Indonesia, Filipina dan Jepang telah mengintegrasikan pendidikan mitigasi bencana—SPAB dalam konteks Indonesia—ke dalam dunia praktis.
Filipina telah berhasil mengintegrasikan pendidikan terkait bencana ke dalam kurikulum sekolah mereka, sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kesiapsiagaan bencana di kalangan pelajar.
Dilansir Katadata (2024) Beberapa sekolah di Filipina juga menerapkan teknologi canggih untuk menghadapi bencana terkait perubahan iklim dengan menerapkan Rapid Assessment of Damages Report (RADar).
Proses ini didorong oleh undang-undang nasional seperti Republic Act 10121 yang mengamanatkan pengajaran manajemen risiko bencana di semua jenjang pendidikan, termasuk program pelatihan seperti National Service Training Program (NSTP) untuk mahasiswa.
Dalam konteks Indonesia, beberapa kampus sudah membuka jurusan Manajemen Bencana dalam prodinya.
Selain itu, beberapa sekolah di Filipina di wilayah yang rawan bencana, seperti di Visayas Timur, sudah mulai mengadopsi modul pendidikan bencana.
Hal serupa juga terjadi pada negara Jepang. Jepang telah berhasil mengintegrasikan pendidikan bencana ke dalam kurikulum sekolah melalui berbagai inisiatif yang bertujuan untuk mempersiapkan siswa menghadapi bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami.
Pendidikan bencana di Jepang tidak hanya mencakup pelatihan tanggap darurat tetapi juga penanaman budaya kesiapsiagaan dalam kehidupan sehari-hari, atau dikenal sebagai seikatsu bosai.
Inisiatif ini dikembangkan dengan kolaborasi antara pemerintah lokal, sekolah, dan organisasi sukarela yang melakukan simulasi bencana dan pelatihan kesadaran.
Selain itu, pemerintah Jepang telah mengembangkan program pendidikan berbasis bencana yang terstruktur di sekolah sejak gempa bumi Kobe pada tahun 1995 dan diperkuat setelah gempa besar Tohoku pada 2011. Program tersebut tertuang dalam The Third Basic Plan for School Safety Promotion.
Modul pendidikan ini dirancang untuk meningkatkan pengetahuan siswa tentang bahaya alam dan cara menghadapi situasi darurat.
Sebuah studi yang berjudul Impact Evaluation of A School-Based Disaster Education Program in A City Affected by The 2011 Great East Japan Earthquake and Tsunami Disaster (2020), oleh Aiko Sakurai, Takeshi Sato, dan Yoshiyuki Murayama, memperlihatkan dalam program Reconstruction Mapping Program yang melibatkan sekolah dasar dan jenjang menengah pertama, dan menunjukan bahwa murid cenderung memiliki kemauan dan sikap untuk memberi kontribusi kepada masyarakat, terutama kepada mereka yang terdampak bencana.
Kemudian di Indonesia, melalui portal data Satu Data Indonesia, hanya tiga provinsi yang rekam jejak SPAB tersedia, yakni Jakarta, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah Bali sulit membaca data karena format yang diinginkan tidak tersedia.
Masih dalam Satu Data Indonesia di Jakarta sudah 36 sekolah terpapar SPAB, Jawa Timur ada 44 sekolah, dan di Yogyakarta sejujurnya ada sedikit kerancuan data.
Di tahun 2024, tercatat ada 16 sekolah yang menerapkan SPAB sebagaimana diberitakan laman resmi Kota Yogyakarta. Tetapi pada tahun 2022, ada 55 sekolah yang ditetapkan untuk jadi SPAB sebagaimana diberitakan dalam laman resmi Provinsi DIY.
Melansir Data Indonesia (2023) Indonesia tahun 2024 memiliki 436.707 sekolah. Terbanyak adalah sekolah dasar 149.225. Jumlah ini menjadi tantangan sendiri dalam menerapkan SPAB dan mendorong komitmen semua pihak dalam mewujudkan sekolah yang tangguh hadapi bencana. (AFP/ DMC Dompet Dhuafa)