Statistik Menyatakan Lihat Tanaman Mampu Redam Kecemasan

Seorang pria baru saja keluar dari ruang operasi. Lelaki dengan rambut ikal, tinggi 180 sentimeter, kurus itu terbaring lemas di kasur rumah sakit yang hendak keluar dari pintu operasi.

Kondisinya lemah, namun memiliki kesadaran penuh terhadap hal sekitarnya. Dia mengenali staf rumah sakit, dokter, suster, orang tua, bahkan pasien lainnya.

Kala itu sang pria tidak tahu menahu akan dibawa ke mana dirinya. Suster mendorong kasur pria tersebut memasuki lift, untung tidak ada pasien lain yang sedang menggunakan lift.

Khawatir ada perasaan canggung di antara pasien yang sedang berpapasan seraya melihat dan membayangkan nasib mereka selama berobat di rumah sakit.

Pintu lift terbuka seraya menarik pasien tersebut menuju ruang peristirahatan yang akan menjadi tempat ”bermukimnya” dia dan keluarga selama beberapa hari ke depan. Ruangan tersebut adalah kamar pasien.

Ruangan yang terdiri dari tiga kasur yang masing-masing dilengkapi dengan tirai, meja dan tombol bantuan darurat apabila membutuhkan kehadiran suster.

Ruangannya bersih—bahkan terlalu bersih—karena memang seharusnya begitu. Andaikata ruangannya kotor, maka akan menjadi catatan buruk bagi rumah sakit.

Selain karena untuk menjaga higienitas dan steril dari kuman-kuman yang dibawa pasien sebelum-sebelumnya sekaligus menyisir sudut kamar tersebut dengan mata runcingnya agar mengetahui tidak ada hewan aneh yang siap menerkam bulu hidung pasien saat sedang tidur. Hidung pria tersebut cukup sensitif soalnya.

Pasien tersebut beruntung mendapatkan ruangan yang memiliki jendela, karena jendela tersebut langsung menghadap pintu masuk dan keluar gerbang rumah sakit.

Jadi pergerakan dan warga yang lalu lalang dapat terlihat sehingga sang pasien bisa terus berharap dan berkeinginan kuat agar segera sembuh, serta kembali melakukan aktivitas sehari-hari seperti warga-warga yang lalu lalang di depan rumah sakit tersebut.

Waktu demi waktu berlalu, sang pria tetap merasa gelisah—meski kegelisahan terbesar ialah saat hendak melakukan operasi, karena dia memang tidak suka berada di rumah sakit—menunggu waktu untuk bisa segera sembuh dan keluar jauh dari rumah sakit sembari sesekali mengintip adakah kejadian ajaib yang ada di sudut ruang tersebut.

Satu-satunya hiburan ia, adalah telepon genggamnya. Dia membaca buku, menonton video, menghubungi rekan kerja dan sahabat, serta masih banyak lagi.

Namun terkadang muncul rasa bosan dari memainkan telepon genggam, akhirnya dia hanya bengong dengan tatapan kosong. Terkadang melihat langit-langit ruangan, melihat televisi yang mati, atau melihat jari kaki dia yang ternyata kukunya sudah panjang dan sedikit menghitam.

Sampai waktu berlalu, dia tidak menyangka karena dia hanya bertahan sebentar di sana, karena menurut diagnosa dokter, pria tersebut bisa kembali ke rumah.

Operasi jahitannya sudah menyatu dengan kulit, yang sayangnya hal ini keliru karena sisa jahitan—ujung benang—masih menjulang tinggi dan membuat kulit mengidentifikasi sebagai luka, sehingga pemulihan menjadi lebih lama.

Kemudian pria tersebut berangan-angan sambil bertanya dalam hati: ”Apakah kamar rumah sakit harus se-membosankan itu? Haruskah pihak rumah sakit melengkapi atau meningkatkan pelayanan fasilitas kamar untuk menunjang kesembuhan pasien? Jika memang harus, apa yang sekiranya cocok untuk ditingkatkan? Apa pihak rumah sakit harus melengkapi kamar pasien seperti taman bermain? Jika menjadi taman bermain maka sudah bukan rumah sakit lagi namanya, maka jaminan kesehatan yang biasanya digunakan sudah tidak berlaku lagi.

Angan demi angan berlalu, akhirnya dia mencoba berselancar di dunia digital untuk mencari jawaban dari pertanyaannya sendiri.

Kemudian tidak lama muncul sebuah informasi bahwa tanaman dalam ruang mampu membantu kesembuhan pasien. Beberapa informasi dengan sumber valid menunjukan rasa penasaran sang pria.

