Dengan menggaungnya desakan peduli lingkungan mendorong masyarakat atau pemerintah untuk selalu serta peduli terhadap lingkungan.
Mulai dari bahaya global warming, hingga bencana alam yang siap sedia membahayakan nyawa hidup manusia.
Aktivis dan pihak stakeholder terus mengkampanyekan pola hidup yang ramah lingkungan. Mulai dari hulu hingga ke hilir.
Mulai dari ruang lingkup keluarga hingga ruang publik seperti tempat kerja.
Namun demikian, dalam praktiknya sulit dilakukan. Terutama ketika kebutuhan lebih berselarasan dengan hal-hal yang merusak lingkungan. Misal:
Global Warming, Tetapi Menggunakan Pendingin Ruangan
Dengan waktu Indonesia memasuki musim kemarau terjadi peningkatan suhu di wilayah Indonesia.
“Suhu maksimum tertinggi hingga 36,1 derajat Celsius terjadi di wilayah Tangerang-Banten dan Kalimarau-Kalimantan Utara,”kata Guswanto dalam keterangan tertulis, yang dikutip Detikcom, Selasa (10/5/2022).
“Suhu maksimum tertinggi di Indonesia pada bulan April selama 4-5 tahun terakhir sekitar 38,8 derajat Celsius di Palembang pada 2019, sedangkan di bulan Mei sekitar 38,8 derajat Celsius di Temindung Samarinda pada 2018,” lanjut Guswanto.
Karena suhu meningkat, sebagian masyarakat akan mencari upaya untuk mendapatkan kenyamanan dengan menggunakan pendingin ruangan atau Air Conditioner (AC).
Menurut Riza Pratama dalam penelitiannya yang berjudul Efek Rumah Kaca Terhadap Bumi, AC menggunakan gas buatan yang disebut chlorofluorocarbon (CFC) atau klorofluorokarbon.
Perlu diketahui satu unit molekul CFC dapat merusak 100.000 unit molekul ozon. Hal ini pada akhirnya akan merusak lapisan ozon.
Selain itu Klorofluorokarbon merupakan senyawa kimia yang bersifat gas rumah kaca.
Apabila aktivitas manusia kebanyakan menghasilkan gas ini, maka akan menyebabkan pemanasan global.
Jadi lebih baik panas-panasan dan susah fokus dalam melakukan aktivitas ketika dalam ruangan?
Atau kepanasan hingga menyebabkan dehidrasi dan memegang teguh untuk tidak menambah polusi udara dan melemahkan lapisan ozon?
Prefer Kehausan atau Beli Gelas Plastik ya?
Ketika kita sedang aktivitas dan kita lupa membawa botol minuman pribadi kita. Seringkali kita membeli minuman kemasan di luar yang terdiri dari macam rupa merek itu.
Namun karena kita mencoba untuk tetap ramah lingkungan dan tidak menambah polusi lingkungan yang sudah ada, seringkali kali terjadi konflik batin di dalam diri kita:
Apakah tetap membeli produk kemasan plastik dan memuaskan hasrat dahaga? Atau tetap merasa haus tetapi tidak menambah konsumsi plastik yang sudah tidak terhitung itu?
Pasalnya Direktur Sustainable Waste Indonesia (SWI) Dini Trisyanti dalam webinar bertajuk Waste Management in Indonesia.
Mengatakan bahwa di tahun 2020, kebutuhan di tingkat global terhadap plastik jenis PET untuk botol minum atau botol air mineral mencapai 27 juta ton.
Lalu diperkirakan di tahun 2030 mendatang kebutuhan ini sebesar 42 juta ton sebagaimana dikutip dalam Kompas,
Kantong Tas Ramah Lingkungan Tetapi….
Siapa yang tidak tahu tote bag? Saya rasa hal ini diketahui oleh anak-anak muda di Indonesia.
Karena hal ini biasanya digunakan oleh anak muda yang sedang menonton konser musik, terutama di sekitaran Jabodetabek.
Tote bag juga sempat digaungkan sebagai tas yang ramah lingkungan sebagai bentuk alternatif penggunaan tas plastik dan melawan polusi sampah plastik.
Akan tetapi tas jenis ini membutuhkan sedikit energi untuk produksi, menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca 87 persen, dan juga menghasilkan limbah 91 persen lebih sedikit dari plastik sekali pakai.
Meski begitu, kantong jenis ini sulit terurai dan didaur uang.
Selain itu, kantung ini juga mudah terkontaminasi dan dapat menjadi tempat berkembang biak bakteri, yang berasal dari produk hewani seperti susu atau daging.
