Oleh Fathiya Khairiyah
Empat bulan sudah berlalu semenjak kejadian di hari itu. Tepatnya sabtu malam di bulan kelima tahun 2024 ini, saat semua orang bersiap-siap untuk tenggelam dalam peluknya malam bahkan beberapa di antaranya sudah nyenyak di alam mimpi. Meski mereka menyadari sedari siang hujan tak henti turun, namun mereka berpikir bahwa semua akan baik-baik saja. Nahas tak demikian. Tanpa diduga peristiwa besar terjadi di beberapa daerah Sumatra Barat. Alam yang selama ini bersahabat, tiba-tiba berubah menjadi ancaman menakutkan. Hujan deras yang seharusnya turun membawa kesejukan, di malam itu menjadi malapetaka. Hujan yang tak berhenti turun membawa serangkaian bencana yang begitu dahsyat.
Longsor, banjir, dan golodo terjadi serentak dan bersamaan di beberapa daerah Sumatra Barat. Menghancurkan dan menyapu segala yang ada di depannya baik itu sawah, rumah hingga jalan maupun jembatan pun terputus. Bahkan beberapa orang dinyatakan hilang dan terpisah dari keluarganya. Mereka yang tengah terlelap harus terbangun dalam kepanikan dan mencerna apa yang sedang terjadi di kegelapan. Lampu seketika padam menambah mencekamnya malam itu.
Salah satu daerah terdampak ada di kabupaten Tanah Datar. Mereka kaget bukan kepalang, lantas berlari menyelamatkan diri dan keluarga ke tempat aman. Sebagian menuju ladang-ladang mereka. Tangisan anak-anak dan gemuruh dari batu yang turun atau disebut juga golodo menjadi nyanyian sendu malam itu. Mereka yang selamat takkan bisa melupakan suara gemuruh batu besar yang turun dari gunung, tangisan anak anak, dan suasana panik pada hari itu yang tak terlukiskan.
Pada malam itu, media sosial lansung ramai memberitakan kejadian tragis yang sedang berlangsung. Beragam komunitas, relawan dan instansi pemerintah segera merespon dan tanggap darurat atas bencana yang melanda, bahkan ada yang turun lansung ke lapangan di malam itu untuk melakukan pencarian maupun membawa warga ke tempat lebih aman. Pagi pun tiba, media sosial tak henti menyampaikan perkembangan bencana semalam. Bantuan pun datang dari segala penjuru. Rasa empati yang sangat besar terhadap para korban yang kehilangan harta benda, tempat tinggal bahkan keluarganya. Aku pun tak ingin sebatas diam di depan layar, menyaksikan semua ini dari kejauhan. Aku berkesempatan untuk bergambung dengan Dompet Dhuafa bersama Disaster Management Center (DMC) untuk turun ke lapangan, ke lokasi bencana.
Saat aku menyaksikan langsung apa yang terjadi di lapangan, hatiku benar-benar teriris oleh rasa iba yang mendalam. Pemandangan kehancuran yang begitu nyata, dengan rumah- rumah yang luluh lantak, serta tumpukan puing-puing yang menyebar di mana-mana, membuatku merenung tentang betapa rapuh dan lemahnya kita sebagai manusia. Dalam momen itu, aku sepenuhnya menyadari bahwa ketika Sang Kuasa telah berkehendak, tidak ada yang dapat menghentikan atau menghindari takdir. Bencana ini menunjukkan betapa kecilnya manusia di hadapan kekuatan alam yang tak terelakkan, dan bahwa betapa pun kuatnya kita merasa, pada akhirnya kita hanya bisa menyerah kepada ketentuan-Nya.
Di tengah kekacauan itu, ada begitu banyak aktivitas kemanusiaan yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk memulihkan keadaan. Salah satu kegiatan yang paling berkesan bagiku adalah ketika aku ikut serta dalam PFA (Psychological First Aid) bersama kawan-kawan relawan lainnya pada hari ke-7 pasca bencana. Kegiatan itu kami lakukan di daerah Sungai Jambu, sebuah wilayah yang terdampak parah oleh bencana tersebut.
