Negara dengan Mayoritas Islam, Kurang Mampu Melakukan Adaptasi Perubahan Iklim

Dalam penelitian yang dilakukan Skirbekk dan kawan-kawan yang berjudul Religious Affiliation and Environmental Challenges in the 21st Century (2020) menemukan negara dengan mayoritas Islam dan Hindu menempati posisi terendah dalam kapasitas adaptasi perubahan iklim. Kenyataan ini juga didukung oleh fakta negara dengan mayoritas Islam dan Hindu merupakan negara dengan penggunaan energi sumber daya alam terendah.

Sedangkan negara yang tidak memiliki populasi yang besar agama suatu tertentu atau sekular, memiliki kapasitas tinggi dalam merespons adaptasi perubahan iklim. Hal ini juga didorong kenyataan mereka termasuk negara dengan penggunaan energi sumber daya alam tertinggi dan pendapatan nasional tertinggi juga.

Dalam penelitian ini juga ditemukan tingkat religiusitas berkaitan erat dengan produksi emisi gas rumah kaca, penggunaan energi dan produk domestik bruto dalam skala global. Negara-negara dengan lebih banyak emisi dan PDB yang lebih besar cenderung kurang religius, memiliki pertumbuhan penduduk yang lebih sedikit dan lebih siap menghadapi tantangan lingkungan.

Sebaliknya, negara-negara dengan proporsi yang besar keagamaan atau taat terhadap agama cenderung memiliki risiko lingkungan yang tinggi, minimnya tingkat kesiapsiagaan bencana, rendahnya pendapatan nasional dan besarnya populasi penduduk muda.

Sederhanya, semakin besar kekayaan alam yang dikeruk. Maka semakin kurang religius masyarakat suatu negara. Namun di satu sisi, ini akan mendorong peningkatan kapasitas dalam melakukan adaptasi perubahan iklim: high risk, high return.

<Sebelumnya    Selanjutnya>