Informasi tersebut merupakan jurnal ilmiah yang berjudul ”The Effect of Indoor Foliage Plants on Health and Discomfort Symptoms among Office Workers(1998) yang ditulis oleh lima peneliti Tove Fjeld, Bo Vetersted, Leiv Sandvik, Geir Riise, dan Finn Levy. Kurang lebih judul tersebut memiliki terjemahan ”Dampak Tanaman Dedaunan Dalam Ruangan terhadap Kesehatan dan Gejala Ketidaknyamanan di antara Pekerja Kantoran”.

Jurnal tersebut mengambil tempat penelitian di perusahaan minyak di Norwegia. Sebanyak 51 karyawan turut serta dalam pengambilan data penelitian ini.

Pada tahap asesmen awal, karyawan-karyawan tersebut menunjukan gejala kesehatan buruk akibat jeleknya kualitas udara di ruangan. Awalnya ada 59 karyawan namun 7 karyawan memutuskan pindah ke gedung sebelah, 1 karyawan tidak memiliki tanaman. Alhasil hanya 51 yang bersedia turut menjadi sampel penelitian ini.

Para karyawan mengisi kuesioner yang diberikan setiap dua minggu sekali tentang 12 soal gejala kesehatan selama dua periode musim semi atau 3 bulan di tahun 1995 dan 1996.

Adapun 12 soal tersebut meliputi gejala: (1) kelelahan; (2) merasa pening; (3) sakit kepala; (4) mual/mengantuk; (5) masalah konsentrasi; (6) gatal, terbakar, iritasi mata; (7) hidung teriritasi, tersumbat atau ‘berair’; (8) tenggorokan serak, kering; (9) batuk; (10) kulit wajah kering atau memerah; (11) kulit kepala atau telinga bersisik/gatal; (12) tangan dengan kulit kering, gatal, atau merah.

Karyawan menjawab berdasarkan skala prioritas dari 0 (tidak ada masalah), 1 (sedikit bermasalah), 2 (cukup bermasalah), 3 (sangat bermasalah).

Penelitian ini membagi karyawan ke dalam dua ruangan, ruangan pertama berisi tanaman, sedangkan ruangan kedua tidak, pada tahun 1995. Kemudian pada tahun 1996 karyawan bertukar posisi dengan satu yang lainnya.

Ruangan tersebut sangat identikal dengan luas kurang lebih 10 meter kubik dengan jendela yang menghadap keluar. Dua ruangan tersebut memiliki ventilasinya tersendiri. Setiap 6 bulan, filter udara di ruangan tersebut diganti.

Adapun tanaman yang digunakan adalah 4 (empat) Aglaonema commutatum (Sri Rezeki atau Puntik Gawah), 2 (dua) Dracaena deremensis (Sri Gading), 4 (empat) Epipremnum aureum (Sirih Gading), 3 (tiga) Philodendron scandens (Sirihan atau Memelong Hati).

Peneliti menempatkan beberapa tanaman di belakang ruangan, yakni satu Sri Gading, dan empat Sirih Gading. Tanaman tersebut tumbuh dengan skala sedang (1,75 meter ke atas). Pelayanan profesional layanan kebun bertugas menjaga tanaman-tanaman tersebut tetap sehat dan baik.

Pelayanan profesional tersebut juga menempatkan poster tentang alam di ruangan satunya yang tidak memiliki tanaman. Profesional juga tidak melakukan kontak atau komunikasi dengan karyawan-karyawan subjek penelitian.

Hasilnya cukup mencengangkan, rata-rata karyawan mengaku lebih baik sebanyak 23%, saat berada di ruangan penuh tanaman. Karyawan dengan gejala batuk dan kelelahan menunjukan sebanyak 30%-37% mengaku lebih baik saat di ruangan penuh tanaman. Sebanyak 23% mengaku lebih baik bagi karyawan dengan keluhan tenggorokan kering/serak dan kulit wajah kering/gatal. Secara keseluruhan, didapatkan pengurangan signifikan pada gejala neuropsikologis dan gejala selaput lendir, sedangkan gejala kulit tampaknya tidak terpengaruh oleh keberadaan tanaman.

Jurnal kedua berjudul ”Human Response to Window Views and Indoor Plants in the Workplace(2005) yang ditulis oleh Chen-Yen Chang dan Ping-Kun Chen. Jika diterjemahkan ke Indonesia menjadi ”Respons Manusia terhadap Pemandangan Jendela dan Tanaman Dalam Ruangan di Tempat Kerja”.

Penelitian tersebut berlangsung di laboratorium psikofisiologis Universitas Negeri Chung-Hsing. Para sampel subjek penelitian merupakan 38 mahasiswa dari Departemen Hortikultura, Universitas Negeri Chung-Hsing. Para subjek tersebut terdiri dari 10 pria dan 28 wanita. Semua subjek berada dalam kondisi kesehatan yang prima.

