Luput dari Apresiasi: Perempuan di Wajah Bencana

Bandung–Peran perempuan dalam penanggulangan bencana semakin diakui sebagai komponen penting dalam upaya mitigasi dan pemulihan.

Perempuan sering kali menjadi kelompok yang paling rentan terdampak oleh bencana alam, terutama di daerah dengan kesenjangan gender yang tinggi.

Namun, peran mereka dalam komunitas sering kali berperan besar dalam menjaga stabilitas rumah tangga dan komunitas pascabencana.

Dengan memahami kebutuhan khusus perempuan, seperti akses ke kesehatan reproduksi, keamanan, dan mata pencaharian, strategi penanggulangan bencana dapat menjadi lebih inklusif dan efektif.

Kontribusi ini mencerminkan kapasitas mereka dalam memimpin komunitas lokal, terutama di daerah yang sulit dijangkau oleh tim penyelamat resmi.

Bu Lim Aminah selaku istri Ketua RW di Kampung Tutugan, Dusun Pinggirsari, Desa Cihawuk, Kecamatan Kertasari menjadi “emak” semua warga penyintas di sana.

Pasalnya saat gempa terjadi pada Rabu (18/09/2024), dia sedang berkebun. Sesaat setelah gempa bumi berhenti, dia langsung keliling ke rumah warga untuk mengevakuasi warga ke lokasi yang lebih aman.

Mulai dari satu rumah ke rumah lainnya. Pintu ke pintu lainnya dia ketuk.

“Bapak, Ibu ayuk kita ke lapangan. Mencari tempat aman,” ujar Bu Iim mengingat peristiwa gempa saat ditemui pada Selasa (23/09/2024).

Namun ia dilema ketika salah satu warga menolak untuk mengevakuasi sesaat gempa bumi terjadi.

Pasalnya salah satu warga tersebut mengeluhkan anggota keluarganya sedang sakit dan kesulitan bergerak.

Warga tersebut percaya dalam rumah jauh lebih aman ketimbang lapang terbuka.

Meski Bu Iim telah menganjurkan untuk bantu mengevakuasi anggota keluarga tersebut, perwakilan keluarganya tetap masih menolak.

Mendengar hal tersebut, Bu Iim akhirnya hanya bisa berdoa bahwa tidak ada gempa susulan yang membahayakan nyawa.

Dia menggambarkan saat terjadi gempa itu pepohonan dan kebun bergetar seirama. Bahkan dia mengakui melihat asap yang dia sendiri tidak tahu asalnya, menjulang tinggi seusai gempa terjadi.

“Semua bergetar, tiba-tiba ada asap. Ketakutan saya jadinya, lutut saya lemas seketika,” sambung Bu Iim.

Dia bersama suami berbondong-bondong menjadi koordinator pengungsi di lapangan Kampung Tutugan.

Mulai dari pendataan, pembagian bantuan yang didapat dari lembaga-lembaga filantropi dan lainnya, hingga mengayomi warganya.

Sehingga dia mendapat gelar “emak” semua warga.

“Saya biasa dipanggil ‘emak’ sama teman-teman di sini,” ucapnya.

Dia dan warga saling bahu membahu dalam menghadapi situasi pasca bencana. Dia pun tidur di tenda bersama warga lainnya.

Sembari menghadapi suhu dingin, situasi yang belum pasti, dan pengalaman trauma akibat bencana.

“Warga masih takut tidur di rumah,” lanjutnya.

Lain hal, dengan Bu Iim, Bu Nunung juga ditunjuk warga sebagai koordinator pengungsian di Kampung Pasir Weulang, Desa Cibereum, Kecamatan Kertasari.

Bu Nunung dan Bu Iim menjadi mengelola kebutuhan penyintas pengungsian.

Mereka menuturkan warga masih takut dan trauma dengan getaran gempa bumi.

“Pagi sampai sore warga di kebun atau di luar. Ketika malam tiba, semua datang ke tenda,” pungkas Bu Nunung saat ditemui pada Selasa (23/09/2024).

Kedua perempuan tersebut merupakan wajah tangguh dalam penanganan dan penanggulangan bencana.

Mereka–terlepas dari posisi sebagai istri dari Ketua RW–berjuang bersama-sama dalam menjaga kesejahteraan dan keberlangsungan hidup warganya.

Seringkali posisi yang dekat dan berada di masyarakat belum dapat apresiasi.

Namun di luar hal tersebut, mereka tetap membersamai warga untuk bisa hidup di atas kakinya sendiri, bahkan jika bisa lebih baik dari sebelum-sebelumnya.

Mereka bersama Dompet Dhuafa membuka Dapur Umum untuk memberi layanan makanan siap santap untuk penyintas.

Mereka juga turut serta dalam memasak hingga pendistribusian makanan tersebut.

Oleh karena itu, integrasi perempuan dalam penanggulangan bencana bukan hanya soal keadilan gender, melainkan kebutuhan strategis.

Dengan memanfaatkan kapasitas dan pengalaman unik perempuan, kebijakan dan program mitigasi bencana dapat dirancang lebih inklusif dan adaptif.

Dengan cara ini, masyarakat tidak hanya lebih siap dalam menghadapi bencana, tetapi juga memiliki sistem pemulihan yang lebih solid dan berkelanjutan, di mana setiap anggotanya memiliki peran signifikan dalam memastikan kesejahteraan kolektif.

Selain menjadi agen perubahan, melaui partisipasi aktif, mereka mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan baru, memperluas jaringan sosial, dan mengakses peluang ekonomi yang sebelumnya mungkin terbatas.

Dalam proses ini, perempuan tidak hanya diposisikan sebagai korban, tetapi sebagai pihak yang memiliki peran kunci dalam menciptakan komunitas yang lebih tangguh dan siap menghadapi tantangan di masa depan.

Semoga dengan semangat tangguh mereka, mampu membawa warga kembali bangkit menjadi warga Jawa Barat yang tangguh dan harmonis dengan alam. Semoga mereka semua berada di bawah perlindungan Allah SWT. (AFP/ DMC Dompet Dhuafa)