Semburat cahaya matahari terasa membakar punggung pada siang itu, 28 Agustus 2024. Miarso, warga Dusun Jurangjero, Desa Jurangjero, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, terlihat sedang membungkuk untuk menyemai tanaman kacang hijau di ladangnya. Hanya sedikit yang bisa dipanen, sebagian besar kacang hijau yang ia tanam layu. Tanah-tanah yang retak dan tandus seolah menjawab pertanyaan kenapa sebagian besar tanaman Miarso meranggas mati.
“Hanya sedikit yang bisa dipanen. Sisanya tidak. Yang rusak dan mati ini biasanya saya gunakan untuk pakan ternak,” ujar Miarso, petani yang sudah berusia 70 tahun itu.
Miarso mengalami dua kali kegagalan dalam produksi pertaniannya. Pertama, padi yang ditanamnya untuk kebutuhan subsistensi keluarga mati karena kekurangan air. Kegagalan kedua terjadi saat ia menanam kacang hijau untuk dijual; sebagian tanaman layu dan mati, hanya sebagian kecil yang layak panen.
Nasib malang juga dirasakan warga Dusun Jurangjero lainnya, Tarkiyem. Perempuan berusia 60 tahun itu tidak memiliki lahan sawah, meski begitu kondisi kekeringan yang membuat areal pertanian kering kerontang berdampak pada kehidupannya.
Di tengah kemarau panjang ini, saat di mana hari-hari tanpa hujan berlangsung lama, sawah-sawah tampak kosong. Hal ini membuat akses Tarkiyem untuk bekerja sebagai buruh tani di ladang milik tetangganya tertutup.
“Gimana mau kerja di sawah, toh, sawah-sawah sudah kering. Untuk sehari-hari saya cuma makan dari apa yang saya tanam aja di belakang rumah,” ucap Tarkiyem.
Mata pencaharian Tarkiyem sebagai buruh upahan di ladang pertanian tertutup rapat. Setiap harinya ia hanya mengandalkan kiriman uang dari suaminya di perantauan yang tak menentu. Untuk kebutuhan air ia hanya bisa bergantung pada anak-anaknya yang setiap hari membawakan beberapa kompan berisi air.
Mereka mendapatkan air dari sumber yang terletak jauh di ujung sawah, ujar Tarkiyem, sekitar 6 kilo jaraknya. Untuk mencapai titik itu anak-anaknya perlu menggunakan sepeda motor.
“Kalau anak saya tidak datang ke rumah, tandanya air lagi kering,” imbuh Tarkiyem
Tidak hanya pada aktivitas pertanian, kekeringan yang terjadi juga membawa gangguan pada kebutuhan warga terhadap air bersih.
Sejak hujan tidak lagi turun, sumber air di desa-desa kering. Sumur pribadi milik warga tidak lagi mengeluarkan air. Beberapa desa yang mendapatkan akses air PDAM pun punya masalah yang sama. Air PDAM selalu tersendat. Alih-alih air yang keluar, lebih sering yang keluar dari saluran pipa itu adalah angin. Nihil.
Cerita Miarso dan Tarkiyem mewakili apa yang dihadapi warga Gunungkidul lainnya di tengah musim kemarau. Mereka punya kesulitan yang sama saat hujan tidak kunjung turun di desanya. Tidak kunjung turun dalam waktu yang cukup lama.
Yang perlu kita ketahui, keadaan sulit akibat kekeringan bukanlah hal baru bagi mereka. Setiap tahun ancaman krisis air bersih dan penderitaan yang diakibatkannya selalu datang menghampiri, mengetuk pintu lapuk rumah-rumah warga Gunungkidul.
Lantas apa yang membuat Gunungkidul kerap dilanda kekeringan sehingga warganya begitu karib dengan jerat derita yang hadir ketika kekeringan menyerang?
Mengapa Gunungkidul Sering Dilanda Kekeringan?
