Campur Tangan Manusia Tidak Sebabkan Perubahan Iklim

Satu dari lima masyarakat Indonesia tidak percaya perubahan iklim terjadi. Survei yang dilakukan oleh YouGov pada tahun 2020 lalu menunjukan sebanyak 18 persen sampel masyarakat Indonesia tidak percaya perubahan iklim disebabkan campur tangan manusia, dan sebanyak 3 persen tidak percaya perubahan iklim benar-benar terjadi. Persentase ini merupakan yang tertinggi setelah Amerika Serikat, Mesir, Arab Saudi, dan Meksiko.

Sedangkan survei yang dilakukan oleh Purpose menunjukan 89 persen masyarakat sudah pernah mendengar tentang perubahan iklim. Masyarakat justru lebih familiar dengan istilah “paceklik” atau “pancaroba” dibanding “perubahan iklim” atau “krisis iklim”. Survei ini dilakukan terhadap 2.073 responden di provinsi-provinsi Indonesia Barat dan Tengah dengan kombinasi wawancara tatap muka dan daring pada semester pertama 2021.

Purpose lebih jauh menjelaskan, tingkat pemahaman masyarakat tentang perubahan iklim didapat berdasarkan informasi yang disampaikan oleh berbagai sumber. Namun tertinggi pertama sumber tersebut berasal dari pemuka agama yakni 35 persen, kemudian diikuti ilmuwan sebanyak 34 persen, dan media sebanyak 31 persen.

Sehingga tidak wajar apabila sebanyak 75 persen masyarakat Indonesia mengira bahwa bencana alam adalah hukuman dari Tuhan dan 86 persen masyarakat menjaga lingkungan merupakan perintah agama lalu 91 persen sampel percaya bahwa alam lingkungan merupakan ciptaan Tuhan serta kita memiliki tanggung jawab untuk merawatnya.

Dengan tingkat kesadaran masyarakat tentang perubahan iklim sudah diketahui atau setidaknya didengar, masyarakat Indonesia sulit untuk mengubah perilaku ke arah yang lebih ramah lingkungan. Sebanyak 25 persen mengatakan tidak ada informasi yang cukup tentang apa yang harus dilakukan terkait perubahan iklim, lalu 25 persen menjawab ada hal lain yang sudah menyita waktu responden untuk memikirkan perubahan iklim. Kemudian ada 10 persen tidak bersedia dikaitkan dengan topik perubahan iklim, dan 8 persen masyarakat tidak percaya akan sains.

Hal serupa juga diutarakan dalam survei yang dilakukan Yayasan Indonesia Cerah dan Indikator Politik Indonesia, menemukan generasi Z (17-26 tahun) dengan besaran persentase 85 dan milenial (27-35 tahun) sebesar 79 persen mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap isu krisis atau perubahan iklim.

Lebih jauh dijelaskan juga responden ketika mendengar perubahan iklim maka akan terjadi perubahan yang besar terhadap kondisi alam lingkungan yakni 78 persen dan 10 persen menganggap perubahan iklim akan menyebabkan bencana alam.

Tingkat kepedulian mereka terhadap isu lingkungan juga cukup besar yakni sebesar 52 persen setelah tingkat kepedulian terhadap masalah korupsi yang sebanyak 64 persen. Kemudian disusul isu kesehatan 43 persen, polusi 42 persen, menghilangnya nilai-nilai budaya tradisional 36 persen, 36 persen tentang isu pekerjaan, dan perubahan iklim sebesar 34 persen.

Pembangunan Belum Berparadigma Ramah Lingkungan

Indonesia belum memiliki komitmen dan program yang serius dalam menangani isu perubahan iklim. Sebut contoh saja, apa yang terjadi di Desa Wadas. Sebut saja pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo. Bendungan Bener rencananya akan memiliki kapasitas 100,94 meter kubik. Dengan kapasitas tersebut, bendungan ini dapat mengairi lahan seluas 15.069 hektare dan mengurangi debit banjir hingga 210 meter kubik per detik. Bendungan ini juga dapat menyediakan pasokan air baku hingga 1,60 meter per detik, serta menghasilkan listrik sebesar 6 MW.

