Jakarta—Memasuki musim hujan dan maraknya bencana banjir. Indonesia sedang darurat banjir. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan pernyataan siap siaga hingga tahun 2023 (21/10/2022).
BMKG melihat melalui laporan Pandangan Iklim tahun 2023 (Climate Outlook 2023) sepanjang tahun 2023, gangguan iklim dari Samudra Pasifik yaitu ENSO diprakirakan akan berada pada fase Netral, tidak terjadi La Nina yang merupakan pemicu anomali iklim basah maupun El Nino yang merupakan pemicu anomali iklim kering.
Namun, karena kompleks dan labil atau dinamisnya kondisi atmosfer dan interaksinya dg samodra/lautan di wilayah kepulauan Indonesia, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati tetap mewanti-wanti semua pihak untuk bersiap menghadapi terjangan bencana hidrometeorologi akibat tingginya curah hujan tahunan 2023 yang diprakirakan melebihi rata-ratanya atau melebihi batas normalnya di sebagian wilayah Indonesia, dan bahkan juga tetap perlu waspada dan siaga terhadap peningkatan potensi kekeringan dan karhutla di beberapa wilayah rawan.
“Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan seluruh pihak terkait harus segera melakukan mitigasi dan langkah antisipatif terhadap potensi jumlah curah hujan tahunan 2023 yang diprediksi berpotensi melebihi rata-ratanya, yang dapat memicu bencana hidrometeorologi basah seperti banjir, banjir bandang, dan tanah longsor. Semua perlu dalam kondisi siaga dan waspada,” ungkap Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati.
Dalam satu studi yang berjudul Flood Exposure and Poverty in 188 Countries (2022) menemukan negara di wilayah Asia merupakan yang paling rentan terhadap risiko bencana banjir.
Mulai dari peringkat teratas populasi negara yang terancam banjir adalah Cina (394,8 juta jiwa), India (389,8 juta jiwa), Bangladesh (94,4 juta jiwa), Indonesia (75,7 juta jiwa), Pakistan (71,8 juta jiwa), Vietnam (45,5 juta jiwa), USA (42,6 juta jiwa), Nigeria (39 juta jiwa), Mesir (38,9 juta jiwa), dan Jepang (36,1 juta jiwa).
Ancaman terdampak bencana banjir paling umum terjadi di negara berkembang, karena negara-negara berpenghasilan rendah/miskin dan menengah adalah rumah bagi 89% dari populasi dunia yang terkena banjir. Secara global, 170 juta hingga 780 juta orang terpapar ancaman banjir sekaligus hidup dalam kemiskinan.
Sejarah telah membuktikan banjir memberikan dampak kerusakan yang berjangka panjang di masyarakat berpenghasilan rendah/ miskin. Dalam masyarakat dengan penduduk berpenghasilan rendah atau termasuk dalam masyarakat miskin, bangunan dan aset yang berkualitas rendah akan mengalami kerusakan dan kehancuran yang tinggi.
Perencanaan tata kelola ruang yang tidak memadai dan infrastruktur drainase memperburuk tingkat ancaman bencana. Selain itu kurangnya perbankan formal yang tersebar luas mengakibatkan orang tidak dapat memanfaatkan tabungan aset likuid (liquid saving) atau kredit yang terjangkau untuk mengatasi dan memulihkan kehidupan pasca-bencana.
Salah satu mitra Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa menceritakan pengalamannya dalam mengelola pangkalan (dermaga) di sekitaran Sungai Ciliwung yang menjadi langganan bencana banjir.
Banjir yang melanda sejumlah pemukiman di sekitar Sungai Ciliwung menjadi tanggung jawab bersama yang sulit diselesaikan. Menurutnya persoalan terkait penanggulangan bencana ialah menempatkan masyarakat untuk tangguh terhadap bencana.
“Di persoalan paling krusial ialah pemukiman yang berdiri di daerah aliran sungai (DAS). Itu yang menambah persoalan besar di samping banjir yang tensinya sudah tidak bisa diperhitungkan kembali. Artinya problem banjir di tengah masyarakat itu semakin meluas, semakin banyak dan pembenahannya pun tidak sepadan dengan kebutuhan yang diperuntukan untuk DAS,” jelas Ahmad Maulana “Lantur” selaku Ketua Padepokan Ciliwung Condet Jakarta Timur.
