Perhatikan Lingkungan Sekitarmu, Bisa Jadi Ada Lahan yang Termasuk Rawan Bencana Alam

Awal tahun 2022, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 479 bencana alam sudah menghampiri beberapa wilayah Indonesia (per 7 Februari 2022) . Sedangkan sepanjang tahun 2021 di Indonesia, terdapat 3.357 kejadian bencana alam. Sebanyak 677 orang meninggal dunia, 95 orang menghilang, 14.121 terluka, 142.989 rumah rusak, dan 8.733 fasum terdampak.

Jika membandingkan dengan data tahun lalu 2020, jumlah kejadian bencana alam lebih kecil. Namun secara dampak jauh lebih besar pada tahun 2021. Terhitung pada tahun 2020 tercatat 4.650 kejadian bencana, 376 orang meninggal dunia, 42 orang menghilang, 619 luka-luka, 65.743 rumah rusak, dan 1.683 fasilitas rusak.

Tentunya bencana alam akan sulit diprediksi mengingat banyak faktor yang harus diperhitungkan seperti teknologi dan sumber daya manusia. Tengok saja saat awan panas guguran (APG) Semeru terjadi. Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Andiani mengaku kesulitan untuk memprediksi kemunculan APG Gunung Semeru.

“Potensi masih ada, tapi kalau ditanya kapan itu terjadi? Bagi kami sulit menjawab itu. Karena kesulitan kami, maka itulah kami perlu melakukan monitoring,” ujar dia dalam konferensi pers daring, Senin (6/12/2021) sebagaimana yang dikutip dalam Liputan6.

Monitoring dibutuhkan demi mendeteksi getaran gempa sesaat sebelum erupsi terjadi di Gunung Semeru. Maka jika Semeru akan kembali memuntahkan gugurannya PVMBG sudah bisa mengetahui lewat tanda-tanda getaran yang ditimbulkan. 

“Dan setelah getaran-getaran itu tercatat ke atas, maka segera kami sampaikan ke WA grup untuk disampaikan ke masyarakat,” sambungnya.

Hal sama juga terjadi ketika membicarakan bencana gempa bumi. Pada tahun 2019 silam, seusai gempa bumi mengguncang wilayah Banten pada 2 Agustus dengan besaran kekuatan 7,4 (dimutakhirkan magnitudo 6,9) kemudian beredar isu akan ada gempa susulan dengan besaran kekuatan 9,0 magnitudo. Tentu hal ini tidak benar.

Tidak lama, Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan imbauan untuk jangan mempercayai berita yang tidak bertanggungjawab tersebut. Lantaran hingga saat ini pun, belum bisa diprediksi.

“Karena peristiwa gempa bumi hingga saat ini belum dapat diprediksi oleh siapapun: kapan, di mana, dan berapa kekuatannya,”tulis rilis resmi BMKG.

Menurut United States Geological Survey (USGS) juga mengatakan hal yang sama bahwa gempa bumi masih sulit diprediksi. Prediksi biasanya didasarkan pada rentetan gempa bumi kecil yang dianggap sebagai pembuka tirai gempa bumi susulan yang lebih besar. Menurut USGS, metode prediksi seperti itu pernah diterapkan di Cina beberapa dekade lalu. Namun sayangnya, gempa bumi besar justru datang tanpa didahului rentetan gempa kecil sebagaimana ditulis Tirto.

Kemudian bencana longsor dan kekeringan juga akan sulit untuk memprediksi secara pasti. Namun dengan prakiraan cuaca atau curah hujan kita bisa mengantisipasi beberapa kemungkinan terjadinya bencana alam yang menyusulnya. Misalnya bulan Januari lalu, BMKG mengidentifikasi adanya potensi peningkatan curah hujan dalam periode sepekan ke depan di sebagian besar wilayah Indonesia.

Kondisi tersebut dipicu oleh peningkatan aktivitas dinamika atmosfer seperti Cold Surge atau Seruakan Massa Udara Dingin dari Asia menuju wilayah Indonesia, aktifnya fenomena gelombang atmosfer seperti gelombang Kelvin dan Rossby Ekuatorial di beberapa wilayah, pola tekanan tekanan rendah yang memicu terbentuknya pumpunan dan belokan angin yang diperkuat juga dengan adanya pengaruh labilitas udara dalam skala lokal.

