SODA Tidak Hanya Berbahaya Bagi Tubuh, Tapi Juga Berbahaya untuk Keselamatan Publik

Tangerang Selatan—Slow Onset Disaster Adaptation (SODA) merupakan sebuah desktop research yang dilakukan Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa tentang pemetaan potensi kehilangan fasilitas publik akibat dampak perubahan iklim.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah pemetaan potensi hilangnya fasilitas publik, seperti sekolah, fasilitas kesehatan, rumah ibadah, dan kantor pemerintahan, di lima wilayah di pantai utara (Pantura) Jawa, yaitu Tangerang, Cirebon, Pati, Demak, dan Gresik.

Kelimanya dipilih karena akan mengalami potensi kehilangan wilayah daratan yang luas pada 2030. Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi dasar bagi para relawan yang ada di pulau Jawa untuk melakukan aksi bersama dalam melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Metode penelitian ini dilakukan melalui permodelan yang ada di climatecentral.org yang dipadukan dengan data fasilitas publik yang terdapat di website masing-masing Pemerintah Kabupaten/Kota dan Google Earth.

Setelah itu, tim peneliti menghitung berapa jumlah fasilitas publik yang akan hilang/tenggelam karena dampak perubahan iklim.

Slow-onset Disaster sendiri secara sederhana diartikan sebagai bencana alam yang muncul secara perlahan dari waktu ke waktu. Bencana yang dimaksud berupa perubahan iklim, abrasi, kekeringan, penggurunan, kenaikan permukaan laut, dan penyakit epidemi.

Namun dalam SODA DMC Dompet Dhuafa memfokuskan kepada cakupan ancaman abrasi yang hadir mengintai di masyarakat Indonesia akibat perubahan iklim. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan perubahan iklim mengacu pada perubahan jangka panjang dalam suhu dan pola cuaca. Pergeseran ini mungkin alami namun sejak tahun 1800-an aktivitas manusia telah menjadi pendorong utama akibat pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak dan gas.

Ancaman abrasi itu nyata dan kedatangannya seringkali sulit dikenali sehingga tidak sadar bahwa sebagian wilayah sudah terdampak dan merendam sebagian kehidupan masyarakat. Tanpa disadari kita bisa diam-diam tenggelam akibat abrasi.

Abrasi secara sederhana memiliki arti terkikisnya wilayah pesisir akibat  pasang surut air laut, angin di atas lautan, gelombang laut serta arus laut yang sifatnya merusak.

Penyebab terjadi abrasi antara lain, adanya ketidakseimbangan ekosistem laut dimana terjadi eksploitasi besar-besaran yang dilakukan oleh manusia terhadap kekayaan sumber daya laut seperti ikan, terumbu karang dan biota lainnya. Sehingga apabila terjadi arus atau gelombang besar maka akan langsung mengarah ke pantai yang dapat menimbulkan abrasi. 

Pemanasan global juga menjadi salah satu pemicu abrasi pantai misalnya seperti aktivitas kendaraan bermotor atau dari pabrik-pabrik industri serta pembakaran hutan. Asap asap yang menghasilkan zat karbon dioksida tersebut akan menghalangi keluarnya panas matahari yang dipantulkan oleh bumi. 

Akibatnya panas tersebut akan terperangkap di lapisan atmosfer yang dapat menyebabkan suhu di bumi meningkat. Apabila ada kenaikan suhu di bumi, maka es di Kutub akan mencair dan permukaan air laut akan mengalami peningkatan yang dapat mempengaruhi wilayah pantai yang rendah. 

Kegiatan penambangan pasir yang dilakukan oleh manusia secara besar-besaran juga menjadi faktor penyebab abrasi pantai. Hal itu berpengaruh secara langsung terhadap kecepatan dan arah air laut saat menghantam daerah pantai. Karena jika tidak membawa pasir maka kekuatan untuk menghantam pantai semakin besar.

Swiss Re Institute memprediksikan bahwa dunia akan kehilangan 10 persen nilai ekonominya jika target-target dalam Paris Agreement dan Net Zero Emission tidak tercapai. Hal ini akan mengakibatkan bertambahnya angka kemiskinan dan peningkatan bencana di seluruh dunia.