PFA merupakan sebuah pendekatan yang sangat penting, terutama bagi mereka yang mengalami trauma mendalam. Di tengah-tengah penderitaan yang begitu berat, aku belajar betapa pentingnya kehadiran dan dukungan emosional bagi mereka yang terpuruk. Saat berbicara dengan para korban, mendengar cerita mereka tentang apa yang mereka alami, aku merasa bahwa peran kami sebagai relawan tidak hanya membantu secara langsung, tetapi juga menjadi jembatan bagi mereka untuk mulai pulih secara psikologis. Setiap senyum yang kembali terpancar di wajah mereka, meskipun hanya sejenak, memberikan kebahagiaan tersendiri bagiku.
Pagi itu, aku dan beberapa relawan lainnya bersiap untuk menuju lokasi yang telah ditetapkan. Beberapa relawan lain tidak bisa ikut karena mereka memiliki tugas lain di tempat berbeda. Siang itu, matahari terasa sangat terik, jalan menuju lokasi bencana sebagian besar masih rusak parah dan beberapa bagian yang terputus total akibat longsor. Karena itulah, kami terpaksa menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Setiap langkah harus diambil dengan sangat hati-hati, sambil tetap siaga memperhatikan kondisi sekitar. Ada kekhawatiran akan kemungkinan bencana susulan yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Kami tidak bisa lengah sedikit pun.
Setelah sekitar satu setengah jam berjalan kaki, akhirnya kami tiba di lokasi yang telah dituju. Tempat ini sebelumnya sudah di-asesmen oleh tim relawan lainnya, sehingga kami sudah memiliki gambaran mengenai kondisi di lapangan. Setibanya di sana, kami segera menghubungi pihak berwajib setempat untuk menyampaikan maksud dan tujuan kami. Untungnya, permintaan kami disetujui, dan kami diperkenankan untuk melaksanakan kegiatan bersama warga.
Langkah selanjutnya adalah mengumpulkan massa, terutama anak-anak, untuk mengikuti kegiatan yang telah kami siapkan. Kami menggunakan pengeras suara di masjid untuk mengumumkan kegiatan tersebut, namun tidak semua warga mendengarnya. Beberapa dari kami bahkan harus berjalan dari rumah ke rumah, mengetuk pintu, dan mengundang mereka secara langsung. Usaha ini memang memakan waktu, tetapi melihat antusiasme yang mulai tumbuh di mata mereka, kami merasa yakin bahwa kegiatan ini akan sangat berarti.
Selepas sholat ashar, anak-anak mulai berdatangan dengan wajah penuh rasa penasaran. Beberapa di antara mereka terlihat malu-malu, sembari memegang tangan orang tua mereka yang
juga ikut serta untuk menyaksikan kegiatan kami. Suasana yang tadinya sepi perlahan berubah menjadi lebih hidup, diwarnai dengan keceriaan dan tawa kecil anak-anak yang mulai saling berbicara. Kami pun memulai dengan perkenalan, menciptakan suasana yang akrab dan nyaman agar mereka merasa diterima dan tidak canggung. Setelah itu, kami mengajak mereka bernyanyi, bermain games, bercerita, dan melakukan berbagai aktivitas yang kami harapkan bisa sedikit mengalihkan pikiran mereka dari trauma yang mereka alami malam itu.
Melihat senyum yang mulai menghiasi wajah-wajah mereka, aku merasa hatiku hangat dan terisi dengan kebahagiaan yang sulit untuk dijelaskan melalui kata-kata. Beberapa hadiah kecil yang kami bawa, seperti mainan atau permen, tampaknya memiliki makna yang jauh lebih besar bagi mereka dibandingkan apa yang bisa kami bayangkan. Meski sederhana, hadiah-hadiah itu mampu menghadirkan kebahagiaan yang tulus dari hati anak-anak yang begitu polos. seolah- olah itu adalah sesuatu yang sangat berharga bagi mereka.