Selain itu meski sudah menggunakan tas jenis ini, seringkali mereka menggunakan tas ini untuk membeli kebutuhan sehari-hari dengan kemasan plastik.
Pergi ke salah satu minimarket dan membeli aneka makanan ringan dan minuman, lalu alat pembersih lainnya yang menggunakan kemasan plastik.
Sehingga di satu sisi kita meminimalisir penggunaan tas atau kantong plastik, di sisi lain kita tetap menggunakan tote bag tersebut untuk membawa produk-produk dengan kemasan plastik.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2021 mencatat 16 juta ton sampah. Sebanyak 15 persen didominasi oleh sampah plastic.
Lebih Murah Sedotan Plastik atau Sedotan Besi?
Ah bagian ini sempat ramai di media jagat sosial, di mana penggunaan sedotan besi atau metal banyak digunakan.
Di tengah massalnya produksi sedotan plastik, berbagai upaya alternative dilakukan demi menghadirkan pola hidup yang ramah lingkungan, salah satunya terciptanya sedotan besi.
Sedotan besi dipercaya bisa meminimalisir penggunaan sedotan plastik yang juga menjadi penyumbang sampah plastik. Sedotan besi bisa digunakan terus menerus dengan perawatan yang higienis tentunya.
Namun sedotan besi terbuat dari campuran besi, karbon, dan kromium yang dalam pembuatannya melibatkan penebangan pohon dan penggalian tanah.
Proses itu melewati reaksi kimia supaya besi dan kromium bisa dimurnikan dari mineral lain.
Kemudian, saat logam-logam diproses di pabrik, pengolahannya akan menghasilkan limbah yang nantinya akan dibuang kembali dan akan mencemari lingkungan sekitarnya.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Megan Tolbert dan Katie Koscielak dari Humboldt State University, energi yang dibutuhkan untuk membuat sedotan metal sebesar 2.420 kJ/sedotan, atau 23.7 kJ/sedotan untuk sedotan plastik.
Selain itu, untuk pembuatan satu sedotan metal menghasilkan 217 gCO2, sedangkan setiap sedotan plastik menghasilkan 1,46 gCO2 untuk setiap satu sedotan.
Jadi lebih pilih yang mana? Sedotan plastik atau sedotan besi? Sedotan plastik jauh lebih murah dan mudah didapatkan.
Sedangkan sedotan besi bisa digunakan berkali-kali tanpa harus khawatir dengan bakteri yang mengendap di sana.
Ikuti Tren Fesyen Cepat Agar Terlihat Gaul, Tetapi….
Seiring berjalannya waktu, moda fesyen kerapkali berubah. Entah menciptakan model pakaian baru, atau kembali ke model pakaian yang lama dan muncul kembali di era terkini.
Alhasil sebagian masyarakat turut tunduk pada model pakaian yang terkini untuk mencoba tetap berbaur dan terlihat kekinian.
Salah satu merek fesyen Five of Us mengilustrasikan visualisasi banyaknya sampah pakaian yang terbuang dalam setiap waktu.
Setiap 16 detik sampah pakaian yang terbuang itu setara dengan Menara Eiffel yakni 324 meter. Sedangkan dalam 42 detik sampah pakaian sudah setara Burj Khalifa atau setinggi 838 meter.
Dalam 228 hari atau hamper setara 8 bulan, tumpukan sampah tersebut akan setara dengan jarak bumi dan bulan atau 384 juta meter.
Kemudian dalam 7 menit sampah pakaian akan setingkt Gunung Everest yakni 8.848 meter.
Lalu dalam 6 jam ketinggian sampah setara dengan ketinggian Stasiun Angkasa Internasional atau setara 408.000 meter.
Hal ini disinyalir akibat berkembangnya merek-merek pakaian cepat atau fesyen cepat yang telah meningkatkan produksi pakaiannya menjadi dua kali lipat dalam 20 tahun terakhir, yakni dari 100 milliar unit menjadi 200 unit setiap tahunnya.
Terlebih 1 dari 2 orang membuang pakaian mereka, dan hasilnya 64 persen dari sampah pakaian 32 miliar berakhir di tempat pembuangan akhir pada tahun 2020.
Dalam laporan Quantis yang berjudul “Measuring Fashion 2018 Environmental Impact Of The Global Apparel And Footwear Industries Study”, menyatakan 90 persen emisi berasal dari aktivitas produksi pakaian.
