Perhatikan Langkah-Langkah Ini untuk Siap Siaga Karhutla

Indonesia diperkirakan akan mengalami kekeringan dan berpotensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Dilansir dari Kompas, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mencatat 28 persen wilayah Indonesia telah memasuki musim kemarau pada Juni 2023. Hal ini meningkatkan risiko kerhutla dan kekeringan yang berkepanjangan.

“Masih belum seluruhnya memasuki (musim kemarau) ya, namun segera di bulan Juli, Agustus, bahkan September itu akan semakin bertambah,” ucap Dwikorta sebagaimana diberitakan Kompas.

Adapun 28 persen wilayah tersebut meliputi Aceh bagian timur, Sumatera Utara bagian timur, Riau bagian timur, Bengkulu bagian selatan, Lampung bagian selatan, Banten bagian utara, DKI Jakarta, Jawa Barat bagian utara, sebagian Jawa Tengah, sebagian Jawa Timur, sebagian Bali, NTB, dan NTT, sebagian Gorontalo, sebagian Sulawesi Tengah, sebagian Kepulauan Maluku, dan sebagian Maluku Utara.

Diketahui bahwa luasan lahan yang ada di Indonesia berpotensi terbakar lebih dari 88 juta ha. Potensi kerugian yang dihasilkan pun cukup besar, yaitu lebih dari 59 ribu milyar rupiah. Selain itu, potensi luas lingkungan yang rusak sebesar 41 juta Ha (BNPB, 2021: 38).

Kebakaran di lahan terutama lahan gambut, yang terjadi umumnya sebagai akibat dari pengelolaan lahan gambut yang tidak memperhatikan tata kelola air, disamping masih adanya “unsur kesengajaan” dalam mengolah lahan dengan cara membakar (BNPB, 2021 : 39).

Atas kenyataan di atas ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menghindari terjadinya karhutla tersebut, antara lain:

  • Hindari atau jangan melakukan kegiatan membakar atau menyalakan api (api unggun, pembakaran sampah, dan lainnya) di sekitaran lahan atau hutan. Terutama saat angin kencang. Nantinya angin ini akan menjadi sumber “oksigen” dan memperbesar volume api yang sudah menyala.
  • Tidak membuang puntung rokok sembarangan di area hutan atau lahan, apalagi jika masih menyala yang berisiko memicu terjadinya kebakaran.
  • Pantau secara berkala wilayah yang rawan akan terjadi kebakaran. Bisa dengan mendirikan menara pengawas yang dilengkapi alat deteksi dan alat komunikasi yang memadai. Bisa juga dengan membuat pos jaga di kawasan perbatasan hutan dan penduduk. Memanfaatkan dengan baik data satelit terkait cuaca dan juga titik api dikawasan hutan.
  • Pembuatan sumur bor yang dekat dengan lokasi rawan terjadinya karhutla.

Selain catatan di atas, ada baiknya meningkatkan dan mempertajam implementasi konsep 3R yakni rewetting (pembasahan kembali), revegetation (penanaman kembali), revitalization (peningkatan kesejahteraan). Secara rinci adapun maksud konsep tersebut adalah:

  • Rewetting adalah pembasahan kembali dengan pembangunan sekat kanal, pembangunan sumur bor dan upaya lain yang mendorong basahnya lahan gambut.
  • Revegetation adalah penanaman kembali melalui persemaian, penanaman dan regerenasi alami.
  • Revitalization adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian, perikanan dan ekowisata.

Laely Nurhidayah salah satu peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada salah satu tulisannya di tahun 2019, menuturkan restorasi lahan yang kaya akan sumber daya air menjadi salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya karhutla.

“Mengembalikan lahan gambut, ekosistem unik yang perlu dibanjiri air setiap saat, adalah cara ideal untuk mencegah kebakaran hutan. Jika lahan gambut mengering, baik dengan cara dikeringkan maupun dibakar untuk perkebunan, kawasan tersebut menjadi mudah terbakar dan sulit dipadamkan. Kebakaran membara dalam suhu rendah dan menyebar tanpa terdeteksi di bawah tanah di lahan gambut yang kering,” tulis Laely Nurhidayah salah satu peneliti di LIPI dalam The Conversation(2019).

Lebih jauh ia menganjurkan empat cara untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi dan mengantisipasi bencana karhutla:

  • Menyediakan Dana untuk Pemantauan Program

Baik pemerintah dan masyarakat memiliki sumbangsih dana yang terbatas. Mungkin mereka memiliki dana yang cukup saat pembangunan dan implementasi program misal pembangunan sumur bor, sekat kanal dan lainnya. Namun untuk melakukan maintenance atau reparasi dan menjaga baik program-program tersebut akan mengalami kesulitan.

