Sitaro, Sulut–Nirmawati Rabuka (43) salah seorang penyintas erupsi Gunung Ruang yang berasal dari Pulau Tagulandang tepatnya di Desa Balehumara, Kecamatan Tagulandang, Kabupaten Siau Tagulandang Biaro (Sitaro), Provinsi Sulawesi Utara.
Sehari-hari dia merupakan ibu rumah tangga dengan pekerjaan sebagai penjual pakaian di pasar.
Dia menggeluti profesi dagang kurang lebih 20 tahun, sehingga dia sudah merasakan jatuh bangunnya berjualan.
Awalnya dia berjualan toko kelontongan, namun beralih ke menjual pakaian seusai merantau ke Papua selama lima tahun.
“Pas nikah, (hitung-hitung membantu suami) jualan di pasar. Modal awal dari kelontongan sekian tahun jualan dan merantau ke Papua, cari modal balik kemudian jualan pakaian,” ujar Nirmawati mencoba mengingat pada Kamis (09/05/2024).
Namun saat ini dia tidak bisa melanjutkan pekerjaannya sementara waktu, lantaran tempat tinggalnya Pulau Tagulandang sedang terdampak bencana erupsi Gunung Ruang.
Alhasil sebagian aktivitas lumpuh, hanya sedikit yang melanjutkan aktivitasnya sehari-hari.
“Terus terang pasca erupsi ini tidak ada pemasukan. Jadi yah hanya duduk hanya menunggu bantuan datang. Ada sedihnya memang, tetapi ya diimbangilah, bersyukur dengan apa yang ada, mungkin ini adalah suatu ujian,” pungkasnya.
Hal ini yang kemudian membuat Pulau Tagulandang sepi dan sunyi.
Memang pagi-sore sebagian penyintas kembali ke rumah untuk sekedar bersih-bersih dan bertani, namun itu hanya segelintir orang saja.
Ketika malah hari tiba, penyintas kembali ke Pos Pengungsian yang lokasinya jauh dari daratan dan berada di wilayah jangkauan letusan Gunung Ruang.
Inilah yang membuat dan masih membekas di benak warga Pulau Tagulandang.
“Memang ada rasa takut, mengingat rupa api dan hujan batu. Insyallah hanya sekali (terakhir) erupsinya. Allah pasti lindungi, Allah pasti tolong. Hanya itu yang menjadi kekuatan saya,” jelasnya.
Saat ini dia mengungsi di kediaman kerabatnya yang ada di Desa Balehumara. Menurutnya sulit apabila harus pergi dan menetap di Pos Pengungsian.
“Masalahnya ada kakak sepupu dan punya orang tua sudah lansia. Jadi sulit apabila harus bergabung (di pengungsian),” lanjutnya.
“Erupsi pertama kali kita mengungsi di desa yang dataran tinggi, tepatnya di kebun salak tetangga. Kita masak dan hidup di situ, karena kita tidak bisa balik ke rumah, untuk tidur dan lain-lain karena bocor, tidak bisa beraktivitas sama sekali,” sambungnya.
“Makanya warga hanya datang pagi-sore ke rumahnya untuk melihat gunung dan mengisi ulang baterai HP kasarnya, baru kemudian balik lagi naik ke pengungsian”.
Menurutnya perbedaan siginifikan sebelum dan sesudah erupsi adalah suasananya di wilayah pulau.
Jika setiap pagi ramai dan bisa saling tegur sapa dengan orang lain, kali ini hanya segelintir orang saja yang ada.
Saat ini dia menjadi relawan Dapur Umum yang berlokasi di Desa Baluhemara. Pada awalnya Dapur Umum hanya diisi para suami/ lelaki saja. Namun kini dengan tambahan Bu Nirmawati dan lainnya Dapur Umum menjadi lebih hidup.
“Awalnya kasihan melihat suami dan lelaki lainnya yang memasak, akhirnya saya ikut turut membantu bergabung di bagian Dapur Umum,” aku Nirmawati.
“Alhamdulillah ada kebahagiaan sendiri bisa membantu di sini, sekaligus memantau kondisi gunung. Kayak sebelumnya, saat saya belum bergabung di Dapur Umum, ada relawan yang datang mengantarkan makanan untuk saya dan keluarga, kali ini giliran saya yang membantu,” ucap Nirmawati dengan lantang.
Nirmawati berharap bahwa kondisi seperti ini cepat berlalu sehingga masyarakat bisa beraktivitas kembali dan desa kembali menjadi wilayah yang hidup serta ramai.
“Semoga aktivitas kita bisa kembali lagi, yang mengungsi di Manado atau Bitung atau pulang kampung ke mana, sudah bisa balik biar kita di sini bisa kumpul dan ramai lagi Tagulandang,” terangnya.
“Mengucapkan syukur dan terima kasih sudah datang serta membantu di Tagulandang,” tutup Nirmawati. (AFP/ DMC Dompet Dhuafa)