Sebanyak 27 provinsi di Indonesia diprediksi akan mengalami intensitas hujan yang lebat dan sedang. Dengan peningkatan ketinggian gelombang sekitar 2.5 – 4.0 meter (Rough Sea) pada 14 perairan di Indonesia.

Hal ini mendorong masyarakat agar tetap berhati-hati terhadap potensi bencana alam yang terjadi akibat cuaca dan curah hujan yang ekstrim, seperti banjir, tanah longsor, banjir bandang, genangan, pohon tumbang, dll.

Lantas apa yang harus kita lakukan di tengah kesulitan dalam menebak kejadian bencana alam yang akan terjadi di sekitar kita?

Pertanyaan ini akan sulit dijawab secara pasti. Namun ada beberapa upaya yang bisa kita lakukan untuk mengurangi dampak kerusakan yang dibawa oleh bencana alam. Salah satu upaya tersebut ialah pengurangan eksploitasi alam yang berlebihan. Sebut saja pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo.

Bendungan Bener rencananya akan memiliki kapasitas 100,94 meter kubik. Dengan kapasitas tersebut, bendungan ini dapat mengairi lahan seluas 15.069 hektare dan mengurangi debit banjir hingga 210 meter kubik per detik. Bendungan ini juga dapat menyediakan pasokan air baku hingga 1,60 meter per detik, serta menghasilkan listrik sebesar 6 MW.

Namun pembangunan Bendungan Bener ini dapat terealisasi dengan bantuan material pembangunan berupa batuan andesit. Bahwa untuk mendapatkan batuan andesit akan dilakukan penambangan di lahan Desa Wadas yang akan dikeruk mencapai 145 hektar.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Asep Komaruddin melihat hal ini akan memperburuk kondisi masyarakat sekitar dan ekosistem lingkungan hidup sekitar. Pasalnya Kecamatan Bener termasuk dalam salah satu wilayah rawan bencana tanah longsor dan kekeringan. Hal ini juga pada akhirnya akan merugikan perkebunan dan lahan pertanian warga sekitar.

“Di samping itu berdasarkan Pasal 42 huruf c Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2011 tentang Tata Rencana dan Tata Ruang Wilayah (RTRW) wilayah Kecamatan Bener merupakan kawasan bencana tanah longsor,” jelasnya dikutip dalam Kompas.

“Artinya ketika terjadi penambangan batuan di Desa Wadas yang merupakan area perbukitan, maka potensi kekeringan akan meningkat,” tambahnya.

Dalam World Risk Report 2022 sendiri, Indonesia termasuk dalam negara yang memiliki kerusakan lingkungan akibat intervensi berlebihan dari manusia. Akibat pengaruh kebijakan geopolitik Indonesia.

Lantas muncul kembali pertanyaan mengapa masyarakat memutuskan menetap di wilayah yang disinyalir termasuk ke dalam titik rawan bencana alam?

Mari kita kembali sejenak pada kasus APG Semeru. Gunung Semeru merupakan salah satu gunung api aktif yang membentang Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang. Sebanyak 1.027 rumah rusak dan 6.597 warga mengungsi akibat APG Semeru. Lalu lahan pertanian seluas 884 hektar atau setara 8.840.000 meter persegi rusak akibat APG Semeru dan sebanyak 3.026 ekor ternak mati.

Meski besarnya konsekuensi hidup tinggal di wilayah pegunungan aktif, banyak pula manfaat yang bisa diperoleh ketika kita hidup berdekatan dengan wilayah pegunungan. Sebut saja beberapa contohnya seperti penyedia air bersih dan merupakan tempat dengan curah hujan yang cocok untuk pertanian atau perkebunan. Abu vulkanik yang dimuntahkan juga bermanfaat bagi kehidupan, mengingat dalam jangka panjang abu tersebut mampu menyuburkan tanah-tanah pertanian dan perkebunan. Tanah yang terkena abu vulkanis dapat menghidupi 10 persen dari populasi dunia.

Material dari gunung api juga bisa dimanfaatkan oleh masyarakat, seperti pasir guna pembangunan rumah hingga belerang yang digunakan untuk bahan baku obat dan kosmetik. Hal ini yang mendorong puluhan truk pengambil pasir langsung bergerak menuju wilayah Gunung Merapi seusai erupsi yang terjadi 28 Januari 2022 lalu. Sebagian besar alasan di atas didasarkan karena alasan ekonomi.