Momen-momen itu begitu istimewa. Aku menyaksikan sendiri betapa kuatnya jiwa manusia, terutama anak-anak, dalam menghadapi musibah. Meski mereka baru saja melalui salah satu peristiwa paling traumatis dalam hidup mereka, mereka masih mampu menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil. Wajah-wajah mereka yang semula penuh kecemasan, perlahan- lahan berubah menjadi penuh senyum dan tawa yang lepas. Bahkan orang tua mereka pun mulai tersenyum, melihat anak-anak mereka sejenak terlepas dari bayangan tragedi. Aku merasa sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari momen ini, di mana kebaikan kecil yang kami berikan bisa membawa kebahagiaan besar bagi mereka. Pada saat itulah, hatiku benar-benar menghangat, dan aku merasa bahwa inilah makna sebenarnya dari kemanusiaan: berbagi, peduli, dan membawa kebahagiaan bagi mereka yang membutuhkan.
Di sisi lain, beberapa orang tua mulai mendekat dan berbagi cerita dengan kami. Mereka mengucapkan terima kasih yang mendalam atas kehadiran kami, yang berhasil membawa sedikit kebahagiaan kepada anak-anak mereka di tengah situasi yang begitu sulit. Ada kehangatan dan kelegaan di wajah mereka meski masih diselimuti rasa cemas yang tak sepenuhnya hilang. Ibu- ibu di sana tampak antusias berbicara, menceritakan dengan penuh emosi bagaimana malam bencana itu terjadi. Malam penuh kepanikan yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Dengan suara serak, salah seorang ibu menceritakan bahwa tak ada satu pun dari mereka yang menduga kedahsyatan yang akan datang. Setelah malam itu, setiap kali langit mulai mendung
atau petir bergemuruh, anak-anak mereka yang biasanya ceria dan berani, sekarang kerap menangis ketakutan. Mereka menjadi trauma setiap kali melihat tanda-tanda hujan akan turun, seolah-olah itu adalah pertanda malapetaka yang akan kembali mengancam.
Kegiatan kami di sana berlangsung hingga menjelang senja, tepat sekitar pukul setengah enam sore. Meskipun kami ingin tinggal lebih lama, berinteraksi lebih jauh dengan mereka., dengan berat hati kami harus segera berpamitan, rasanya pertemuan itu terlalu singkat, seperti ada begitu banyak cerita yang belum sempat dibagi. Namun, langit semakin gelap, dan firasat akan datangnya hujan membuat kami harus bergerak cepat. Rasa takut pun mulai menyusup di hati kami, membayangkan berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi jika kami terlambat kembali. Setelah berpamitan dengan penuh kehangatan dan doa-doa dari mereka, kami segera bergegas turun dari lokasi bencana. Sambil berjalan, pikiranku terus dipenuhi oleh wajah-wajah yang kutemui hari itu tentang anak-anak yang sempat tersenyum maupun ibu-ibu yang bercerita penuh haru.
Sebagai seseorang relawan, aku bukan hanya sebatas membantu dan memberi yang aku bisa, namun lebih dari pada itu aku justru menerima banyak pelajaran. Uluran tangan sederhana menjadi sangat berati bagi orang lain bukan hanya perihal barang dan harta, sebatas membuat orang lain dapat tersenyum bahagia karena kita adalah suatu bahagia tanpa batas. Disaat berada disini pun memberikan sejuta pengalaman yang tak kudapati di tempat lain yang tak pernah terpikir sebelumnya.
Melihat senyum dan tawa anak-anak ini meski rumah mereka rusak bahkan hancur serta orang tua yang tegar menghadapi kehilangan, membuat aku merenung jika betapa sering aku lupa tuk bersyukur atas apa yang masih kumiliki. Kini, masa itu telah berlalu, kendati begitu kenangannya tetap melekat erat di ingatan. Mereka didaerah sana sekarang berangsur bangkit dan pulih, sekolah, jembatan mulai diperbaiki dan dibangun kembali.