Gunungkidul, D.I. Yogyakarta—Bu Tarkiyem tinggal seorang diri di rumahnya. Keheningan menemani hari-harinya lebih dekat dari siapapun dan apapun. Atau bila ada yang lebih akrab dengan dirinya daripada itu semua, mungkin itu adalah krisis air yang terus melanda Gunungkidul, tempat di mana ia lahir dan hidup di masa tuanya.
Bu Tarkiyem ialah warga Desa Jurangjero, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ia bercerita bagaimana kampung halamannya selalu dilanda kekeringan saat musim kemarau tiba.
Kekeringan yang menjadi kesulitan bagi warga Desa Jurangjero, termasuk dirinya, dalam beraktivitas sehari-hari.
Kini kemarau itu hadir lebih awal dan panjang. Membuat kesulitan itu seperti derita tanpa ujung.
“Saya lupa kapan terakhir di sini hujan. Sudah berbulan-bulan (tidak ada hujan),” kata Bu Tarkiyem.
Tidak seberuntung orang lain, ia tidak memiliki saluran air PDAM (meski di desa ini air dari PDAM seringkali tersendat dan tak banyak membantu) yang bisa masuk ke dalam rumahnya.
Kamar mandi di rumahnya tidak ada keran air. Ia hanya mengandalkan sumur galian yang ada di belakang rumahnya.
Namun kini sumur itu tidak lagi mengeluarkan air. Fungsinya sekarang hanya untuk menadah air hujan yang turun. Namun, air dari sumur itu hanya ia gunakan untuk menyiram tanaman sayur yang ia tanam di lahan kecilnya di belakang rumah. Tidak untuk ia konsumsi.
“Untuk saya kasih ke ayam-ayam saya saja tidak. Takut sakit. Soalnya airnya kotor,” kata Bu tarkiyem.
Dulu sekali di Desa Jurangjero, menurut Bu Tarkiyem, masih banyak sumber-sumber air bersih yang bisa diandalkan warga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ketika musim kemarau tiba.
Salah satunya sumur di samping ladang pertanian desa. Sumur besar itu selalu menyimpan air tanah, dan hujan. Untuk kebutuhan mandi, memasak, dan lain-lain, Bu Tarkiyem selalu mengambil air dari sana.
Terhitung sejak tahun 2010, seperti sumber-sumber air lainnya di desa tersebut, sumur itu berangsur-angsur surut. Air yang keluar hanya sedikit. Sementara tak ada lagi air hujan yang bisa ditampung karena curah hujan di Gunungkidul menurun.
Bu Tarkiyem sempat meninggalkan desanya di tahun 1994 untuk merantau ke Jakarta. 26 tahun ia menetap di Jakarta, bekerja sebagai asisten rumah tangga.
“Lama saya di Jakarta. Pas virus corona pertama itu saya pulang ke sini. Tapi kalau suami saya nggak sakit, saya nggak akan pulang,” ujar Bu Tarkiyem.
Sekembalinya ke Gunungkidul, tidak banyak hal yang berubah. Kondisi air di sini saat kemarau masih sama. Keterbatasan air masih menjadi gangguan yang tak bergerak ke arah yang baik.
“Saya sekarang hanya bisa dapat air dari sumber air jauh di sana,” Bu Tarkiyem sembari menunjuk ke arah sawah.
“Kalau dari sini sekitar 6 kilo. Saya enggak ambil sendiri. Biasanya anak saya yang ambil, setiap sore dia datang bawa derijen. Nanti saya tampung di ember-ember di kamar mandi.”
“Kalau anak saya tidak datang ke rumah, tandanya air lagi kering,” lanjut Bu Tarkiyem.
Air yang ada untuk memenuhi kebutuhannya mandi, masak dan minum, serba cukup. Itu pun Bu Tarkiyem perlu mengirit. Mandi hanya sekali sehari, pada sore hari saja. Yang penting menurutnya ada air untuk minum dan berwudhu untuk shalat.
Usia Bu Tarkiyem tahun ini sudah 60 tahun. Tidak banyak yang ia lakukan. Ia tidak punya sawah untuk berladang. Yang bisa ia lakukan hanya mengelola tanah sempit di belakang rumahnya untuk ditanam sayuran untuk ia jadikan bahan makanan sehari-hari. Tidak banyak, tetapi cukup untuk sekadar membuat badan tetap tegak.
“Kalau ayam-ayam ini hanya untuk saya pelihara. Kalau saya kepepet butuh uang saya jual. Yang kecil 15 ribu, yang besar bisa 80 ribu,” Kata Bu Tarkiyem.
“Untuk saya potong ayam saya untuk makan saya sendiri, saya enggak mau. Enggak tega. Dan saya juga berharap enggak sampai dijual,” lanjutnya.
Suaminya yang bekerja di Jakarta rutin mengirimkan Bu Tarkiyem uang. Selain itu, untuk menambah simpanan uang, setidaknya untuk lebih leluasa dalam membeli beras, minyak goreng, telur dan bahan-bahan bumbu dapur lainnya ia bekerja di ladang milik tetangganya.
“Kalau ada kerja di sawah ketika musim panen, saya ikut kerja. Upahnya beras itu. Kalau tandur saya diupah uang. Tapi sekarang enggak ada. Sawah pada kering. Tetangga saya yang punya ladang juga gagal panen,” ujar Bu Tarkiyem.
Selanjutnya Bu Tarkiyem bercerita banyak tentang kekeringan yang membuat hidup para petani di desa serba sulit. Seperti dirinya yang bergantung hidup pada kegiatan bercocok tanam, krisis air ini menjadi bencana.
Mayoritas warga Desa Jurangjero ialah petani. Ketika kemarau panjang terjadi tidak banyak air yang dapat mengalir ke setiap petak-petak sawah. Sawah menjadi tandus. Memilih tetap menanam benih saat hujan mulai jarang turun, seperti upaya menjaring angin, sia-sia.
Kondisi-kondisi ini membuat sebagian pemuda desa pergi bekerja di luar kota. Mencoba peruntungan nasib di luar desa. Bergantung pada pekerjaan informal yang sebetulnya juga serba rentan.
Awal bulan September ini wajah Bu Tarkiyem tampak ceria. Alasannya, air kini sudah mengalir ke rumahnya.
Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa pada 29 Agustus 2024 melakukan instalasi pipa di Dusun Jurangjero untuk mengaliri air dari sumur bor umum ke rumah-rumah warga. Rumah Bu Tarkiyem salah satu yang dilewati pipa air ini.
Upaya ini dilakukan untuk menjaga ketersediaan air tetap ada bagi setiap warga.
“Sekarang lebih baik karena ada bantuan air dari DMC, ya. Saya ucapkan banyak terima kasih sekali,” ucap Bu Tarkiyem penuh rasa haru.
Kawan Baik, kebutuhan akan air bagi manusia tidak bisa ditawar-tawar. Keberadaannya menghidupi setiap makhluk yang hidup. Maka dari itu, air seringkali menjadi penanda kehidupan.
Semoga Bu Tarkiyem dan warga Dusun Jurangjero kini tak lagi kekurangan air.
Sebab, di daerah yang seringkali ditelan keheningan ini, air bukan hanya soal kebutuhan dasar, tetapi juga tentang bertahannya harapan dan kehidupan. Dan di setiap tetes air yang mengalir ke rumah-rumah, tersimpan doa-doa yang mengharapkan kekeringan tak lagi menjadi bagian dari cerita masa depan. Karena Bumi Cuma Satu, Berdaya Sekarang. (MAA/DMC Dompet Dhuafa)