Kembalikan Fitrah Indonesia sebagai Negara Agraris, Komunitas Pandan Wangi Sedekah Pohon ke DMC Dompet Dhuafa

Pandeglang, Banten—Komunitas Pandan Wangi Kebun Raya Banten melakukan sedekah 50 pohon kepada Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa (20/10/2022). Sedekah dilakukan di kediaman salah satu pendiri Komunitas Pandan Wangi Kebun Raya Banten yakni di Rama Shinta Residence, Kelurahan Saruni, Kecamatan Majasari, Kabupaten Pandeglang, Banten.

Adapun 50 pohon tersebut meliputi jenis tanaman Dewandaru, Kumis kucing, Bunga telang, Kenikir, Pecah beling, Sambiloto, Kemangi, Gedi/pepaya jepang, Lengkeng, Kopi, Salam, Murbei,Rambutan, Nangka, Sirsak, dan Kecapi.

Didik salah satu pendiri Komunitas Pandan Wangi Kebun Raya Banten, menceritakan kegelisahannya terhadap kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Baginya keanekaragaman hayati Indonesia sangat luar biasa. Mulai dari tanaman herbal untuk pengobatan tradisional hingga tanaman hias banyak ditemukan di Indonesia.

Namun disayangkan, generasi atau setidaknya masyarakat Indonesia saat ini kurang memperhatikan lingkungan dan kekayaan hayati di lingkungan sekitarnya. Mulai dari dampak kerusakan sampah hingga minimnya keingintahuan masyarakat terhadap identitas negara Indonesia sendiri yakni sebagai negara agraris.

“Indonesia itu memiliki keanekaragaman hayatinya yang luar biasa. Kita secara fitrah itu negara agraris, pertanian dan maritim. Sekarang kita tidak sesuai fitrahnya, yang terjadi adalah orang tidak merasa bangga menjadi petani. Segala macam hal impor,” jelas Didik kepada tim DMC Dompet Dhuafa.

“Padahal potensinya itu luar biasa. Kalau boleh sebut, seperti lagu Koes Ploes yang mengatakan tongkat dan batu jadi tanaman. Nah itu memang benar,” sambung Didik.

Melalui Komunitas Komunitas Pandan Wangi Kebun Raya Banten, mereka juga melakukan sedekah pohon ke berbagai institusi pendidikan seperti sekolah-sekolah dasar, sekolah menengah pertama hingga sekolah menengah tinggi/kejuruan. Menurutnya ini adalah hal kecil yang sangat bermakna. Dengan melangkah perlahan-lahan seperti sedekah pohon mampu mengedukasi generasi muda manfaat dan pentingnya keanekaragaman hayati.

“Sekolah dapat aspek penghijauan, siswa dapat edukasi tentang keanekaragaman hayati,” jelasnya.

“Kami sendiri ingin memberikan hal yang lebih. Namun sementara hanya ini yang bisa kami berikan,” ujarnya.

Didik yang juga merupakan salah satu pengajar di SMK ini menyayangkan beberapa generasi muda yang belum menunjukan ketertarikan terhadap keanekaragaman hayati di Indonesia. Menurutnya keanekaragaman hayati sangat lekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Sebut saja beberapa nama wilayah di Indonesia memiliki kesamaan nama dengan tanaman dan tumbuhan.

“Tanaman di Jakarta hanya tinggal nama,” imbuhnya mengeluh.

Dia mencontohkan tentang nama Bendungan Katulampa yang memiliki kesamaan dengan tanaman Katulampa atau yang juga dikenal Bengkinang. Tanaman ini termasuk tanaman langka. Biasanya mereka ditemukan di daerah tanah lempung berpasir, seperti pinggiran sungai, rawa-rawa dan hutan sekunder.

Kemudian Kota Sentul yang juga merupakan nama tanaman. Biasanya dikenal dengan sebutan Kecapi atau Ketuat. Penanaman pohon Kecapi oleh masyarakat biasanya memiliki beberapa tujuan berbeda, di antaranya adalah untuk mengambil buah serta manfaat dari kayu dari pohon ini. Buah Kecapi mempunyai rasa khas, yakni rasa asam dan manis. Selain itu, kandungan gizi buah Kecapi juga cukup banyak dan bermanfaat bagi kesehatan tubuh.

