TTS, NTT—Listrik merupakan salah satu elemen mampu memberi kehidupan dalam masyarakat. Dengan listrik manusia mampu menerangi kegelapan, mampu mengoperasikan penyukur jenggot, mampu juga untuk menggunakan alat komunikasi portabel seperti telepon genggam dan juga banyak hal lainnya.
Manusia akan mengalami kesulitan apabila tidak bisa mengakses energi listrik, hanya orang-orang tertentu saja yang mampu bertahan hidup dan tangguh tanpa memanfaatkan listrik, seperti masyarakat adat pedalaman.
Indonesia sendiri melalui Undang-Undang No.30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan menyebutkan dalam Pasal 5 Ayat 1, bahwa pemerintah pusat dan daerah wajib menyediakan tenaga listrik untuk kepentingan umum.
Dalam Pasal 29 Ayat 1 menyebutkan masyarakat berhak mendapatkan tenaga listrik secara terus-menerus dengan mutu dan keandalan yang baik.
Undang-Undang No.30 Tahun 2009 sendiri mengalami beberapa perubahan lantaran berlakunya Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memuat penyederhanaan perizinan, penambahan kewenangan pemerintah pusat, penyederhanaan persyaratan pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik, penekanan pada energi terbarukan, dan penguatan kewajiban pemerintah untuk menyediakan listrik.
Meski begitu, masih ada titik-titik wilayah pelosok Indonesia yang belum mendapatkan akses energi listrik. Mayoritas ketersediaan jumlah pembangkit listrik masih didominasi di wilayah Jawa dan Sumatera.
Hal tersebut diperparah dengan kenyataan pembangkit listrik di Indonesia masih menggunakan energi fossil hingga 81 persen, yang di mana 62 persennya berasal dari batubara. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa penggunaan energi fosil sangat berbahaya bagi lingkungan hidup, maupun hewan dan manusia yang terpapar bahaya tersebut.
*Kampung Tubleu dan Kampung Eon Ana*
Ada dua wilayah di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang minim akan akses listrik yakni di wilayah Masjid Babul Jihad, Kampung Tubleu, Desa Bila, Kecamatan Amanuban Timur, dan di Masjid Al-Istiqomah, Kampung Eon Ana, Desa Ello, Kecamatan Fatukopa. Dua tempat tersebut merupakan wilayah pelosok di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Perjalanan menuju dua lokasi tersebut membutuhkan waktu 60 menit – 120 menit. Dengan medan jalur yang jauh dari kata layak, alias jalannya masih menggunakan medium tanah. Jika hujan lebat, sudah dipastikan akan kesulitan melewati jalan tersebut.
Sepanjang jalan menuju dua titik tersebut, hanya pohon-pohon tinggi dan perbukitan yang mengelilingi titik-titik kehidupan masyarakat di sana. Sebagian besar masyarakat berprofesi sebagai petani. Mulai dari bertani jagung, singkong, dan lain-lain.
Listrik susah, sinyal telepon genggam juga susah. Tidak terbayangkan bagaimana situasi pada malam hari di tempat tersebut.
Aimah Natonis salah seorang warga Kampung Tubleu menceritakan pengalamannya selama hidup di Kampung Tubleu dengan akses listrik yang minim.
Aimah Natonis merupakan warga Desa Bila, pada usia remaja hingga dewasa dia merantau ke beberapa wilayah seperti Bandung dan Soe untuk menempuh pendidikan dan pekerjaan. Setelah menikah, dia beserta suami dan kedua anaknya menetap di Kampung Tubleu, Desa Bila yang merupakan tanah kelahirannya.
Terhitung sudah empat tahun dia dan suami hidup bersama di sana. Dua sampai tiga tahun dia memanfaatkan lampu pelita buatan sendiri—berupa kaleng bekas, minyak tanah dan sumbu—untuk penerangan kehidupan sehari-hari.