Berbagai pihak termasuk pemangku kebijakan sudah berupaya membenahi masalah banjir di sekitaran pemukiman dekat Sungai Ciliwung. Namun bagi sebagian pihak upaya tersebut belum tepat dan belum berparadigma keberlanjutan.
“Tidak pernah melihat lagi (upaya) apa yang diperuntukan untuk DAS, misalnya dengan lebar berapa luas sungai, harus seperti apa dan akhirnya persoalannya diselesaikan dengan satu hal yang sifatnya tidak ramah lingkungan. Artinya dengan membeton dan membangun jalan inspeksi,” lanjut Lantur.
“Walaupun memang Jakarta kurang 20 persen untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH). Seharusnya peruntukan itu untuk RTH kawasan resapan air, dan pada saat terjadi banjir itu sebagai ruang parkir air. Seiring berjalannya waktu, kami dan kawan-kawan kami di komunitas itu sempat kecewa. Sehingga apa yang kami lakukan tidak pernah sesuai dengan niat terhadap implemenstasi yang terjadi,” sambung Lantur.
“Kami resah dengan keadaan sungai seperti banjir dan sampah.”
Melalui hubungan kerja sama yang terjalin antara komunitas di pangkalan-pangkalan Sungai Ciliwung seperti Saung Bambon Riverside (Srengseng Sawah), KPC Kedung Sahong (Lenteng Agung), Ciwilung Muara Bersama – CMB (Tanjung Barat), Padepokan Ciliwung Condet – PCC (Balekambang), dan Kometa (Balekambang). Mereka berupaya melakukan serangkaian penanggulangan bencana di wilayah DAS Ciliwung.
“Kita suka kerja bareng dengan DMC Dompet Dhuafa untuk bersih-bersih sungai dan lainnya. Selanjutnya di tahun 2019 kita mulai merencanakan sebuah langkah-langkah strategis, untuk perbaikan dan keberadaan sungai serta masyarakat. Dengan konsep destinasi wisata dengan nama Betawi Smart Park,” ujarnya.
“Jadi memang beberapa titik bantaran kita ubah menjadi titik-titik lahan produktif untuk jadi destinasi wisata, konservasi dan beberapa macam tentang pemberdayaan ekonomi sepanjang masyarakat di sekitaran Sungai Ciliwung,” pungkas Lantur.
Angin segar muncul ketika komunitas-komunitas tersebut dipercayakan wilayah yang sekarang dikenal Ciliwung Muara Bersama. Tempat tersebut diamanahkan kepada mereka dari pemerintah untuk menjadi lahan konservasi.
“Dikasih kepercayaan untuk mengelola lahan tersebut menjadi sebuah kawasan konservasi. Alhamdulillah menjadi kegiatan ekonomi masyarakat. Serta juga sampai hari ini menjadi salah satu tempat evakuasi dari bencana banjir seperti evakuasi,” akunya.
Selain itu muncul pula pemberdayaan ekonomi berbasis kebudayaan yang tersedia di pangkalan tersebut. Mulai dari olahraga panahan, budidaya ikan dan lainnya. “Alhamdulillah sampai saat ini sudah berjalan selama satu tahun,” jelas Lantur.
Menurutnya upaya kolaboratif dari masing – masing pihak merupakan kunci strategis dalam penanggulangan bencana banjir di sana. “Singkatnya apa yang kita sampaikan itu, ada strategi khusus bahwa banjir itu bukan hanya masalah sampah, evakuasi dan logisitik bantuan. Tapi ada hal yang menjadi gerak yang paling inti adalah ketangguhan masyarakat untuk melihat banjir itu sendiri,”
“Pembangunan begitu masif yang tidak lagi merujuk ke kepentingan sungai dan alamnya yang pada akhirnya banjir ya banjir, rusak ya rusak. Penanggulangan tidak pernah terjadi,” katanya.
Menurutnya kemampuan masyarakat dalam menyikapi dengan tangguh terhadap bencana banjir adalah hal esensial. Sehingga meski bencana banjir terjadi, masyarakat mampu beradaptasi dengan baik, sigap, dan mapan.