Wilayah di Jakarta seperti Kemang, Gandaria, dan Menteng juga merupakan nama-nama tanaman. Tanaman Kemang yang memiliki nama latin (Mangifera Kemanga), masih kerabat dengan tanaman binjai dan manga. Konon tanaman ini sering ditemui di daerah Kemang, Jakarta Selatan, namun kini keberadannya sudah sulit dijumpai. Tanaman Gandaria (Bouea Macrophylla Griffith) atau yang dikenal dengan tanaman Jatake. Menteng atau yang juga dikenal buah Kepundung merupakan buah lokal khas Nusa Tenggara Barat.

Selain itu Garut juga merupakan nama tanaman Aaranta Arundinacea. Ia sejenis tanaman yang rimpang bawah tanah dengan pati dan berbentuk umbi seperti busur tanah.

“Apa mereka tahu semua ini? Di desa saja tanaman di atas sudah termasuk langka, apalagi jika di wilayah kota besar,” aku Didik.

Keanekaragaman hayati memiliki empat fungsi terhadap kehidupan manusia yakni sebagai penyangga kehidupan, penyokong sumber daya utama, hukum yang mengatur, dan kebudayaan (Daily et al. 2003 dalam Loreau, 2022:67). Keanekaragaman hayati sebagai penyangga kehidupan memungkinkan keberlangsungan kehidupan seluruh makhluk hidup dapat bertahan. Hal ini dikarenakan keanekaragaman hayati menghendaki adanya siklus kehidupan mulai dari siklus air, pembentukan tanah, fotosintesis hingga memungkinkan hadirnya nutrisi bagi keberlangsungan hidup.

Keanekaragaman hayati sebagai penyokong sumber utama penyedia bahan mentah. Keanekaragaman hayati memungkinkan hadirnya sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan menjadi makanan, serat untuk pakaian dan bangunan, bahan bakar, air bersih, dan sumber daya obat-obatan.

Keanekaragaman sebagai hukum yang mengatur menghendaki proses alami yang membantu manusia berkembang, dengan munculnya pemurnian udara, pengendalian erosi, mitigasi bahaya alam, dan penyuburan lahan sumber pangan.

Akhirnya, keanekaragaman hayati sebagai sebuah kebudayaan berperan memberi manfaat non-materi yang berkontribusi pada pengembangan masyarakat, seperti budaya, dan seni, nilai etika, nilai eksistensi, pendidikan, rekreasi, dan ekowisata juga termasuk dalam kebudayaan.

Ketika keanekaragaman hayati rusak atau hilang. Maka empat manfaat di atas juga akan hilang. Tidak sedikit yang menghubungkan rusaknya keanekaragaman hayati dengan munculnya wabah pandemi.

Ahli ekologi telah lama menduga hal ini, tetapi sebuah studi baru membantu mengungkap alasannya: sementara beberapa spesies punah, spesies yang cenderung bertahan dan berkembang – tikus dan kelelawar, misalnya – lebih mungkin menjadi tuan rumah patogen yang berpotensi berbahaya bagi manusia. Hal ini terbilang ironis mereka yang termasuk dalam makhluk yang mampu menjadi survival of the fittest atau kelangsungan hidup yang terkuat cenderung membawa patogen penyakit yang berbahaya.

Selain pandemi, bencana lainnya yang cukup menghantui yakni masalah ketahanan pangan. Lebih dari 80 persen makanan manusia disediakan oleh tumbuhan. Hanya tiga tanaman sereal – beras, jagung dan gandum – menyediakan 60 persen asupan energi. Sebanyak 80 persen orang yang tinggal di daerah pedesaan di negara berkembang bergantung pada obat-obatan tradisional berbasis tumbuhan untuk perawatan kesehatan dasar.

Hal ini meningkatkan potensi degradasi lahan yang telah mengurangi produktivitas di 23 persen wilayah terestrial global, dan antara $235 miliar – $577 miliar hasil panen global tahunan terancam rusak.

