Kita baru saja menjalani momen panjang kekeringan yang terjadi nyaris selama setahun terakhir. Hujan yang jarang sekali terjadi, kemudian sulitnya air bersih hingga polusi udara yang disebabkan oleh emisi hasil pengolahan pabrik.
Semua indikator tersebut menjadi pertanda kalau krisis iklim memang benar-benar terjadi dan kita rasakan dampaknya dalam kehidupan. Mungkin kamu pernah juga melihat foto yang menampilkan beberapa bangunan di sekitaran pesisir pantai utara Jakarta yang perlahan mulai tenggelam.
Tanda-tanda yang semakin terlihat dalam keseharian ini menjadi sirine level bahaya krisis iklim dan bencana yang saat ini sedang berlangsung.
Menitikberatkan seluruh penyintas atau orang yang terdampak krisis iklim dan bencana memang menjadi tanggung jawab sepenuhnya bagi kita semua, namun apakah kamu sadar jika anak-anak merupakan Kelompok rentan yang sangat terdampak dari situasi yang semakin membahayakan ini. Kira-kira bagaimana kronologinya?
Berdasarkan laporan UNICEF berjudul ‘The Climate Crisis is Child Right Crisis’, krisis iklim dan kebencanaan yang terus menerus terjadi selama era pandemi hingga sekarang lebih dari sekedar isu iklim belaka, tetapi ada permasalahan seputar kehidupan anak-anak juga yang akhirnya terdampak.
Pertama, dibandingkan dengan orang dewasa yang secara fisik lebih siap menghadapi situasi bencana tertentu, anak-anak tidak demikian. Pada bencana seperti banjir contohnya, anak-anak secara fisik tidak mampu untuk melindungi tubuhnya sendiri dari bahaya yang tiba-tiba datang. Kemudian, ketika kekeringan melanda anak-anak pun tidak bisa mengamankan pasokan air dan makanan yang cukup karena mereka akan kalah secara fisik dibandingkan dengan orang yang lebih tua.
Kedua, saat krisis iklim dan bencana terjadi anak-anak adalah kelompok yang paling rentan menderita dan mengalami bahaya racun lingkungan yang sedang rusak. Misal, kita tahu periode usia anak-anak adalah tahap dimana organ-organ yang ada di dalam tubuhnya masih dalam proses bertumbuh. Ketika mereka terpapar timbal dan merkuri dari hasil pabrik hal itu akan berdampak pada level kecerdasan, penurunan IQ, hingga yang mengerikan adalah menciptakan disabilitas mental.
Ketiga, anak-anak adalah kelompok rentan yang paling berisiko terkena berbagai penyakit yang berkembang pada saat krisis iklim seperti malaria dan demam berdarah. UNICEF memperkirakan hampir sembilan puluh persen anak-anak dibawah usia lima tahun menderita penyakit yang disebabkan oleh kondisi perubahan iklim ini. Anak-anak ini berpotensi sekali menderita penyakit yang dihasilkan dari sungai-sungai tercemar pada saat banjir, atau saat sumber air sedang menyusut.
Tentu hal ini menjadi perhatian utama bagi siapapun yang terlibat dan punya peran penting untuk mengurangi resiko yang akan atau sudah dialami oleh anak-anak di tengah krisis iklim dan bencana yang terus menerus terjadi. Mulai dari pemerintah, aktivis, NGO, akademisi, hingga rakyat sipil harus mulai memperhatikan bagaimana keberlanjutan perkembangan kehidupan anak-anak kita yang sedang dihantui oleh berbagai bahaya krisis iklim dan bencana alam.
Mari rapatkan barisan untuk membantu memperkuat dan meningkatkan literasi serta kapasitas anak-anak di lingkungan kita, agar mereka bisa beranjak menjadi penggerak perubahan dalam berdaya hadapi bencana. (FZN/ DMC Dompet Dhuafa)