Lain hal dengan peringkat kedermawanan 10 negara yang sebelumnya disebutkan, dalam sumber lain justru memiliki peringkat yang variatif perihal negara terkorup.
Transparency International Corruption Perceptions Index 2023 , membuat daftar negara yang paling sedikit atau bersih dari korupsi.
Indonesia berada di peringkat ke-115, Kenya urutan ke-126, Singapura urutan ke-5, Gambia urutan ke-98, Nigeria urutan ke-145, Amerika Serikat urutan ke-24, Ukraina urutan ke-104, Australia urutan ke-14, Uni Emirat Arab urutan ke-26, dan Malta urutan ke-55.
Sederhananya, jika kita lihat seksama, maka 10 negara dermawan tadi, jika diurutkan berdasarkan negara yang terkorup, maka seperti ini urutannya Nigeria, Kenya, Indonesia, Ukraina, Gambia, Malta, Uni Emirat Arab, Australia dan Singapura.
Hanya Singapura yang masuk ke dalam 10 besar negara terbersih dari korupsi. Artinya 10 teratas negara yang paling dermawan—atau lima peringkat teratas—ada indikasi tindak perilaku korupsi, mengingat donasi juga ladang yang diincar para koruptor.
Di Indonesia sendiri kasus korupsi di bidang kebencanaan tidaklah sedikit, sebut saja kasus korupsi dana bantuan bencana di Kabupaten TTU, kasus korupsi dana pascabencana Kabupaten Pasaman, kasus di Kabupaten Siak, kasus korupsi dana di Kabupaten Seluma, Kabupaten Nias, kasus perbaikan unit gedung pasca gempa bumi di Kota Mataram, proyek penyediaan air di Kabupaten Palu, kasus rekonstruksi bangunan masjid di NTB, dan terakhir (sebenarnya masih banyak) kasus korupsi dana bantuan saat Covid-19 yang dilakukan eks mentri Kemensos.
Mayoritas kasus di atas adalah kasus penanganan tanggap darurat dan pascabencana. Pencarian kasus korupsi di dalam masa prabencana/ mitigasi masih belum ditemukan. Tetapi mayoritas kegiatan prabencana/ mitigasi berkaitan dengan pendidikan kesiapsiagaan, maka kita bisa memfokuskan diri pada kasus korupsi di bidang pendidikan.
Dilansir dari laman resmi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terdapat 240 kasus korupsi sektor pendidikan yang ditangani oleh aparat penegak hukum selama tahun 2016 -2021 di Indonesia yang melibatkan 621 tersangka/terpidana, dengan kerugian negara kurang lebih Rp.1,6 milyar.
“Jenis-jenis Korupsi di Sektor Pendidikan itu meliputi kegiatan fiktif 33,3%, pemerasan 17,3%, kesalahan alokasi anggaran 16%, mark up 10,7%, penggelapan dana 9,3%, pemotongan anggaran 8% dan penyalahgunaan wewenang 5,3%,” ucapnya Zulfadhli Nasution, Analis Antikorupsi pada Direktorat Jaringan Pendidikan KPK dalam rilis KPK (2023).
Data yang dipaparkan Indonesian Corruption Watch/ ICW (2021) korupsi terbanyak di sektor pendidikan adalah berkaitan korupsi pembangunan infrastruktur dan pengadaan barang/ jasa non infrastruktur, seperti pengadaan buku, arsip sekolah, meubelair, perangkat TIK untuk e-learning, pengadaan tanah untuk pembangunan fasilitas pendidikan, dan lainnya.
Masih dalam laporan ICW 2021, pelaku terbanyak berasal dari ASN seperti ASN Staf di Dinas Pendidikan (160 tersangka); ASN instansi lain seperti kementerian, Dinas Sosial, Dinas Syariat Islam, Dinas Komunikasi dan Informasi, dll (84 tersangka); dan Kepala Dinas Pendidikan (44 tersangka). Tersangka terbanyak kedua berasal dari pihak sekolah, yaitu 157 tersangka atau 25,3% dari total tersangka.
Lebih lanjut laporan ICW 2021, mencatat kepala dan wakil kepala sekolah adalah pihak sekolah yang paling banyak ditetapkan sebagai tersangka (91 orang) dan disusul pihak lain seperti guru, kepala tata usaha, dan penanggung jawab teknis kegiatan (36 orang), serta staf keuangan atau bendahara sekolah (31 orang).
Pada tahun 2022, ICW kembali merilis jumlah temuan, ada 35 kasus korupsi bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) menurut penelusuran ICW. Kasus ini paling banyak terjadi di jenjang SD yakni 49 persen, dilanjut SMP ada 31 persen, SMK ada 11 persen, dan SMA terdapat 9 persen.
Secara sederhana, jika pengadaan barang/jasa alat pemadam api kecil (apar), tanda evakuasi, bangunan yang tahan (atau tidak mudah rusak), dikorupsi maka para staf, murid, dan orang tua murid yang sedang ada di lingkungan sekolah akan rentan cidera apabila terjadi bencana.
Hal ini diperparah apabila sudah dilakukan mark-up, sudah dana pengajuan ditingkatkan, barang/jasa yang dijanjikan dipotong (dikurangi), maka semakin minim keselamatan seseorang di lingkungan sekolah.
Analogi lainnya, misal dana bantuan bangunan rumah pascabencana ternyata dikorupsi. Maka penyintas yang mendapatkan bantuan tersebut rentan menjadi korban untuk kedua kalinya ketika bencana terjadi kembali.
Sekarang cukup terlihat jika masing-masing bidang menunjukan hadirnya celah untuk penyelewengan bantuan, terlebih apabila keduanya tengah berkaitan satu sama lain, maka dampak destruktifnya akan semakin besar dan bahaya yang dibawa juga semakin disruptif.
”Minimnya pengawasan merupakan penyebab utama yang membuat bantuan terkait bencana begitu rentan diselewengkan. Semua lebih memilih berkonsentrasi mencari dan menyelamatkan korban, serta mengumpulkan dan mendistribusikan bantuan,” tulis Ade Irawan, Pegiat Akademi Antikorupsi ICW dalam opininya yang berjudul Korupsi Bencana, Bencana Korupsi (2019) dalam laman resmi ICW.
”Apalagi banyak yang meyakini bahwa tidak akan ada orang yang tega dan berani mencari keuntungan dari bencana. Kondisi tersebut ditambah informasi mengenai bantuan bencana yang cenderung tertutup,” lanjutnya. (AFP/ DMC Dompet Dhuafa)