Pengalaman Sutarni menjadi Penyintas Kekeringan di wilayah Gunungkidul

DIY, Bantul—“Wilayah kami itu dibilang dataran tinggi tidak, dibilang dataran rendah juga tidak, tapi mungkin dari unsur tanah wilayahnya itu pada dasarnya banyak bebatuan dan terus terang di dusun kami ini penghijaun agak berkurang sehingga sumber mata air tidak banyak,” ujar Sutarni selaku Sekretaris Penggiat Lingkungan Hidup Dusun Gagan.

Sebagai salah satu warga Dusun Gagan, Desa Pengkol, Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia menceritakan pengalamannya menghadapi kekeringan di wilayahnya.

Sementara itu, warga Dusun Gagan belum pernah menggunakan sumber air hujan karena menganggap air hujan berbau, takut menjadi sakit dan alergi, serta ketiadaan penampungan dan pengelolaannya yang belum diketahui. 

Apalagi kejadian luar biasa pernah terjadi di pedukuhan ini berdasarkan asesmen yang dilakukan DMC Dompet Dhuafa, salah satu warga bercerita bahwa pernah ramai-ramai terkena penyakit disentris, muntaber, dan beberapa penyakit lain yang terkait dengan ketersediaan air.

Wilayah Dusun Gagan sendiri merupakan daerah karst. Keberadaan sumberdaya air di daerah karst amat berbeda dengan di daerah vulkanik ataupun di daerah non karst yang lain. Sumberdaya air di daerah karst mempunyai penyebaran yang tidak merata, baik air permukaan maupun air tanahnya, baik secara kualitas maupun secara kuantitas, dan ini menjadi salah satu penyebab daerah karst sering mengalami kekurangan atau krisis air, terutama pada musim kemarau (Sulastoro, 2013: 61-62).

Merespons hal tersebut DMC Dompet Dhuafa pernah melakukan pembuatan satu sumur bor di tahun 2021. Sebelumnya wilayah Dusun Gagan sudah memiliki sumur bor yang dibuat bersama pihak filantropi lainnya.

“Mengenai sejarah adanya sumur bor (2016) ini berawal dulu dari warga yang mengalirkan air dari sungai di bukit itu dengan cara menggunakan selang dengan sistem irigasi gravitasi, terus setelah adanya sumur yang pertama kita memanfaatkan pengeboran sedalam 8 meter. Pada tahun pertama sampai tahun keempat itu mampu memenuhi sekitar 35 KK,” terang Sutarni.

“Namun dengan adanya kekeringan panjang yang sampai enam bulan itu, debit airnya tidak mencukupi sehingga kita mencari sumber air satu lagi (sumur bor kedua di tahun 2021) yang saat ini sudah digunakan oleh 47 KK. Alhamdulillah sampai saat ini debitnya mencukupi namun kita belum tahu saat di puncak kekeringan. Mudah-mudahan tetap bisa memenuhi kebutuhan warga kami,” lanjutnya.

Sutarni juga menambahkan bahwa sebelum adanya sumur bor, warga biasanya mengambil air dari kali/ sungai menggunakan peralatan seadanya. Mulai dari sungai hingga ke masing-masing rumahnya.

“Waktu sebelum adanya sumur ini, warga ada yang mengambil atau ngangsu air dari kali dengan ember, galon air dsb. Terus ada yang tadi menggunakan selang dari mata air di gunung dan mengalirkan ke rumah. Dan ketika pun adanya sumur bor ini kami tetap memfungsikan air dari kali jadi tidak pure dari sumur bor, tetapi kami kolaborasikan,”pungkasnya.

“Tahun 2020 ada yang kemarau panjang hampir enam bulan, saat itu itu kita pengairan ke warga secara bergiliran, kadang ada yang dua hari sekali di tampungan pertama dan dua hari kemudian di tampungan kedua dst,” sambung Sutarni.

Namun juga biasanya warga membeli tangka air yang dijual keliling oleh pedagang dengan harga kisaran Rp120.000 – Rp200.000. Namun harga tersebut terhitung sedikit mahal mengingat mereka harus mengeluarkan uang sekitar Rp800.000 lebih untuk memenuhi kebutuhan air.

“Satu tangki itu biasanya seharga Rp120 – 200 ribu bahkan ada juga yang gratis dari support pemerintah atau dinas terkait. Setiap satu tangki apabila untuk 1 individu mungkin bisa untuk seminggu. Namun selama ini yang sudah kita lakukan, kita drop untuk setiap penampuan per-RT yang digunakan untuk 5 – 7 KK, kurang lebih 2 – 3 hari habis. Kalau habis belum ada kiriman kita memanfaatkan air dari kali,” aku Sutarni.

“Tetapi tidak kontinyu (bantuan distribusi airnya) kadang ada yang datang 2 atau 3 minggu. Kalau tidak ada kita cari alternatif yang lain,” katanya.

“(Makanya) kita memberikan informasi atau himbauan ke warga untuk tidak terlalu boros menggunakan air, kita gunakan air untuk yang pokok saja. Sedangkan untuk kebutuhan mandi, sebagian warga masih ada yang bisa ke kali”.

Dengan segala masalah kekeringan yang ada warga Dusun Gagan berinisiatif membentuk komite pengelolaan dan konservasi air yang bernama Penggiat Lingkungan Hidup (PLH) yang merupakan program dampingan Kawasan Tanggap Tangguh Bencana (KTTB) DMC Dompet Dhuafa.

Selain itu pada acara peningkatan kapasitas yang diusung DMC Dompet Dhuafa pada Minggu (25/06/2023) – Senin (26/06/2023) di Puncak Becici, Kabupaten Bantul, DIY, Sutarni dan puluhan anggota PLH mendapatkan pelajaran penguatan organisasi dan pembuatan alat filterisasi air hujan.

“Terima kasih kepada DMC Dompet Dhuafa sumbangan atas perhatian kemajuan desa kami,” tutup Sutarni.

Dalam laporan United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD) yang berjudul Drought in Numbers 2022menyebutkan ada 55 juta orang di seluruh dunia secara langsung terkena dampak kekeringan setiap tahun. Kekeringan menjadi bencana paling serius bagi ternak dan tanaman di hampir setiap bagian dunia.

Semoga dengan hadirnya KTTB DMC Dompet Dhuafa mampu mewujudkan masyarakat yang Tangguh Hadapi segala macam Bencana. Karena Bumi Cuma Satu, Berdaya Hadapi Bencana. (AFP/ DMC Dompet Dhuafa)