Sehingga dengan demikian kembali lagi ke permasalahan awal, relakah untuk tetap up-to-date dengan tren fesyen terkini dan terlihat keren? Atau tidak up-to-date dengan tren fesyen yang ada serta tidak turut dalam menyumbang limbah pakaian?
Lebih Pilih Menghisap Asap Rokok atau Polusi Udara?
Perlu diketahui, rokok dan aktivitas merokok juga turut menyumbang terhadap polusi udara di sekitar kita. Sehingga selain berbahaya terhadap diri sendiri yang mengakibatkan segala macam penyakit, juga berbahaya bagi ekosistem lingkungan fisik di sekitaran kita.
Biasanya orang melakukan rokok untuk sekedar santai atau sebagai upaya untuk mengakrabkan diri dengan teman sejawatnya.
Namun sebagaimana yang dilansir dalam Conserve Energy Future banyak sekali dampak rokok terhadap lingkungan. Sebut saja yang pertama perihal kandungan asap dalam tembakau tersebut.
Asap rokok mengandung karbondioksida, metana dan bahan kimia berbahaya lainnya, menyebabkan polusi udara melalui merokok.
Meskipun metana dan karbondioksida tidak mematikan bagi perokok, gas tersebut menambah polusi atmosfer secara umum.
Merokok secara global mengeluarkan hampir 2,6 miliar kilogram karbondioksida dan 5,2 miliar kilogram metana ke atmosfer setiap tahun.
Kemudan bahan utama dalam pembuatan rokok adalah tembakau, dan kenyataannya sebagian besar ditanam di kawasan hutan hujan. Hal ini mendorong pembukaan lahan atau deforestasi di wilayah hutan hujan untuk penanaman tanaman tembakau
Ketika deforestasi dilakukan hal ini akan berdampak mengurangi ketersediaan hewan dan tanaman untuk mencari makan, hilangnya keanekaragaman hayati, erosi tanah, dan peningkatan suhu global.
Terlebih dalam produksinya seperti mesin dalam pabrik tembakau juga menghasilkan gas rumah kaca dalam bentuk CO2 dan NO2.
Api pembakaran kayu atau tungku khusus juga diperlukan dalam proses pengawetan, melepaskan bahan kimia berbahaya ke atmosfer.
Kegiatan mengemas juga membutuhkan gulungan kertas yang banyak. Diperkirakakan dalam satu jam, dibutuhkan sekitar 4 mil kertas atau setara 6000 meter untuk menggulung dan mengemas, yang berarti penghancur.
Tidak lupa juga dengan filter di bagian ujung rokok yang terbuat dari selulosa asetat, bersumber dari plastik, bersifat photodegradable – dapat dipecah oleh sinar UV, tetapi tetap saja, butuh waktu lama untuk terurai.
Bahan-bahan dalam filter, oleh karena itu, tetap berada di tanah untuk jangka waktu yang lama, hingga 10 tahun, seperti yang diperkirakan oleh para peneliti. Selama mereka ada di tanah, tanah tetap tercemar.
Dengan kenyataan di atas, masihkan orang untuk menghirup asap rokok? Atau memutuskan berhenti menghirup asap rokok dan menerapkan pola hidup yang lebih sehat serta ramah lingkungan?
Jadi Apakah Pilihan Gaya Hidup Ramah Lingkungan Itu Merepotkan?
Sebagai manusia, umumnya kita akan mencari kenyamanan dalam gaya hidup keseharian kita.
Apalagi di tengah dunia modern saat ini, teknologi berkembang untuk membuat hidup manusia menjadi lebih nyaman.
Sayangnya, seperti yang sudah disebutkan di atas, inovasi-inovasi ini datang dengan harga yang sangat mahal bagi bumi kita.
Kerusakan lingkungan yang mendorong terjadinya berbagai masalah dalam kehidupan.
Jadi pertanyaannya, apakah gaya hidup ramah lingkungan itu justru malah merepotkan?
Tentu selalu ada dua sisi dalam kehidupan kita, baik dan buruk, positif dan negatif.
Namun gaya hidup ramah lingkungan adalah sebuah keniscayaan jika kita ingin menjaga bumi kita dan mewariskannya dalam kondisi yang baik untuk generasi selanjutnya.
Dengan dampak pemanasan global yang semakin terasa, kita sudah seharusnya dapat memulai gaya hidup ramah lingkungan dari diri sendir, mulai dari hal-hal paling kecil dan sederhana namun dilakukan dengan konsisten (AFP/ DMC Dompet Dhuafa).
Fotografer: Arifian Fajar Putera, Abdussalam, dan Juli Haryadi.