Namun pembangunan Bendungan Bener ini dapat terealisasi dengan bantuan material tambang berupa batuan andesit. Bahwa untuk mendapatkan batuan andesit akan dilakukan penambangan di lahan Desa Wadas yang akan dikeruk mencapai 145 hektar.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Asep Komaruddin melihat hal ini akan memperburuk kondisi masyarakat sekitar dan ekosistem lingkungan hidup sekitar. Pasalnya Kecamatan Bener termasuk dalam salah satu wilayah rawan bencana tanah longsor dan kekeringan. Hal ini juga pada akhirnya akan merugikan perkebunan dan lahan pertanian warga sekitar.

“Di samping itu berdasarkan Pasal 42 huruf c Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2011 tentang Tata Rencana dan Tata Ruang Wilayah (RTRW) wilayah Kecamatan Bener merupakan kawasan bencana tanah longsor,” jelasnya dikutip dalam Kompas.

“Artinya ketika terjadi penambangan batuan di Desa Wadas yang merupakan area perbukitan, maka potensi kekeringan akan meningkat,” tambahnya.

Perubahan iklim akan memperburuk kondisi kekeringan. Hal ini dikarenakan kenaikan suhu bumi akan mempengaruhi berbagai aspek pada perubahan alam dan kehidupan manusia, seperti kualitas dan kuantitas air, habitat, hutan, kesehatan, lahan pertanian dan ekosistem wilayah pesisir. Sebut saja beberapa dampaknya selain berkurangnya pasokan air bersih juga rusaknya habitat lingkungan fisik, punahnya spesies, meningkatnya wabah penyakit, menurunnya produktivitas tanah pertanian dan lain-lain.

Melihat kenyataan di atas warga Desa Wadas melakukan gerakan aksi protes. Secara massif turut berpartisipasi dalam menyampaikan aspirasi mereka terhadap pemerintah.

Erica Chenoweth seorang professor kebijakan public dari Universitas Harvard AS mengatakan bahwa kemungkinan suatu gerakan aksi atau penyampaian aspirasi (perlawanan nirkekerasan) dapat berhasil apabila dengan melibatkan setidaknya 3,5 persen dari total populasi suatu negara. Hal ini juga diperkuat dengan konsisten terus-menerus melakukan gerakan aksi, namun dengan kehati-hatian agar jangan sampai gerakan ini menjadi bersifat seremonial atau transaksional. Dengan tambahan harus melibatkan banyak jaringan komunitas partisipan yang berasal dari kalangan akar rumput.

Contoh gerakan aksi perubahan iklim yang cukup besar terjadi pada 2019 silam, atau kerap disebut Friday for Future ketika diperkiraan 185 negara turut serta dalam gerakan ini. Dengan perkiraan enam juta partisipan turut meramaikan gerakan ini. Namun gerakan ini belum bisa dikatakan berhasil mempengaruhi kebijakan masing-masing negara dalam memenuhi tuntutan isu perubahan iklim. Terutama di Indonesia sendiri meski juga turut serta dalam gerakan.

“Ada yang melihat gerakan ini belum menyasar tuntutannya kepada pihak yang lebih pasti. “Gerakan aksi pelajar tersebut mungkin tidak mengganggu pemerintah atau perusahaan bahan bakar fosil. Beban jatuh pada guru yang harus memikirkan apa hal yang harus dilakukan untuk menebus waktu kegiatan belajar mengajar yang telah hilang,”tulis Forbes.

Dicontohkan gerakan aksi bisa menyasar pihak universitas dengan mengungkapkan jejak karbon mereka setiap tahun, termasuk jejak fakultas (seperti penulis artikel ini) yang terbang secara nasional dan internasional untuk menghadiri konferensi, memberikan kuliah, dan sebagainya. Ambil contoh United Students Against Sweatshops, yang memimpin secara sukses kampanye di seluruh kampus yang menuntut agar universitas tidak bekerja sama dengan perusahaan pakaian dan perlengkapan olahraga yang membeli produk dari pabrik yang eksploitatif (sweatshop). Kampanye ini berhasil memaksa universitas untuk bertindak (walaupun awalnya mereka tidak bersedia, mengingat royalti yang mereka terima dari perusahaan-perusahaan ini) dan akhirnya memaksa perusahaan pakaian dan peralatan olahraga untuk memantau praktik kerja mereka dari luar negeri.

