Kisah Klasik Banjir Jakarta yang Tak Pernah Selesai

Bulan November dan Desember bagi orang-orang Jakarta layaknya pertanda bahwa deras hujan dan sambaran petir akan lebih banyak frekuensinya dibanding bulan-bulan sebelumnya.

Selain itu, yang lebih horor lagi adalah periode ini lonceng bagi masalah serius yang sama sekali tidak pernah selesai bagi kota yang tahun ini menjadi momen terakhirnya memiliki embel-embel ibukota, yakni banjir.

Salah satu bencana banjir Jakarta terparah pernah terjadi pada tahun 2018 dimana kerugian akibat bencana tahunan tersebut ditaksir mencapai miliaran rupiah kemudian sekitar 11.824 warga Jakarta mesti mengungsi akibat daerahnya tergenang air.

WRI Indonesia menganalisa kurang lebih ada tiga penyebab utama mengapa masalah banjir Jakarta selalu muncul tiap tahunnya dan tak pernah tuntas sama sekali.

Curah hujan ekstrem merupakan salah satu faktor alamiah masalah banjir Jakarta tidak pernah usai.

Namun sekilas, di tengah periode kemarau yang cukup panjang menghantam nyaris seluruh wilayah di Indonesia, indikator curah hujan tampaknya belum terlalu terlihat tanda-tandanya saat ini.

Hujan baru beberapa kali terjadi dan belum memperlihatkan potensinya untuk menimbulkan banjir.

Selanjutnya Area lahan tertutup, sebagai sebuah wilayah Jakarta mengalami perubahan yang cukup mencolok dari segi penggunaan lahan yang ada.

Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2019)

Awal 2000an DKI Jakarta masih banyak memiliki area hijau, namun belasan tahun berselang semuanya berubah.

Dominasi pemukiman lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan area hijau yang bisa menyerap air hujan.

Akibatnya saat curah hujan meninggi di akhir tahun kejadian banjir selalu muncul. Pemerintah terkait semestinya memperketat regulasi dimana area hijau terbuka bisa diperbanyak jumlahnya kemudian mengurangi pemukiman yang sifatnya akan menyita banyak lahan.

Faktor selanjutnya yang memperparah problem banjir Jakarta adalah Pendangkalan permukaan tanah.

Rata-rata tanah mendangkal di Jakarta tiap tahunnya mencapai 12 cm/tahun, angka lebih buruk lagi didapat pada daerah pesisir Jakarta Utara yang setiap tahun pendangkalan tanahnya mencapai 25 cm/tahun.

Menurut Hiroshi Takagi, salah seorang peneliti yang menghabiskan beberapa tahun penelitiannya mengamati pendangkalan tanah dan banjir Jakarta memperkirakan jika tahun 2050 nyaris sekitar 75 persen wilayah Jakarta Utara akan sepenuhnya tenggelam.

Hal itu disebabkan oleh beban gedung dan bangunan hingga penyerapan air tanah untuk keperluan sehari-hari yang sangat masif oleh warga Jakarta. 

Imbasnya adalah kapasitas penyimpanan air tanah hingga permukaan daratan jakarta tiap tahun terus menyusut. lalu bagaimana solusi untuk mengurangi masalah banjir Jakarta ini?

Dari apa yang telah dilakukan selama ini, Pemda DKI Jakarta dan pemerintah pusat terlalu memfokuskan penanganan banjir Jakarta lewat perbaikan infrastruktur pengendali banjir seperti pengelolaan dan pembangunan waduk, pompa air, sampai perawatan kanal dan polder.

Hal tersebut tidak sepenuhnya keliru, namun menitikberatkan kepada perbaikan infrastruktur banjir, rawan akan kerusakan yang pasti akan terjadi. Apalagi di tengah perubahan iklim yang begitu drastis saat ini.

Contoh paling nyata adalah hancurnya tembok penangkal banjir di New Orleans karena hantaman badai Katrina yang menghantam Amerika Serikat belakangan ini.

Solusi yang lebih menekankan pendekatan berbasis alam atau Nature-based solutions (NbS) mesti lebih digencarkan untuk mengurangi problem banjir Jakarta agar tidak menjadi warisan bagi generasi mendatang.

Mari rapatkan barisan untuk mencegah bahaya banjir yang akan mengancam banyak orang termasuk kita. Tingkatkan literasi soal pencegahan banjir dan aktif dalam perbaikan lingkungan. Satukan tekad menghalau bahaya banjir. (FZN/ DMC Dompet Dhuafa)