Pada tahun 2024 ini, sebanyak 13 kecamatan di Kabupaten Gunungkidul mengalami kekeringan. Kemarau datang lebih awal dan berlangsung lebih lama. Curah hujan yang menurun membuat sumur-sumur milik warga kering. Beberapa telaga yang biasanya menjadi penampung air permukaan ketika curah hujan masih normal tidak dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari warga.
Kekeringan yang melanda Gunungkidul pada periode Juli-Oktober 2024 ini, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kab. Gunungkidul, Purwono, mengatakan ada sebanyak 53.818 jiwa terdampak kekeringan dan krisis air bersih.
Bencana kekeringan bukanlah hal baru bagi warga Gunungkidul. Setiap tahun kekeringan yang berdampak pada krisis air bersih kerap terjadi saat memasuki musim kemarau. Curah hujan yang menurun signifikan membuat hari tanpa hujan bisa berlangsung lama di wilayah Gunungkidul.
Dilansir dari World Health Organization (WHO), kekeringan adalah periode kering berkepanjangan dalam siklus iklim alami yang dapat terjadi di mana saja di dunia. Kekeringan terjadi secara perlahan yang ditandai dengan kurangnya curah hujan, yang mengakibatkan kekurangan air.
Siklus alami ini juga meliputi fenomena El Nino yang menguat secara global pada waktu-waktu belakang ini dan membuat cuaca di banyak wilayah di Indonesia lebih kering dan mengalami panas menyiksa.
Dilansir dalam laman website Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), El Nino berasal dari bahasa Spanyol yang berarti “anak laki-laki” merupakan suatu kondisi arus laut hangat tahunan yang mengalir ke arah selatan di sepanjang pesisir Peru dan Ekuador saat menjelang natal. Kondisi menghangatnya perairan di wilayah Amerika Selatan erat kaitannya dengan anomali pemanasan lautan yang lebih luas di Samudera Pasifik bagian timur, bahkan dapat mencapai garis batas penanggalan internasional di Pasifik tengah.
Pendeknya, kondisi yang dipaparkan di atas turut berdampak terhadap menurunnya curah hujan hampir di seluruh wilayah di Indonesia pada bulan-bulan tertentu (Juni sampai November).
Dalam kasus Gunungkidul, siklus iklim alami ataupun fenomena El Nino bukanlah dua di antara alasan-alasan lain yang mempengaruhi kekeringan di sana. Dua hal itu justru memperparah kondisi yang sudah ada di Gunungkidul—tentang karakteristik dan kondisi geografisnya.
Kabupaten Gunungkidul sebagian besarnya didominasi oleh perbukitan karst yang sulit menyimpan air tanah. Kondisi tersebut menyebabkan lahan kurang subur, kering dan tandus.
Wilayah karst sendiri tidak banyak menyimpan air permukaan. Keberadaan air permukaan jarang ditemukan di daerah karst, karena sebagian air hujan yang turun akan masuk ke dalam tanah dan melewati rongga-rongga, sehingga yang berkembang adalah sistem sungai bawah tanah (Nugroho J, 2020).
Permukaan tanah yang tidak mampu menyimpan air akan menjadi sangat kering ketika musim kemarau berlangsung atau ketika curah hujan sedang menurun. Hal ini juga mengakibatkan sumur-sumur galian yang dibuat warga dengan kedalaman yang hanya beberapa meter tidak banyak membantu saat kekeringan terjadi.
Meski begitu, wilayah Gunungkidul sebetulnya menyimpan potensi air yang besar, tepatnya sungai bawah tanah. Namun, untuk mengakses sungai bawah tanah ini sebagai sumber air sehari-hari tidaklah mudah.
Titik kedalaman air sungai bawah tanah ini mencapai ratusan meter dari permukaan tanah. Dengan begitu diperlukan pompa dengan daya yang kuat untuk mengantarkan air dari bawah sampai ke permukaan.