“Bagaimana mereka menjadi masyarakat tangguh untuk menghadapi banjir, karena banjir di Jakarta itu sudah tidak bisa terhindar. Artinya mau tidak mau kita harus bersinergi mengembangkan kawasan-kawasan itu. Paling tidak kita tetap kebanjiran tapi kita menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan resapan, agar wilayah pusat Jakarta itu tidak banjir lebih dahsyat lagi,” tutup Lantur.
Dengan kerja sama yang terjalin antara masing-masing komunitas dan DMC Dompet Dhuafa, mereka telah melakukan pembangunan dan renovasi trab terasering, dermaga pangkalan, sarana sanitasi MCK, dan taman baca. Selain itu juga DMC Dompet Dhuafa melalui dukungan masyarakat mampu mengadakan pelatihan siap siaga banjir, penanganan pemadaman kebakaran api ringan dan penanaman pohon di sekitaran bantaran Sungai Ciliwung.
“Kami berharap Kawasan Tanggap Bencana di komunitas-komunitas Sungai Ciliwung mampu menjadi komunitas desa tanggap bencana. Menjadi kader penyuluh untuk desa-desa lain di sekitarnya. Mampu menjadi kawasan terpadu yang edukatif dan mandiri,” jelas Haryo Mojopahit selaku Chief Executive DMC Dompet Dhuafa.
Program Kawasan Tanggap Bencana ini bertujuan untuk mengembalikan fungsi Sungai Ciliwung melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat dalam penataan kawasan DAS Ciliwung. Dengan juga pendekatan berdasarkan perspektif lingkungan, budaya, dan ekonomi, serta untuk mengurangi kerentanan dan membangun ketahanan masyarakat di wilayah yang terkena dampak.
Harapannya juga melalui Kawasan Tanggap Bencana menjadi proyek ekowisata di bantaran sungai Ciliwung dengan memberdayakan pahlawan lokal. Berfokus pada pahlawan lokal untuk membangun pendekatan pembangunan berkelanjutan demi mengembalikan fungsi DAS Ciliwung di Jakarta.
Sebanyak 33 kecamatan yang berada di sepanjang aliran Ciliwung atau setara dengan 3,3 juta jiwa akan mendapatkan manfaat secara tidak langsung (kesadaran) dari program penguatan literasi di beberapa komunitas binaan, baik pelaku maupun penerima manfaat program ini.
“Kolaborasi, program ini berawal dari inisiatif masyarakat sendiri, Dompet Dhuafa berinisiatif untuk memfasilitasi solusi inovatif ini melalui kerjasama dengan mitra lainnya,” terang Haryo.
“Proses pembentukan Kawasan Tanggap Bencana tidak terlepas dari peran aktor kunci yang menjadi garda terdepan dalam pengembangan komunitas mereka sendiri. Sosok inilah yang menjadi faktor utama keberhasilan dalam pengimplementasian program kunci keberlanjutan serta pengembangan wilayah intervensi,” ungkap Haryo.
Selanjutnya DMC Dompet Dhuafa dan komunitas di sekitaran bantaran Sungai Ciliwung akan pengadaan Early Warning System (EWS) berupa peralatan radio komunikasi antar pangkalan, alat ukur tinggi muka air, perahu patrol sungai.
Kemudian juga akan memasang instalasi pengolahan air limbah domestik, pusat pembibitan tanaman (endemic dan penyangga) berupa salak condet, bamboo petung, duku condet, dan juga komposter.
Di bidang ekonomi akan melakukan pembinaan ekonomi masyarakat dengan menambah instalasi kolam ikan dan pemberian bibit ikan.
“Mohon doa dan dukungannya kesuksesan Kawasan Tanggap Bencana di Sungai Ciliwung. Kami membuka kesempatan dan berterima kasih sebesarnya atas pihak-pihak yang tertarik dalam program ini. Semoga Indonesia siap siaga menghadapi banjir, sehingga tidak ada lagi masyarakat yang dirugikan akibat bencana alam,” tutup Haryo (AFP/DMC).