan kuat. Kekuatan internal komunitas difabel juga menjadi aspek penting yang menjadi pilar untuk konsep tobat ekologis dapat terimplementasi dengan baik kepada setiap anggotanya. Mereka memiliki wawasan yang sering kali lebih tajam terhadap tantangan yang dihadapi dunia dan bisa menjadi suara yang penting dalam merumuskan kebijakan lingkungan yang lebih inklusif. Tantangan yang dihadapi difabel sering kali melatih mereka untuk lebih peka terhadap ketimpangan dan ketidakadilan, termasuk dalam konteks kerusakan lingkungan. selain itu difabel memiliki keinginan yang kuat untuk hidup di lingkungan yang inklusif sehingga menjadi motivasi untuk terlibat dalam kegiatan lingkungan dan peka terhadap perubahan iklim.
Kita bisa melihat salah satu komunitas relawan di Yogyakarta bernama DIFAGANA (Difabel Siaga Bencana) yang sudah berdiri sejak tahun 2017 silam. Berawal dari kejadian erupsi Gunung Merapi yang dalam prosesnya difabel sulit dievakuasi karena keterbatasan komunikasi dan akses. Difabel Siaga Bencana secara nyata hadir membuktikan difabel bagian dari solusi tidak hanya sebagai objek penerima bantuan dengan membantu sesama difabel dalam kejadian bencana. Berdasarkan wawancara dengan Ibu Suwarni salah satu relawan DIFAGANA yang sudah banyak turun aksi kebencanaan. Salah satu aksi yang sangat berkesan dan cukup lama di lapangan yaitu gempa bumi di Palu. Dalam situasi bencana mereka fokus melakukan assesment di tempat pengungsian dan juga kebutuhan difabel yang belum aksesibel. Tidak hanya itu, relawan DIFAGANA juga memberikan peer to peer atau dukungan sesama teman sebaya kepada korban bencana, khususnya yang menjadi difabel baru. Perlu diingat bahwa bencana berpotensi menjadikan individu difabel baru. “…mereka akan lebih menerima ketika yang ngomong sudah merasakan (difabel), karena difabel bukan akhir segalanya” tutur Ibu Suwarni.
Mereka aktif menyuarakan pentingnya isu lingkungan dan mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih ramah dan inklusif. Setiap anggota bahkan menjadi pioner di daerahnya masing-masing untuk membagikan pengetahuan kepada difabel yang tidak terjangkau. Keberadaan Kampung Siaga Bencana (KSB) yang melibatkan DIFAGANA juga membantu penyelesaian secara grassroots (akar rumput). Harapannya akan ada banyak gerakan-gerakan lainnya dimana difabel terlibat aktif sebagai subyek.
DIFAGANA dapat menjadi contoh yang sangat relevan dalam menjaga lingkungan serta memitigasi dampak bencana. Dalam banyak situasi, terutama yang melibatkan bencana alam, DIFAGANA tidak hanya fokus pada aspek bantuan pascabencana tetapi juga mempunyai kesadaran lingkungan yang lebih pada pengurangan risiko bencana melalui upaya sosialisasi kepada masyarakat sekitar. Misi DIFAGANA adalah kemanusiaan. Di sisi lain, sebagai relawan, mereka dapat belajar banyak tentang bagaimana alam bekerja, yang bisa kita lihat melalui isu-isu bencana yang terjadi. Ternyata, di balik bencana-bencana tersebut, ada berbagai keajaiban yang melampaui nalar manusia dan menunjukkan betapa besar kuasa Tuhan. Ketika kita menyaksikan bencana sebesar itu, kita menyadari bahwa manusia tidak ada apa-apanya. Dari pengalaman Ibu Suwarni menjadi relawan DIFAGANA membuat beliau merasa bersyukur dan bahagia bahkan rasa lelah bisa hilang, ketika melihat orang-orang yang ia bantu mulai bangkit kembali. Meskipun kontribusi difabel dalam menjaga lingkungan seringkali tidak terlalu terlihat. Harapannya ketika semua bersinergi tanpa harus melihat ragam kondisi dan latar belakang yang ada, kita dapat saling mengisi dan melengkapi masa depan yang lebih berkelanjutan bagi semua. Difabel sebagai bagian dari masyarakat nyatanya bisa berkontribusi terhadap tobat ekologis, tentunya beriringan dengan peningkatan akses yang inklusif sehingga difabel dapat maksimal memberikan potensinya.
Menjadi penting untuk sadar bersama bahwa bertindak etis di bumi merupakan tanggung jawab seluruh pihak termasuk difabel. Usaha ini menjadi proses yang panjang setidaknya sudah diawali dengan pergeseran pandangan bahwa dengan menjadikan difabel sebagai subjek, maka kita akan memiliki daya bekerja bersama daripada membatasi pada ruang gerak yang pasif. Sesuai slogan yang digaungkan yaitu “Karena Bumi Cuma Satu”, semua pihak dapat mengambil peran yang berdampak untuk menjaga bumi kita. Salam inklusi dan salam sehat!