Swiss Re Institute juga merilis bahwa aktivitas ekonomi di Asia Selatan dan Tenggara khususnya rentan terhadap efek buruk perubahan iklim. Indeks ekonomi iklim yang dipublikasi pada tahun 2021 menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan terakhir dari 48 negara yang diukur kerentanannya.

Perlu adanya upaya bersama dari seluruh pihak, terutama para relawan dan masyarakat untuk mensukseskan pencapaian target National Determined Contribution (NDC) Indonesia untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional. Selain itu, para relawan juga harus senantiasa bersiap siaga untuk membantu penyintas bencana iklim.

Hasil atau temuan dari total lima wilayah Pantura akan kehilangan banyak fasilitas publiknya pada 2030 jika tidak ada upaya untuk melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Wilayah Tangerang akan kehilangan 54,5 persen, Cirebon akan kehilangan 46,4 persen, Demak akan kehilangan 20,2 persen, Pati akan kehilangan 4,8 persen, dan Gresik akan kehilangan 23 persen.

Pada wilayah Kabupaten Tangerang sendiri tepatnya Kecamatan Mauk diperkirakan akan kehilangan 66,6 persen fasilitas pendidikan akibat laju abrasi. Senada dengan hal itu sebanyak 40 persen tempat ibadah juga akan hilang akibat abrasi.

Di satu sisi di Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak diperkirakan 40 persen fasilitas umum akan terdampak akibat bencana abrasi. Sedangkan di Kecamatan Karangtengah diperkirakan 58 persen fasilitas umum akan terdampak. Kemudian di Kecamatan Sayung diperkarakan sebanyak 63 persen fasilitas umum akan terdampak.

Terakhir di Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik diperkirakan sebanyak 250 persen fasilitas umum akan terdampak dari laju abrasi.

Dampak abrasi terhadap kehidupan masyarakat bisa beragam. Dalam satu studi yang berjudul Dampak Abrasi Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kecamatan Kedung, Jepara(2021), menemukan sebanyak 78 persen responden percaya abrasi menyebabkan rasa tidak nyaman dan cemas.

Hal ini dikarenakan abrasi mengurangi pendapatan petani tambak, nelayan atau masyarakat yang sangat bergantung pada sumber daya laut.

Lalu ada 61 persen responden percaya abrasi mempengaruhi kondisi sosial antar masyarakat. Lantaran abrasi memutus akses dan interaksi yang terjalin di antara desa yang terpisah oleh laut. Akses jalan juga rusak sehingga intensitas interaksi antar masyarakat semakin menurun.

Selain itu dalam bidang ekonomi juga turut terkena dampak akibat hadirnya abrasi. Masih dalam studi yang sama, abrasi menyebabkan hilangnya tambak garam.

Ada 56 persen responden percaya abrasi menyebabkan berkurangnya pendapatan. Biasanya ini disusul dengan terjadinya gelombang pasang yang tinggi, dan mendorong nelayan tidak melaut sampai satu bulan.

Ketika nelayan tidak melaut mereka biasa beralih profesi sementara untuk menutupi berkurangnya penghasilan. Hal ini menambah daftar panjang dampak abrasi terhadap kehidupan di masyarakat. Bahkan pada tahun 2019 lalu dilaporkan tiga perempuan tewas akibat tertimbun daratan yang mengalami abrasi.

DMC Dompet Dhuafa sebagai lembaga penanggulangan bencana dari Dompet Dhuafa mengajak semua masyarakat turut serta dalam penanggulangan slow-onset disaster. Bahwa kemunculannya bertahap dan sulit disadari, namun dampak yang dihasilkan tidak kalah besar ketimbang bencana alam lainnya. Sehingga mari kita bersama-sama wujudkan Indonesia Tangguh dan Tanggap Bencana. Dengan menempatkan masyarakat sebagai aktor utama dalam penanggulangan bencana. Saatnya Indonesia Berdaya Hadapi Bencana.

SODA_Diam-Diam-Tenggelam_Potensi-Kehilangan-Fasilitas-Publik-di-Pantura