Untuk saat ini sumur bor yang mengakses air bawah tanah ini dapat ditemukan di setiap dusun. Namun tetap jumlahnya masih sedikit dan tidak mencukupi kebutuhan seluruh warga yang ada. Begitu juga dengan sumur bor yang berada di setiap ladang pertanian. Hanya ladang-ladang yang berlokasi dekat dengan sumber air yang masih terlihat hijau meski kemarau dan kekeringan melanda.
Kekeringan Menguar pada Kehidupan Sosial Warga
Potensi air sungai bawah tanah ini perlu sekali dimanfaatkan dengan baik untuk dapat mengentaskan masalah kekeringan yang selama ini terjadi di Gunungkidul. Setidaknya, ketika sumber air ini dapat diakses oleh setiap warga, kebutuhan akan air diharapkan dapat tercukupi terutama dalam waktu-waktu di mana hujan tak kunjung turun.
Tidak hanya untuk kebutuhan domestik (makan, minum, atau mandi), ketersediaan air menjadi berkah untuk para petani yang menggarap pertanian dan mereka yang memelihara hewan ternak.
Namun apa daya, tidak semua punya akses terhadap sumber air sungai bawah tanah. Hanya mereka yang mempunyai kapital besar yang mampu menginstalisasi sumur bor untuk kebutuhan pribadinya. Bagi sebagian besar lainnya, hanya dapat bergantung pada bantuan air bersih dari tangki-tangki air.
Kondisi musykil ini tidak berhenti pada kesulitan warga untuk masak, minum atau mandi, tetapi menguar pada ranah sosial yang lebih luas. Pertanian yang menjadi sumber penghidupan utama masyarakat Gunungkidul tidak lagi mampu menawarkan jaminan ketersediaan pangan mereka.
Ketika musim kemarau, dan ketiadaan sumber air untuk mengairi lahan sawah menyebabkan pertanian terganggu. Gagal panen kerap diderita, dan diterima tanpa protes. Produksi pertanian yang menghasilkan sedikit dari apa yang ditanam para petani membuat mereka kekurangan stok pangan tahunan untuk konsumsi keluarganya. Para petani terpaksa bekerja di sektor informal yang juga rentan merugi karena ketidakstabilan pendapatan yang diterima.
“Kalau lagi kekeringan seperti ini banyak petani yang bekerja jadi kuli bangunan, berjualan juga ada. Kalau saya bikin kerajinan anyaman lalu saya jual. Menjual anyaman juga enggak pasti. Ada musimnya laku, terus kadang juga ada masa gak lakunya,” kata Beja, warga sekaligus petani di Kecamatan Gedangsari, Gunungkidul.
Kemarau panjang dan krisis air sebagai dampak yang mengiringinya membuat kondisi petani menjadi sulit. Kondisi ini selalu terjadi setiap tahun. Implikasi dari hal ini adalah pertanian tidak lagi menjadi pilihan untuk menggantungkan hidup, terutama untuk generasi muda.
Joko Trisnanto, Ketua RT 06 Dusun Jurangjero, menyampaikan kekhawatirannya pada menghilangnya entitas petani di Gununkidul, terutama di Dusun Jurangjero.
“Ada fenomena generasi petani muda yang sudah habis semakin habis. Pernah saya menyampaikan 15-20 tahun yang akan datang kita mungkin akan kehabisan generasi petani. Karena hari ini petani yang tersisa hanya petani berusia senja, katakanlah di usia 40, 50 tahun ke atas… Saya cukup memahami kenapa anak muda tidak turun ke sawah karena tidak lepas dari sawah itu tidak bisa diandalkan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Itu, kan, logis. Akhirnya mereka merantau. Itu sinkron dengan hari ini banyak rumah yang tidak ditempati,” ucap Joko.
Kekeringan yang melanda Gunungkidul bukanlah sekadar masalah musiman, melainkan krisis yang menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakatnya. Dari hilangnya mata pencaharian hingga ancaman terhadap keberlangsungan pertanian, situasi ini mencerminkan realitas yang kompleks dan berulang setiap tahun. (MAA/DMC Dompet Dhuafa)