Gaza, Palestina—Dompet Dhuafa melalui Disaster Management Center (DMC) kembali menyalurkan 125 bantuan kepada penyintas Palestina di Jalur Gaza akibat penjajahan militer Israel pada Kamis (12/10/2023).
Melalui mitra kebaikan DMC Dompet Dhuafa, tim mendistribusikan kepada 125 KK yang mengungsi di tempat-tempat yang masih layak digunakan. Mulai dari gedung sekolah dan tempat publik lainnya.
“Terima kasih atas bantuannya,” ujar salah satu penerima manfaat.
UN Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA) dalam laporannya mengajak seluruh pegiat kemanusiaan untuk bahu membahu memenuhi kebutuhan paling mendesak bagi 1.260.000 orang Palestina di Gaza dan Tepi Barat.
“DMC Dompet Dhuafa akan mengupayakan pengiriman bantuan kemanusiaan ke wilayah Gaza untuk meringankan beban warga terdampak serangan Israel, terutama kepada kelompok anak, perempuan, dan manula,” ujar Arif Rahmadi Haryono melalui pesan singkat.
Rencana Respon Kemanusiaan (Humanitarian Response Plan/HRP) tahun 2023 mengidentifikasi 2,1 juta warga Palestina membutuhkan bantuan mendesak di Wilayah Pendudukan Palestina (OPT), di mana kebutuhan kemanusiaan sangat genting akibat penjajahan dan pendudukan militer Israel.
“Serangan udara Israel yang menyasar kepada fasilitas umum dan warga sipil tak bersalah merupakan pelanggaran HAM berat,” lanjut Arif.
“Rencana blokade pemerintah Israel kepada Jalur Gaza juga akan menyebabkan jutaan nyawa terancam mati perlahan. Ini adalah genosida,” sambungnya.
Kementerian Kesehatan Palestina melaporkan sedikitnya 1.417 warga Palestina tewas, termasuk 447 anak-anak dan 248 wanita, serta 6.268 orang luka-luka. Pada saat artikel ini ditulis, 423.378 warga Palestina telah mengungsi.
Menurut Kementerian Pekerjaan Umum Gaza, sebanyak 752 bangunan tempat tinggal dan non-perumahan, yang terdiri dari 2.835 unit rumah, telah hancur. Sebanyak 1.791 unit rumah lainnya rusak parah dan tidak dapat dihuni lagi.
Tidak hanya sampai di sana, satu-satunya pembangkit listrik di Gaza kehabisan bahan bakar dan berhenti berfungsi. Hal ini memutus satu-satunya sumber listrik di Jalur Gaza. Kenyataan ini diperburuk pada tanggal 9 Oktober oleh otoritas Israel bahwa mereka akan menghentikan penyediaan pasokan listrik dan bahan bakar ke Gaza.
Fakta ini disusul dengan kenyaaan bahwa fasilitas sanitasi telah rusak, hancur atau tidak dapat dioperasikan. Mulai 12 Oktober, sebagian besar penduduk di Jalur Gaza tidak lagi memiliki akses terhadap air minum dari penyedia layanan atau air rumah tangga melalui pipa.
Sejak dimulainya eskalasi penjajahan Israel, enam sumur air, tiga stasiun pompa air, satu reservoir air, dan satu pabrik desalinasi yang melayani lebih dari 1.100.000 orang, rusak akibat serangan udara. United Nations Children’s Fund (UNICEF) melaporkan beberapa orang sudah mulai meminum air laut, yang sangat asin dan terkontaminasi limbah dari pembuangan 120.000 meter kubik air limbah yang tidak diolah setiap hari.
Fasilitas kesehatan kewalahan, persediaan obat-obatan terbatas, dan akses ke rumah sakit serta perawatan medis terhambat oleh penjajahan Israel yang terus berlanjut serta jalan-jalan yang rusak akibat serangan militer Israel.
Menurut World Health Organization (WHO), 18 fasilitas kesehatan dan 20 ambulans terkena serangan udara. Palestine Red Crescent Society (PRCS) melaporkan 11 korban jiwa dan 16 luka-luka pada personel medis, empat di antaranya tewas ketika sebuah ambulans ditabrak.
Gaza adalah rumah bagi 50.000 wanita hamil yang kesulitan mengakses layanan kesehatan penting ketika petugas kesehatan, rumah sakit, dan klinik diserang.
Sekitar 5.500 perempuan diperkirakan akan melahirkan pada bulan mendatang. Sejak diberlakukannya penutupan di Tepi Barat, ada beberapa kasus yang dilaporkan ke United Nations Population Fund (UNFPA) mengenai perempuan yang harus melahirkan di pos pemeriksaan.
Sebelum terjadinya konflik baru-baru ini, Gaza telah menanggung beban kesehatan mental yang berat, terutama di kalangan anak-anak.
Penilaian baru-baru ini yang dilakukan oleh Terre des Hommes atas nama Kelompok Kerja Kesehatan Mental dan Psikososial Perlindungan Anak dan didukung oleh UNICEF, mengungkapkan bahwa 54,6 persen dari mereka yang disurvei menunjukkan tingkat kesejahteraan di bawah rata-rata dan 36 persen dilaporkan mengalami tingkat kesejahteraan sedang.
Menurut Klaster Pendidikan, setidaknya 88 fasilitas pendidikan terkena dampaknya. Jumlah ini mencakup 18 sekolah United Nations Relief and Works Agency (UNRWA), dua di antaranya digunakan sebagai tempat penampungan darurat bagi pengungsi, dan 70 sekolah negeri. Selama enam hari berturut-turut, tidak ada akses terhadap pendidikan atau ruang aman bagi lebih dari 600.000 anak di Gaza.
Hampir 60 persen rumah tangga di Gaza dianggap rawan pangan atau rentan terhadap kerawanan pangan sebelum eskalasi penjajahan yang terjadi pada bulan Oktober.
Banyak petani, peternak, penggembala, dan nelayan terkena dampak negatif melalui perusakan atau penghancuran terhadap lahan dan aset produktif serta infrastruktur.
Sektor unggas dan peternakan berisiko mengalami keruntuhan total akibat kekurangan pakan ternak, sehingga membahayakan penghidupan 30.000 rumah tangga, atau 150.000 orang.
“Mereka yang masih mengungsi masih membutuhkan bantuan pangan darurat. Yang juga membutuhkan adalah keluarga-keluarga rentan, termasuk mereka yang dikepalai oleh perempuan, orang lanjut usia dan mereka yang berkebutuhan khusus serta orang-orang dengan kondisi kesehatan yang buruk,” bunyi laporan penutup OCHA.
Kawan Baik, saatnya rapatkan barisan dan perkuat solidaritas untuk mendukung dan membela rakyat Palestina atas penjajahan pemerintah Israel yang berkepanjangan. Karena Bumi Cuma Satu, Berdaya Sekarang. (AFP/DMC)