  • Apresiasi dan Hukuman

Pemerintah dan pihak yang terkait harus mampu memberikan apresiasi kepada siapapun yang mampu menjalankan program mitigasi bencana karhutla. “Penghargaan tersebut dapat berupa insentif, atau hibah dan kemitraan untuk mengelola lahan,” lanjut Laely.

Kemudian berikan sanksi yang berat bagi siapapun yang bertanggung jawab terjadinya karhutla. Mulai dari korporat, kelompok, ataupun individu. Dengan cara membayar sejumlah uang penalti dan turut serta ke lapangan untuk membantu implementasi program. Uang penalti tersebut bisa digunakan untuk kas dalam penanggulangan bencana karhutla di lokasi tersebut.

Dilansir dari laman resmi BNPB, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar juga mengingatkan kepada perusahaan swasta agar mengindahkan aturan yang dikeluarkan pemerintah terkait pengelolaan hutan dan lahan untuk berbagai kebutuhan maupun usaha.

Siti Nurbaya memastikan bahwa apabila terdapat perusahaan yang tidak mematuhi aturan dan terbukti membakar hutan atau melakukan tindakan deforestasi dengan cara-cara yang tidak dibenarkan dalam kebijakan pemerintah maka akan dikenai sanksi.

“Enggak ada ampun. Begitu ada hotspot, mereka sudah langsung akan kita beri warning. Dan cara-cara law enforcement seperti itu ternyata yang paling baik. Jadi kalau terdeteksi kebakaran di lahan swasta pasti kena,” jelas Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar dalam BNPB.

  • Pangkas Proses Birokrasi

Saat penanggulangan bencana karhutla, atau ketika karhutla telah terjadi, biasa proses untuk penanggulangan bencana tersebut terkendala oleh proses birokrasi yang panjang dan merumitkan. Mengingat penyintas karhutla merupakan warga lokal yang mendiami atau setidaknya berdekatan dengan lokasi terjadinya karhutla. Sehingga alangkah baiknya dengan melakukan peningkatan kapasitas dan memberikan teknologi dan alat-alat yang memadai untuk menghadapi karhutla tersebut.

  • Menyediakan Teknologi Buka Lahan yang Ramah Lingkungan

Dengan menghindari pembukaan lahan melalui teknik membakar, mampu memperkecil risiko terjadinya eskalasi kebakaran. Salah satu cara tersebut adalah paludikultur.

“Paludikultur adalah pemanfaatan lahan gambut yang selalu basah. Paludikultur dikembangkan dengan tujuan untuk membasahi kembali lahan gambut yang sebelumnya dikeringkan/didrainase, sehingga memungkinkan pembentukan kembali atau pemeliharaan jasa ekosistem gambut, seperti penyerapan dan penyimpanan karbon, penyimpanan air dan nutrisi, serta pendinginan iklim lokal dan penyediaan habitat untuk hidupan liar” terang I Nyoman Suryadiputra, pimpinan Yayasan Lahan Basah/Wetlands International Indonesia.

Secara pararel pemerintah bisa memberikan sumbangsih atau subsidi untuk pengadaan traktor tangan ke setiap desa sekaligus meningkatkan atau memperbaiki sarana dan prasarana irigasi bagi masyarakat setempat serta edukasi tentang konsep agroforestry.

“Pemerintah juga dapat menyediakan traktor tangan ke setiap desa dan sarana irigasi yang lebih baik di daerah non-gambut untuk menanam padi, sambil mempromosikan agroforestri/wanatani/hutan tani,” tulis Laely.

Agroforestri/wanatani adalah perpaduan pengelolaan lahan sebagai solusi konversi lahan dengan menggunakan sistem budidaya tanaman kehutanan, pertanian atau peternakan secara bersamaan.

Dengan mengenalkan konsep agroforestri/wanatani mampu meningkatkan produktivitas melalui optimalisasi lahan dengan penanaman berbagai jenis tanaman serta peternakan untuk keberlanjutan ekosistem. Selain itu juga konsep ini mampu mengoptimalkan kualitas tanah dan air. Jenis tanaman mampu meningkatkan kesuburan tanah dan menjaga keberlangsungan air melalui akar yang kuat.

Menyusul dengan peringatan akan ancaman Karhutla, DMC Dompet Dhuafa bermaksud mengajak semua pihak untuk meningkatkan awareness untuk beralih ke gaya hidup ramah lingkungan dan tidak memperbesar risiko terjadinya karhutla. Menjaga bumi pertiwi untuk kehidupan yang lestari. Karena Bumi Cuma Satu, saatnya Indonesia Berdaya Hadapi Bencana. (AFP/ DMC Dompet Dhuafa)