Besar Empati Sulit Aksi

Dalam tren Kampanye Perubahan Iklim di Indonesia yang dihimpun Change.org melihat Lebih dari setengah petisi terkait perubahan iklim di Change.org Indonesia menangani isu-isu yang berdampak terhadap negara Indonesia di skala nasional yakni 61 persen.

Lebih jauh dijelaskan dalam laporan tersebut sebanyak 60 persen dari semua petisi terkait perubahan iklim menentang rencana pemerintah yang berdampak besar terhadap lingkungan (mis. deforestasi) atau meminta pemerintah agar membuat kebijakan progresif terkait perlindungan lingkungan dan mitigasi perubahan iklim (mis. pengurangan limbah plastik).

Masih dalam laporan tersebut, jumlah tanda tangan yang diberikan untuk petisi lingkungan meningkat setiap tahun dan mencapai puncaknya pada tahun 2019 dengan 3,6 juta tanda tangan. Pada tahun 2018, isu lingkungan mulai menjadi perhatian utama masyarakat Indonesia. Hal ini menunjukan peningkatan tanda tangan sebanyak hampir 20 kali lipat untuk petisi lingkungan dibanding tahun sebelumnya, yakni dari 118.000 tanda tangan pada tahun 2017 menjadi 2,1 juta tanda tangan pada tahun 2018.

Petisi terkait lingkungan telah mengumpulkan sebanyak 21 persen semua tanda tangan dari lima isu teratas selama tahun 2015–2020. Sebanyak 9,2 juta tanda tangan di seluruh total kategori kampanye perubahan iklim, 70 persen tentang deforestasi, 15 persen plastic, 8 persen batu bara, dan 6 persen limbah.

Hal ini bisa terjadi akibat pertumbuhan pengguna internet yang meningkat di Indonesia. Jika tahun lalu Indonesia berada di peringkat ketiga setelah China dan India, kali Indonesia sudah melewati kedua negara tersebut dalam jumlah pengguna internet.

Dalam DataReportal yang dibuat oleh Simon Kemp dan Kepios, ada 204,7 juta pengguna internet di Indonesia pada Januari 2022. Tingkat penetrasi internet Indonesia mencapai 73,7 persen dari total populasi pada awal tahun 2022. Lebih jauh analisis Kepios menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia meningkat sebesar 2,1 juta (+1,0 persen) antara tahun 2021 dan 2022.

Lebih jauh dalam laporan yang sama dijelaskan masyarakat Indonesia merupakan termasuk dalam pengguna internet terlama setelah Mexico yakni berada di peringkat sembilan dengan total 8 jam sehari akses internet dalam segala perangkat. Lalu Indonesia berada di peringkat delapan yang mengakses internet di perangkat telepon genggam dengan waktu lama 5 jam sehari. Alasan mencari informasi menjadi sebab utama menghabiskan waktu di internet, kemudian jalin silaturahmi dengan keluarga dan teman, serta mencari berita terbaru.

Masih dalam laporan yang sama, ada 191,4 juta pengguna media sosial di Indonesia pada Januari 2022. Jumlah pengguna media sosial di Indonesia pada awal tahun 2022 setara dengan 68,9 persen dari total penduduk. Angka ini lebih tinggi ketimbang China dan India. Analisis Kepios mengungkapkan bahwa pengguna media sosial di Indonesia meningkat 21 juta (+12,6 persen) antara tahun 2021 dan 2022. Penduduk Indonesia menghabiskan waktu 3 jam setiap harinya di media sosial. Alasan tertinggi masyarakat Indonesia menghabiskan waktu di media sosial ialah jalin silaturahmi dengan keluarga dan teman (47,6 persen), menghabiskan waktu senggang (36,3 persen), dan mencari berita (35,1 persen).