Mereka semua melihat 6 (enam) foto kantor dari komputer dengan rincian tertentu: (1) foto ruang kantor tanpa jendela dan tanpa tanaman hias; (2) foto ruang kantor tanpa jendela tetapi terdapat tanaman hias; (3) foto ruang kantor dengan jendela dan pemandangan kota tetapi tanpa tanaman hias; (4) foto ruang kantor dengan jendela dan pemandangan kota serta memiliki tanaman hias; (5) foto ruang kantor dengan jendela dan pemandangan alam tetapi tanpa kehadiran tanaman hias; dan (6) foto ruang kantor dengan jendela dan pemandangan alam ditambah ada tanaman hias.

Subjek berada di ruang laboratorium dengan luas 35 meter kubik dengan temperatur 25 derajat celcius. Masing-masing subjek duduk berurutan dengan jarak 3 meter dari komputer.

Selama melihat foto-foto tersebut, para subjek harus mengisi kuesioner State-Anxiety Inventory, yakni dokumen kuesioner yang bertujuan mengukur kecemasan sesaat dan kecemasan dasar. Para subjek juga dikenakan electroencephalogram (EEG), alat deteksi otak; electromyography (EMG), alat deteksi saraf; dan blood volume pulse (BVP), alat deteksi detak darah.

Penelitian tersebut mengemukakan rasa gugup dan cemas berkurang ketika melihat pemandangan alam dan/atau ketika ada tanaman dalam ruangan. Ketika tidak ada pemandangan jendela maupun tanaman dalam ruangan yang diperlihatkan, peserta mengalami tingkat ketegangan dan kecemasan tertinggi.

Jurnal terakhir berjudul Interior Plants May Improve Worker Productivity and Reduce Stress in a Windowless Environment(1996) yang ditulis oleh Virginia I. Lohr, Caroline H. Pearson-Mims, and Georgia K. Goodwin. Jika diterjemahkan menjadi “Tanaman Dalam Ruangan Dapat Meningkatkan Produktivitas Pekerja dan Mengurangi Stres di Lingkungan Tanpa Jendela”.

Penelitian ini berlangsung di laboratorium komputer Universitas Negeri Washington dengan 27 stasiun kerja komputer. Ruangan tersebut memiliki panjang 13,5 m, lebar 7,3 m, dan tinggi 2,6 m.

Ruangan tersebut tidak memiliki jendela dan diterangi dengan lampu neon di atas kepala. Dindingnya tidak memiliki ornamen dan terdapat papan penanda putih di bagian depan ruangan.

Sebagian besar bagian dalam ruangan berwarna putih pucat; bagian atas meja berwarna jingga kecokelatan. Kondisi di dalam ruangan rata-rata 27 celcius, kelembaban relatif 38%, dan 420 lux (38 fc) di permukaan kerja selama kedua perlakuan percobaan.

Subjek penelitian merupakan sukarelawan mahasiswa dari kelas ekonomi pertanian. Usia mereka berkisar antara 18 hingga 46 tahun, dan 78% berusia kurang dari 25 tahun.

Setengah dari subjek adalah laki-laki dan setengahnya perempuan. Sebanyak 80% subjek adalah mahasiswa; sisanya adalah karyawan universitas atau anggota masyarakat sekitar.

Semua subjek telah menggunakan komputer sebelumnya, dan sebagian besar menggunakan komputer setidaknya sebulan sekali.

Setengah dari subjek melaporkan keterampilan mengetik mereka rata-rata, sementara 20% merasa bahwa keterampilan mereka lebih lambat dari rata-rata dan 30% merasa bahwa mereka lebih cepat dari rata-rata.

Ketika ditanya apakah mereka menyukai tanaman, 81% mengatakan ‘ya’ dan sisanya tidak memiliki pendapat atau mengatakan ‘tidak.’ Sebanyak 66% subjek memiliki tanaman di rumah atau kantor mereka.

Sebelum mengikuti penelitian para subjek mengikuti tes pra-penelitian atau asesmen awal, dengan prosedur yang sedikit berbeda. Mayoritas dari 160 subjek dalam percobaan pendahuluan adalah sukarelawan dari kelas psikologi tingkat atas di Universitas Negeri Washington, dan usia rata-rata mereka adalah 20 tahun.

Adapun tanaman dan jumlahnya yang diikut sertakan dalam penelitian ini adalah Aglaonema sp (2), Chamaedorea seifrizjj (1), Dracaena marginara (1), Dracaena deremensis ‘Janel Craig’ (1), Epipremnum aureum (2), Homalomena siesmeyeriana (1), Hoya sp (3), Philodendron scandens (2), Sansevieria trifasciata (1) Scindapsus pictus ‘Argyraeus’ (1), dan Syngonium podophyllum (2).

