Simpan Pinjam Bencana Alam

Indonesia negara kepulauan yang kaya akan sumber daya alamnya. Terkhusus sumber daya alam maritim di mana lautan mengelilingi sepanjang wilayah Indonesia.

Indonesia memiliki 17.499 pulau dengan luas total wilayah Indonesia sekitar 7,81 juta km2 yang di antaranya 3,25 juta km2 adalah lautan sedangkan 2,55 juta km2 adalah Zona Ekonomi Ekslusif. Hanya seluas 2,01 juta km2 yang berupa daratan.

Dengan luasnya Indonesia, pada tahun 1972, tepatnya pada tanggal 2 Juli, diperingati sebagai Hari Kelautan Nasional. Hal ini dilakukan untuk mengapresiasi laut sebagai bagian kehidupan yang tak terpisahkan dari masyarakat Indonesia.

Mulai dari keanekaragaman hayatinya mampu menjadi sumber penghidupan masyarakat Indonesia. Baik yang tinggal di wilayah pesisir hingga kota-kota besar. Bahkan warga asal Desa Legung Timur, Madura memanfaatkan kekayaan alam laut, tepatnya pasir, menjadi sebuah tempat tidur yang nyaman.

Tanpa laut, manusia tidak akan mampu mengonsumsi ikan, yang khasiat akan kandungan proteinnya yang tinggi.

Tanpa laut manusia tidak akan mampu memproduksi garam yang mampu memberikan cita rasa kepada setiap masakan yang mereka buat.

Tanpa laut pula, manusia tidak akan memiliki jalur perdagangan dan memungkinkan adanya interaksi dengan masyarakat luar Indonesia.

Dengan banyaknya manfaat yang diterima oleh manusia dari laut, maka sudah sewajarnya manusia menjaga dan merawat laut itu sendiri sebagai keluarga yang senantiasa memberi dan mengasihi seluruh umat manusia.

Namun acapkali baik disengaja atau tidak disengaja beberapa aktivitas manusia justru membahayakan ekosistem laut.

Sebut saja produksi gas emisi rumah kaca yang dilakukan manusia. Gas emisi rumah kaca pada nantinya akan mempengaruhi lapisan atmosfer dan membuat pancaran sinar matahari ke bumi lebih panas daripada biasanya.

Sebuah penelitian mengungkapkan suhu planet yang menghangat akan mengubah 50 persen garis pantai.

Kondisi ini diperparah dengan aktivitas pemanfaatan pasir pantai yang berlebihan. Terlebih dengan adanya isu ekspor pasir pantai, hal ini akan memperburuk ekosistem dan hubungan antara lingkungan dengan manusia.

Meski dalam sebuah wawancara, pihak berwajib mengungkapkan bahwa pemanfaatan pasir pantai tersebut hanya meliputi pasir dari sedimentasi. Pemanfaatan pasir tersebut didasarkan kebutuhan untuk menyehatkan kembali ekosistem laut dari hasil sedimentasi  tersebut dan mendorong pembangunan.

Dampak buruk sedimentasi, salah satu di antaranya ialah berkurangnya habitat terumbu karang yang juga akan berimplikasi terhadap biodiversitas laut lainnya.

Namun tergantung dari jenis biodiversitas tersebut, dampak yang dirasakan bisa jadi berbeda-beda, sehingga dampak sedimentasi terhadap ekosistem laut sangatlah kompleks.

Di satu sisi, ketika sedimentasi pasir itu dilakukan, maka akan berdampak pada budi daya ikan yang dilakukan para nelayan.

Semua itu hanya segelintir contoh dari sekian banyaknya bahaya dari pemanfaatan pasir yang berlebihan.

Hal ini menambah rencana panjang untuk mengkaji kembali pemanfaatan pasir yang berlebihan bagi ekosistem laut.

Di sisi lain saat planet yang menghangat akan berdampak pada angin permukaan laut yang hingga membuat perubahan juga pada ketinggian gelombang dan debit laut di dunia.

Hal ini dapat terlihat dari sebuah alat/perangkat yang dimiliki Climate Central bernama  Coastal Risk Screening Tool yangmenunjukan peningkatan suhu sekitar 1,5 – 3 selsius akan berdampak pada ketinggian permukaan air dan menyebabkan banjir rob hingga menenggelamkan hampir setengah daratan Ibu Kota Indonesia, Jakata.