Hal serupa juga terjadi pada masyarakat yang hidup di wilayah pesisir lautan. Dekatnya dengan sumber daya alam menjadikan alasan utama dalam memutuskan hidup di sana. Meski di tengah pusaran rawan bencana tsunami dan gelombang pasang.

Indeks Risiko Bencana Indonesia

Dalam laporan Indeks Risiko Bencana pada tahun 2020 yang dirilis oleh BNPB, terdapat 19 provinsi berada pada kelas risiko bencana tinggi dan 15 provinsi berada pada kelas risiko bencana sedang dan tidak ada provinsi yang berada pada risiko bencana rendah. Tiga provinsi yang berisiko paling tinggi yaitu Sulawesi Barat, Bengkulu dan Kepulauan Bangka Belitung. Sementara itu, tiga provinsi yang memiliki indeks risiko terendah pada kelas sedang adalah Papua, Kepulauan Riau, dan DKI Jakarta.

Dari 514 Kabupaten kabupaten/ kota di Indonesia terdapat 237 kabupaten kota yang berada pada kelas indeks risiko tinggi dan 277 yang berada pada kelas indeks risiko sedang. Tiga kabupaten/ kota dengan skor yang paling tinggi adalah Maluku Barat Daya – Provinsi Maluku, Majene – Provinsi Sulawesi Barat, dan Kota Gunung Sitoli, Provinsi Sumatera Utara. Sementara itu, tiga yang memiliki skor terendah (berada pada kelas sedang) adalah Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta, Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah, dan Mamberamo Tengah – Provinsi Papua.

Penilaian di atas didasari perhitungan pada komponen bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability), dan kapasitas (capacity) di masing-masing provinsi dan kabupaten/ kota. Komponen bahaya adalah fenomena alam yang dapat menyebabkan bencana seperti gempabumi, letusan gunung api, tsunami, banjir, dan lainnya. Komponen kerentanan adalah (1) kondisi fisik, (2) sosial budaya, (3) ekonomi, dan (4) lingkungan yang rentan terpapar bencana. Sementara komponen kapasitas adalah dari unsur ketahanan daerah seperti kebijakan dan kelembagaan; pendidikan dan pelatihan; logisitik; kapasitas mitigasi, pencegahan, kesiapsiagaan dan penanganan darurat; dan kapasitas pemulihan.

Artinya semakin besar indeks risiko bencana, maka semakin besar intervensi yang harus dilakukan untuk menggencarkan program-program mitigasi dan perencanaan rekonstruksi pascabencana terjadi.

Berkaca pada kasus Desa Wadas yang akan dibangun Bendungan Bener. Wilayah Purwerejo termasuk dalam kategori indeks risiko bencana tertinggi setelah Banyumas. Wilayah Jawa Tengah memiliki potensi bencana alam gempabumi, tsunami, letusan gunungapi, banjir, tanah longor, kekeringan, cuaca ekstrim, gelombang ekstrim / abrasi, serta kebakaran hutan dan lahan.

Sehingga setiap pembangunan harus mengacu pada analisa risiko bencana suatu wilayah agar dapat tercipta pembangunan yang komprehensif: tidak merusak lingkungan hidup maupun menyengsarakan masyarakat di sekitarnya.

Mengacu UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, mengatur penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana antara lain persyaratan analisis risiko bencana. Setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi yang menimbulkan bencana harus dilengkapi dengan analisis risiko bencana.

“Bahkan hampir 75% infrastruktur industri dan konektivitas dasar di Indonesia, termasuk sarana pendukungnya dibangun pada zona rawan atau bahaya,” dikutip dari RPJMN 2020-2024 (AFP/ DMC Dompet Dhuafa).

Hubungi Disaster Management Center Dompet Dhuafa:

Linkedin: Disaster Management Center Dompet Dhuafa

Instagram: dmcdompetdhuafa

Facebook: dmcdompetdhuafa.offical

Twitter: dmcddofficial

Youtube: DMC Dompet Dhuafa

Tiktok: dmcdompetdhuafa