Dengan tingginya pengguna dan lama waktu mengakses internet serta besarnya kepedulian terhadap isu perubahan iklim di internet, Indonesia masih minim partisipasi dalam aksi konkrit isu perubahan iklim. Sebagaimana yang terlihat dalam gerakan aksi perubahan iklim pada tahun 2019 yang digencarkan di seluruh dunia.

Beda Prioritas

Salah satu alasan minimnya aksi protes bisa ditemukan bahwa 8 persen masyarakat Indonesia tidak mempercayai sains atas penjelasan perubahan iklim. Masyarakat Indonesia lebih melihat bahwa perubahan iklim dan dampak kehancuran yang dibawanya merupakan hukuman dari Yang Maha Kuasa 75 persen. Namun riset yang dilakukan BBC Media Action pada tahun 2016 lalu menemukan hambatan masyarakat Indonesia dalam menanggulangi perubahan iklim karena butuh bantuan pemerintah (83 persen), tidak cukup sumber daya (70 persen), ada prioritas lain (53 persen), tidak tahu bagaimana meresponnya (50 persen), dan tidak ada sumber informasi (50 persen).

Kemudian pada tahun 2020, BBC Media Action kembali melakukan riset yang sama tentang persepsi public atas perubahan iklim di Indonesia. Menemukan bahwa masyarakat terbatasi untuk ikut terlibat dalam gerakan aksi peduli lingkungan karena 53 persen responden mengatakan kurangnya waktu luang sebagai hambatan berpartisipasi, diikuti dengan kurangnya uang (49 persen), kurangnya pengetahuan yang memadai (48 persen), pengaruh lingkungan sekitar (46 persen), kurangnya rasa percaya bahwa aksi mereka akan berdampak (42 persen), risiko yang tinggi (39 persen), serta merasa tidak tertarik dengan isunya (37 persen).

“Meski aksi di Indonesia sudah tumbuh, tapi skalanya belum terbilang besar. Sejauh ini, jumlah partisipasi tertinggi ada di negara-negara Barat yaitu Jerman yang diikuti oleh 1,4 juta orang, Australia yang diikuti 300.000 orang, dan New York yang diikuti 250.000 orang. Masifnya gerakan Fridays for Future yang merebak di belahan bumi barat sulit untuk direplikasi di Indonesia,”tulis Anastasya Lavenia dalam Remotivi.

Perlu diketahui bahwa dalam menanggulangi perubahan iklim dibutuhkan keikutsertaan dan rasa kepemilikan yang tinggi atas bumiputera Indonesia. Dengan ragamnya alasan yang ada untuk tidak ikut serta dalam aksi peduli lingkungan akan menambah rekam jejak kosong terhadap riwayat kepeduliaan lingkungan di Indonesia. Bahkan stakeholder seperti perusahaan atau proses kerja bisnis bertanggung jawab atas menjaga lingkungan tetap ramah dan kendali. Secara keseluruhan, 43 persen orang Indonesia percaya bahwa bisnis memiliki tanggung jawab untuk memastikan rantai pasokan mereka tidak merusak lingkungan.

Dibandingkan dengan kawasan yang lebih luas, kemungkinan orang Indonesia untuk percaya bahwa bisnis memiliki tanggung jawab untuk memastikan rantai pasokan mereka tidak membahayakan lingkungan lebih kecil. Di seluruh Asia Pasifik (APAC), setengah dari konsumen (50%) percaya bahwa bisnis mengemban tanggung jawab seperti itu. Angka ini meningkat hampir dua pertiga (63%) di antara warga Filipina, tertinggi di kawasan, dan jatuh ke empat di antara sepuluh (42%) di Thailand, terendah di kawasa

“Bagi semua yang terlibat dalam gerakan mengatasi perubahan iklim, selain diskusi publik, aksi nyata tetap diperlukan agar media sosial tidak hanya menjadi ruang publik semu yang menghasilkan clicktivist (suatu aktivisme di media baru berupa klik semata tanpa terwujud dalam aktivisme di masyarakat yang memiliki dampak sosial dan lingkungan),”tulis Angga Ariestya dalam The Conversation (AFP/DMC Dompet Dhuafa).

Fotografer: Juli Haryadi