Meski demikian, manusia akan tetap mencari upaya untuk memaksimalkan keanekaragaman hayati dengan membabi-buta seperti deforestasi, pembangunan tidak berkelanjutan, pola hidup konsumerisme. Hal ini mendorong eksploitasi yang berlebihan dan mengakibatkan rendahnya kerentanan manusia terhadap bencana alam.

Deforestasi sebabkan wilayah menjadi rawan banjir, longsor, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), kekeringan hingga kematian seluruh makhluk hidup. Pembangunan berlebihan mengurangi daerah resapan air dan menghilangkan ruang terbuka hijau. Pola hidup konsumerisme menjadi benang merah dari pola tingkah laku manusia yang destruktif terhadap lingkungannya.

Pada akhirnya efek domino tidak terhindari, hilangnya keanekaragaman hayati sebabkan meningkatnya dampak kerusakan bencana alam atau menjadi sumber bencana non-alam seperti pandemi. Kemudian bencana alam atau non-alam ini pada akhirnya juga meningkatkan kerusakan atau hilangnya keanekaragaman hayati. Semua itu menjadi sebuah siklus yang sulit diatasi.

Bersama dengan Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa, semangat Komunitas Pandan Wangi Kebun Raya Banten memiliki banyak kesamaan. Bagi DMC Dompet Dhuafa, penghijauan merupakan salah satu hal krusial dalam penanggulangan bencana, terutama dalam aspek pengurangan risiko bencana. Melalui penghijauan mampu meminimalisir dampak kerusakan beberapa bencana alam dan merupakan penyangga kehidupan yang penting bagi manusia.

“Kami menyambut baik iktikad dari Komunitas Pandan Wangi Kebun Raya Banten. Penghijauan dan konservasi lingkungan hidup merupakan hal yang paling penting di era saat ini. Dengan menguatnya pemanasan global dan maraknya bencana alam, kami sangat berterima kasih kepada Komunitas Pandan Wangi Kebun Raya Banten, bahwa masih banyak pihak dan kawan baik yang peduli terhadap lingkungan hidup sekitarnya,” jelas Haryo Mojopahit selaku Chief Executive DMC Dompet Dhuafa melalui pesan singkat.

“Selanjutnya pohon yang diamanahkan kepada kami, akan kami salurkan atau kami tanam di wilayah dengan potensi abrasi di Pacitan,” pungkas Haryo.

Kabupaten Pacitan merupakan salah satu kabupaten yang terletak di wilayah Jawa Timur bagian selatan, yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia yaitu Teluk Pacitan, sehingga daerahnya mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti angin laut, dan pasang surut air laut.

Kabupaten Pacitan dekat dengan pertemuan lempeng benua sehingga membuat daerah ini sangat rawan degan gempa dan Tsunami. Selain itu, aktivitas manusia di daerah hulu seperti halnya penebangan hutan, pembuangan limbah material pelebaran jalan, pencemaran serta penambangan batu mengakibatkan sedimentasi di Teluk Pacitan.

Analisa Perubahan Garis Pantai Diteluk Pacitan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur(2012)menunjukan bahwa pantai Teluk Pacitan mengalami abrasi dan akresi. Hasil temuan dari penelitian ini memprediksikan setiap tahun selama 9 tahun (2012-2020) adalah pantai mengalami abrasi dengan abrasi terluas pada tahun 2016, yaitu seluas 82.820 m2 dan lahan terakresi seluas 32.900 m2.

Menurut kajian Inarisk, Pacitan sendiri merupakan salah satu wilayah dengan ancaman gelombang ekstrim dan abrasi dengan kategori sedang – menengah. Diperkirakan ada 12.437 jiwa yang terpapar gelombang ekstrim dan abrasi di Kabupaten Pacitan. Sebanyak 13 persennya merupakan kelompok rentan dari segi usia, ekonomi, hingga disabilitas. Penggabungan indeks kelompok masyarakat rentan secara keseluruhan memberikan informasi bahwa kelas penduduk terpapar bencana gelombang ekstrim dan abrasi di Kabupaten Pacitan berada pada kelas TINGGI.

Dengan melihat kenyataan di atas, DMC Dompet Dhuafa mengajak seluruh insan untuk terlibat dalam aksi penanggulangan bencana berbasis restorasi dan konservasi lingkungan hidup bersama Dompet Dhuafa (AFP/DMC)