Saat penelitian berlangsung, para subjek dihadirkan tiga bentuk gambar dengan ukuran berbeda, di berbagai lokasi, pada interval waktu acak, di layar komputer. Variabel yang dimasukkan ke dalam program ini telah dikaitkan dengan perbedaan waktu reaksi.

Peserta diminta untuk menekan tombol yang sesuai dengan bentuk di layar secepat mungkin setelah mereka mengenali bentuknya.

Ada pilihan tombol tertentu yang terkait dengan setiap bentuk; oleh karena itu, subjek memiliki pilihan tiga respons.

Ukuran waktu reaksi di mana responden memiliki lebih dari satu kemungkinan respons dikaitkan dengan fungsi mental yang kompleks dan dianggap sebagai instrumen yang tepat untuk mengukur kinerja dalam kondisi stres atau kelelahan.

Sebanyak 100 simbol disajikan dalam urutan acak yang sama untuk setiap subjek, sehingga menjaga kompleksitas tugas yang sama untuk semua subjek.

Interval waktu setelah menekan tombol yang benar, yang menghapus layar, hingga simbol berikutnya muncul bervariasi dari nol hingga lima detik. Setiap jumlah tombol yang salah ditekan dan waktu tunda sebelum menekan tombol yang benar (waktu reaksi) secara otomatis direkam dalam berkas komputer.

Dalam asesmen awal/ pra-penelitian hanya 50 simbol yang disajikan, dan waktu tunda antara simbol berkisar dari satu hingga 15 detik, membuat tugas agak lebih membosankan daripada tugas yang digunakan dalam percobaan ini.

Saat ikut serta dalam penelitian, keadaan emosional, tekanan darah, dan denyut nadi para subjek peserta juga diukur.

Ada dua perlakuan dalam penelitian ini: tanaman ada dan tanaman tidak ada. Untuk perlakuan dengan tanaman ada, spesies tanaman dalam ruangan yang toleran terhadap cahaya rendah ditambahkan di sekeliling ruangan.

Tanaman lantai, tanaman meja, dan tanaman gantung ditambahkan, dan mereka memberikan kesan lanskap interior yang dirancang dengan baik, tetapi tidak rimbun.

Tanaman diposisikan sedemikian rupa sehingga peserta subjek yang akan hadir, tanamaannya masih dalam pandangan sekeliling setiap subjek yang duduk di terminal komputer, tetapi tidak akan mengganggu aktivitas subjek.

Hingga delapan subjek diuji pada satu waktu. Subjek memasuki ruangan dan duduk di terminal yang ditunjuk.

Asisten kemudian membimbing mereka melalui serangkaian tugas. Setiap subjek diuji baik di hadapan atau tanpa tanaman, tidak dalam kedua kondisi tersebut.

Hasil penelitian tersebut menunjukan ketika tanaman ditambahkan ke ruang dalam ini, para peserta menjadi lebih produktif (waktu reaksi 12% lebih cepat saat mengerjakan tugas di komputer) dan tidak terlalu stres (tekanan darah sistolik turun satu hingga empat unit).

Segera setelah menyelesaikan tugas, para peserta di ruangan dengan tanaman melaporkan merasa lebih perhatian (peningkatan 0,5 pada skala yang dilaporkan sendiri dari satu menjadi lima) dibandingkan orang-orang di ruangan tanpa tanaman.

Setelah melihat kenyataan ini, sang pria akhirnya memutuskan untuk memiliki tanaman hias di tempat kerjanya dan di tempat tinggal kos-kosannya. Walaupun ia sendiri belum tahu banyak perihal merawat tanaman, tetapi ini salah satu tekad terkuat dia.

Lantaran perubahan iklim semakin lama menunjukan taringnya, curah hujan yang tidak menentu, kekeringan semakin memburuk, gelombang tinggi air laut yang semakin murka hingga perlahan-lahan memakan wilayah pesisir pantai.

Menambah motivasi sang pria untuk memiliki tanaman hias—tentunya bukan tanaman hias yang dilindungi atau hampir punah, jika pria tersebut memiliki tanaman hias sejenis ini, dipastikan dia akan memperburuk lingkungan dan masuk penjara—dan membawa kembali semangat ’balik kepada yang asri’ dengan menanam dan merawat tumbuhan serta tanaman agar bumi kembali ramah terhadap makhluk hidupnya.

Sang pria tersebut adalah penulis artikel ini. (AFP/ DMC Dompet Dhuafa)