Saat malam tiba, dia dan keluarga sedikit kesulitan akibat penerangan yang minim. Alhasil, ketika malam tiba, aktivitas dia hanya terpusat di rumahnya. Rumah dengan luas kurang lebih luas 3 x 3 m luas, yang bentuknya menyerupai topi ulang tahun. Rumah tersebut merupakan rumah adat sekitar yang masih berdiri kokoh untuk melindungi Aimah dan keluarga dari gempuran panas dan hujan.
”Sangat gelap,” pungkasnya.
Sehari-hari dia seorang ibu rumah tangga yang juga menjual hasil keranjang anyaman yang ia buat berhari-hari dengan nominal Rp5000 – Rp10.000 per-satu keranjang.
”Terkadang membuat satu membutuhkan waktu satu hari. Terkadang juga bisa lebih cepat atau lebih lama dari itu,” ucapnya.
Kondisi Kampung Eon Ana, Desa Ello tidak jauh berbeda dengan kondisi di Kampung Tubleu, Desa Bila.
Syamsuddin seorang warga dan ustadz menuturkan hal serupa. Minimnya akses listrik membuat warga kesulitan dalam aktivitas sehari-hari: penerangan menggunakan lampu pelita, kemudian ada perkembangan penggunaan genset.
”Kasarnya sejak merdeka wilayah ini sulit menikmati penerangan listrik. Karena wilayah ini termasuk dalam wilayah 3T: terluar, tertinggal, dan terdalam,” akunya.
”Di malam hari tidak bisa terang, terkadang harus menyeberangi sungai untuk mengisi ulang penerangan dan lainnya,” lanjutnya.
Dia bercerita bahkan untuk mengumandangkan adzan sangat sulit, lantaran geografi kampung yang luas dan listrik yang belum memadai, sehingga adzan hanya terdengar dalam jangkauan radius yang kecil.
*Menembus Malam, Menghapus Kelam*
Harapan hadir dalam waktu yang tidak terduga. Dompet Dhuafa NTT dan Disaster Management Center (DMC) mendonasikan panel surya kepada dua titik di atas yakni Masjid Babul Jihad dan Masjid Al-Istiqomah (09/08/2024).
Di Indonesia sendiri pembangkit listrik yang menggunakan tenaga surya hanya sebesar 102 megawatt di tahun 2022, sedangkan tenaga uap batubara jumlahnya ada 37 ribu mega watt
Dengan kapasitas 1000 watt, kini masyarakat sekitar bisa memanfaatkan energi listrik dari matahari. Mereka tidak perlu takut kegelapan, mereka tidak perlu khawatir ketika ke kamar mandi, tidak perlu khawatir ada serangga atau hewan yang masuk ke dalam rumah.
Dua panel surya tersebut terpasang ke dalam masjid sehingga siapapun bisa mengakses dan menikmati kebermanfaatan listrik tersebut, tidak melihat latarbelakang pendidikan, agama, sosial dan lainnya, semuanya bisa memanfaatkan listrik tersebut.
Instalasi panel surya terdiri dari empat kotak receiver di masing-masing titik, kemudian terhubung dengan dua baterai/aki/tempat penyimpanan daya dan dioperasikan melalui satu inverter.
Sekarang ini Aimah tidak lagi khawatir ketika malam tiba dan ingin melanjutkan membuat keranjang anyaman, dan Syamsuddin tidak lagi khawatir jangkauan radius suara adzan yang kecil, dan lain sebagainya.
”Terima kasih kepada para donatur DMC Dompet Dhuafa,” imbuh Aimah.
Dalam waktu yang berbeda Syamsuddin menuturkan, ”Terima kasih untuk DMC Dompet Dhuafa, alhamdulillah sudah sangat membantu kami. Semoga Allah membalas kebaikan-kebaikan dari para donatur Dompet Dhuafa”. (AFP/ DMC Dompet Dhuafa)