Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Ipsos Global yang berkolaborasi dengan perusahan listrik multinasional EDF, dalam laporan Obs’cop 2022 Climate Change And Public Opinions International Observatory (2022) menemukan seberapa besar negara-negara dunia peduli terhadap isu lingkungan. Dengan mengambil sampel dari 30 negara yang menyumbang gas emisi rumah kaca yang terbesar dan mewakili dua pertiga dari populasi global.
Spanyol menunjukan keprihatinan yang tinggi terhadap isu lingkungan yakni sebesar 53 persen. Sedangkan rata-rata global menunjukan keprihatinan sebesar 40 persen. Posisi terendah dipegang oleh Arab Saudi dengan angka 20 persen.
Kemudian saat dihadapkan oleh dua bidang yang menjadi prioritas dalam pembangunan masyarakat yakni di bidang ekonomi atau di bidang lingkungan, tercatat Afrika Selatan memilih ekonomi tetap menjadi prioritas meski berdampak atau merusak lingkungan sekalipun.
Sedangkan Turki lebih memilih memprioritaskan perkembangan lingkungan yang tinggi meski akan berdampak terhadap ekonomi atau mengurangi lapangan pekerjaan yang ada.
Akan tetapi penduduk di Nigeria paling percaya bahwa dengan peduli terhadap lingkungan maka itu akan memberikan dampak yang positif yakni terciptanya lapangan kerja baru.
Lebih jauh dijelaskan bahwa terdapat beberapa negara yang menunjukan kepedulian yang tinggi tentang isu seputar lingkungan.
Mulai dari isu tentang Perubahan Iklim, Timbunan Sampah, Polusi Udara, Polusi Air, Berkurangnya Keanekaragaman Hayati, Hilangnya Sumber Daya Alam, Deforestasi, Polusi Lahan, dan Kekeringan.
Negara-negara tersebut adalah Korea Selatan (Perubahan Iklim dan Timbunan Sampah), Jepang (Cuaca Ekstrem), Rusia (Polusi Udara, Polusi Air, Polusi Lahan, dan Deforestasi), Norwegia (Berkurangnya Keanekaragaman Hayati), Turki (Hilangnya Sumber Daya Alam), Kolombia dan Mesir (Polusi Tanah) dan Spanyol (Kekeringan dan Desertifikasi).
Namun sebanyak 63 persen sampel percaya bahwa isu-isu seputar lingkungan di atas disebabkan oleh manusia. Kemudian sebanyak 28 persen mengatakan bahwa itu fenomena alamiah dan mengatakan tidak tahu. Terakhir sebanyak 9 persen sampel tidak percaya adanya perubahan iklim. Indonesia menempatkan posisi tertinggi bahwa perubahan iklim benar-benar terjadi yakni 98 persen. Angka ini di atas rata-rata global yang sebesar 91 persen.
Saat ditanya apa penyebab besar produksi gas emisi terbesar, secara global semua menyalahkan aktivitas industrial penyebab utamanya, kemudian diikuti oleh asap kendaraan, penggunaan bahan bakar yang berlebihan (batu bara, gas, atau fosil), deforestasi, pengelolaan air, alat penghangat, pertanian, produksi dan sampah kaleng-kaleng aeorosol, aktivitas digital (penggunaan computer, internet dll), terakhir ditempati oleh penggunaan bahan bakar nuklir.
Para sampel sepakat bahwa mereka semua telah mengalami konsekuensi dari perubahan iklim. Konsekuensi tertinggi yang mereka rasakan adalah peningkatan suhu atau gelombang panas, kemudian disusul oleh penurunan permukaan air, jeda musim yang terganggu, badai topan, kekeringan, banjir dan peningkatan permukaan air laut.
Menariknya para sampel percaya bahwa pemerintah dan perusahaan swasta memiliki tanggungjawab yang besar untuk tindak andil dalam isu seputar lingkungan. Sedangkan NGO atau Lembaga Swadaya Masyarakat berada di paling bawah.
Akan tetapi berdasarkan para pengalaman para responden justru menunjukan bahwa ilmuwan dan masyarakat yang telah menunjukan aksi nyata dalam merespons perubahan iklim. Kemudian disusul di posisi ketiga yakni pemerintah, dan NGO di posisi keempat.
Ketika ditanya apa alasan untuk tidak melakukan upaya mengontrol penggunaan energi atau tidak mencoba beralih ke penggunaan energi yang ramah lingkungan, sebanyak 29 persen tidak percaya bahwa tindakan mereka mampu memberikan sumbangsih kepada perubahan iklim dan lainnya. Kemudian 28 persen menganggap tidak tahu menahu bagaimana mengubah instalasi yang telah terpasang di rumah mereka.
Indonesia menempati tertinggi tentang penggunaan energi yang bijak dalam merespons perubahan iklim yakni sebesar 46 persen, jauh lebih besar ketimbang nilai rata-rata global yakni 29 persen.
Hanya dua kategori atau topik yang menunjukan keunggulan dan keseriusan Indonesia dalam menghadapi masalah seputar isu lingkungan. Ini merupakan pekerjaan yang masih terus dan harus diupayakan bagi Indonesia dalam menjawab dan adopsi gaya hidup yang ramah lingkungan.
Mari bersama-sama secara perlahan memulai dan beralih ke dalam gaya hidup yang ramah lingkungan. Demi bumi dan demi kelangsungan hidup sesama manusia. Mari wujudkan bumi yang lestari dan dengan menaruh perhatian penuh dalam kegiatan pengurangan risiko bencana. Karena Bumi Cuma Satu. (AFP/ DMC Dompet Dhuafa)