Saat banjir rob dahsyat terjadi, diperkirakaan dunia akan mendapatkan kerugian materi sebesar 14 triliun dollar Amerika setiap tahunnya pada tahun 2100.

Selain meningkatnya permukaan laut, aktivitas manusia yang menghasilkan gas emisi rumah kaca juga mempengaruhi tingkat keasaman laut.

Saat laut semakin asam maka dikhawatirkan akan juga mempengaruhi biodiversitas laut, salah satunya fitoplankton yang berperan besar dalam menghasilkan oksigen bagi manusia.

Ketika keasamaan laut meningkat tercatat sebagian fitoplankton akan bertumbuh cepat namun sementara jenis fitoplankton yang lemah akan mengalami kematian.

Hal serupa juga terjadi pada ikan, terdapat perubahan perilaku pada ikan yang berada di perairan dengan keasamaan yang tinggi, seperti indra penciuman dan sistem saraf mereka. Itu hanya sebagian kecil contoh dari besarnya dampak kadar asam terhadap ekosistem laut.

Ketika Alam Menjawab

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh DMC Dompet Dhuafa yang berjudul Slow Onset Disaster Adaptation (SODA): Diam-diam Tenggelam, Pemetaan Potensi Kehilangan Fasilitas Publik sebagai Dampak Perubahan Iklim di Kawasan Pesisir Pantura Jawa (2022) menunjukan seberapa besar dampak kerusakan apabila abrasi atau gelombang tinggi laut terjadi di wilayah Tangerang, Cirebon, Pati, Demak, dan Gresik. Kelimanya dipilih karena akan mengalami potensi kehilangan wilayah daratan yang luas pada 2030.

Metode penelitian ini dilakukan melalui permodelan yang ada di climatecentral.org yang dipadukan dengan data fasilitas publik yang terdapat di website masing-masing Pemerintah Kabupaten/Kota dan Google Earth.

Setelah itu, tim peneliti menghitung berapa jumlah fasilitas publik yang akan hilang/tenggelam karena dampak perubahan iklim.

Hasil atau temuan dari total lima wilayah Pantura akan kehilangan banyak fasilitas publiknya pada 2030 jika tidak ada upaya untuk melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Wilayah Tangerang akan kehilangan 54,5 persen, Cirebon akan kehilangan 46,4 persen, Demak akan kehilangan 20,2 persen, Pati akan kehilangan 4,8 persen, dan Gresik akan kehilangan 23 persen.

Dalam penelitan lain yang dilakukan Universitas Diponegoro yang berjudul Dampak Abrasi Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kecamatan Kedung, Jepara (2021) menunjukan seberapa besar dampak abrasi terhadap kehidupan masyarakat. Mulai dari berkurangnya pendapatan petani/nelayan tambak hingga hilangnya jalur transportasi penghubung desa yang terpisah oleh laut.

Dengan segala kenyataan yang ada di atas, ada baiknya manusia memikirkan kembali solusi terbaik dalam menghadapi bencana alam di wilayah pesisir laut dengan memasukan aspek-aspek mitigatif yang ramah lingkungan. Sehingga tidak terperangkap dalam semangat pembangunan dan solusi semu yang tidak ada titik jemu.

Manusia atau masyarakat sebagai penghuni muka bumi banyak memperoleh manfaat dari lingkungan hidup atau sumber daya alam di sekitarnya. Sudah seyogyanya manusia merawat, menjaga bahkan meningkatkan kualitas lingkungan hidup yang menjadi sumber penghidupan manusia itu sendiri.

Layaknya sebuah simpan pinjam, manusia senantiasa harus—secara sukarela atau tidak—menaruh perhatian lebih pada keberlangsungan lingkungan hidup. Dengan demikian, alam atau lingkungan hidup akan dengan sendirinya memberi kebermanfaatan bagi manusia.

Akan tetapi apabila manusia hanya terus-menerus melakukan “pinjaman” ke alam tanpa memberikan “simpanan” maka dipastikan tiadanya hubungan harmonis yang terjalin antara manusia dengan lingkungan hidup.

Bisa jadi mungkin alam lingkungan hidup akan meresponsnya dengan murka. Ketika itu sudah terjadi, manusia hanya bisa berdoa dan berharap: bahwa masing-masing diri mereka tidak jatuh dalam barisan korban bencana alam tersebut. Karena Bumi Cuma Satu, Berdaya Hadapi Bencana. (AFP/ DMC Dompet Dhuafa)