Dua Sisi Pegiat Kemanusiaan yang Jarang Diperhatikan Khalayak

Relawan dan aktivis seringkali disejajarkan satu sama lain. Meski memiliki diksi yang berbeda, tetapi mereka memiliki semangat yang sama: berharap menciptakan kondisi kehidupan yang lebih baik bagi orang lain. Mereka bisa diibaratkan sebagai dua sisi keping koin.

Peran aktivis dalam aksinya dapat dilihat di sejarah singkat yang terjadi, sebut saja Reformasi Protestan (1512), Pesta Teh Boston (1773), Penyerbuan Bastille (1789), Revolusi Haiti (1791), Pemberontakan Spartacus (1919), Pemberontakan Nat Turner (1931), Pawai Garam Gandhi (1930), Revolusi Hongaria (1956), Unjuk rasa keterlibatan AS atas perang Vietnam (1967), Kerusuhan Stonewall (1969) , Unjuk Rasa Tiananmen (1989), dan masih banyak lagi.

Sedangkan kerelawanan dilihat lebih jauh lagi yakni pada abad pertengahan, ketika agama memainkan peran yang besar dalam memberikan pertolongan bagi orang yang membutuhkan. Perkiraan tidak kurang dari 500 rumah sakit sukarela didirikan di Inggris selama abad ke-12 dan ke-13.

Menurut Jordan (2002; 27) alasan munculnya gerakan aktivis karena :pertama, munculnya masyarakat industri disertai dengan berbagai gerakan sosial yang menangani sejumlah masalah isu. Contoh paling jelas adalah gerakan buruh, gerakan Suffragettes, gerakan anti-perbudakan dan gerakan melawan otokrasi untuk masyarakat demokratis. Kedua, kondisi sosial dan budaya ini mulai diwejantahkan melalui bidang ekonomi dan relasi status sosial. Hal ini dapat dilihat dari Revolusi Bolshevik. Ketiga, pada tahun 1960-an, kondisi ini mulai rusak, dan muncul kembali banyak gerakan sosial, yang sering disebut ‘gerakan sosial baru’.

Megan E. Gilster salah seorang Associate Professor di University of Iowa School of Social Work melihat bahwa aktivis berusaha untuk menciptakan perubahan di lingkungan, komunitas, atau tingkat global. Aktivis melihat struktur sosial sebagai target intervensi pergerakan. Relawan, di sisi lain, berusaha memberikan layanan melalui organisasi formal.

Masih dalam Megan bahwa menjadi relawan mampu memberikan kebermanfaatan kesejahteraan psikologis individu (Wilson, 2000), dan mampu memberikan perasaan kebahagiaan, kepuasan hidup, harga diri, kepakaran, dan kesehatan fisik untuk menangkal perasaan depresi (Thoits & Hewitt, 2001).

Megan lebih jauh menjelaskan aktivis berorientasi pada politik dan perubahan sosial sedangkan relawan berorientasi pada penyediaan layanan—relawan menjauhkan diri dari konotasi politik aktivisme. Tentu saja, garis antara aktivisme dan kesukarelawan menjadi kabur: seringkali aktivis melakukan pekerjaan sukarela dan relawan menjadi aktivis.

Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa sebagai lembaga kemanusiaan yang bergerak di bidang penanggulangan bencana alam dan bencana kemanusiaan sangat terbuka atas kesempata masyarakat yang tertarik menjadi relawan DMC Dompet Dhuafa. Dalam setiap aksi program-programnya, selalu melibatkan relawan yang berasal dari masyarakat Indonesia. DMC Dompet Dhuafa percaya dengan melibatkan relawan maka kesinambungan antara program-program kemanusiaan dengan penerima manfaat dapat terealisasi, tepat sasaran, dan bermanfaat luas.

Lihat saja ketika DMC Dompet Dhuafa melakukan respons bencana awan panas guguran (APG) Semeru (2021), respons gempa bumi Pasaman Barat (2022), respons gempa bumi Cianjur (2022), respons erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki (2024), banjir Demak (2024) dan beberapa respons lainnnya yang tidak bisa disebutkan. Para relawan, mereka turut membantu dan menyuarakan tentang kondisi terdampak penyintas hingga mengantarkan berbagai lembaga, kelompok, dan individu tergerak membantu penanganan kebutuhan penyintas di sana. Sehingga selain menjadi relawan mereka juga aktivis sekaligus.

Dalam kajian pustaka yang dilakukan oleh George dan Leidner (2019) mencoba melakukan interpretasi ulang atas beberapa konsep istilah yang berkaitan aktivisme dahulu dan coba menerapkan di kehidupan yang lebih modern, yakni di era digital. Sehingga muncul dikotomi aktivisme tradisional dan aktivisme digital.

Ada lima indikator perbedaan aktivisme tradisional dan aktivisme digital, yakni jumlah partisipan, usia partisipan, indikator kesuksesan aktivisme, cara aktivis saling terhubung, dan dampak terhadap kelompok marjinal (George dan Leidner, 2019: 7-8).

Dalam aktivisme tradisional, semakin besar partisipan maka semakin baik hal ini juga sejalan dengan semakin variatifnya usia yang tergabung dalam suatu gerakan aktivisme. Keberhasilan suatu aktivisme ditentukan dari isu atau kampanye yang terletak di usaham kelayakan, kesatuan, jumlah peserta, komitmen dan sumber daya. Mereka saling terhubung melalui pertemuan, demonstrasi, pos surat dan tabel informasi. Kurang bisa mengekspos atau membawa kelompok-kelompok marjinal karena minimnya sumber daya yang dimiliki kelompok marjinal (George dan Leidner, 2019: 8).

Sedangkan aktivisme digital, cenderung terdiri dari jumlah peserta partisipan yang sedikit namun dengan berlimpahnya sumber daya digital. Sebagian besar partisipan merupakan usia muda yang bisa mengoperasikan kemahiran teknologi. Indicator kesuksesan terletak di kemampuan beradaptasi dengan perkembangan digital internet dan jaringan sosial yang lebih luas. Mereka saling terhubung melalui media sosial, laman, pesan elektronik, digital platform, dan lainnya. Dampak terhadap kelompok marjinal cukup besar karena mampu menampung dan mengangkat suara-suara yang terpinggirkan. Namun kesenjangan dalam memproduksi konten digital masih ada antara aktivis dan kelompok marjinal (George dan Leidner, 2019: 8).

Dalam aktivisme tradisional seseorang atau audiens masyarakat berubah menjadi seorang aktivis dapat dilihat di piramda yang diusung oleh Milbrath (1965). Bagian terbawah piramida merupakan bagian audiens masyarakat yang diidentikan terekspos atas arus perpolitikan, memulai terlibat dalam diskusi politik, kemudian mulai mengajak yang lain turut bergabung, hingga mulai mengenakan seragam atau simbol dalam kehidupan sehari-hari.

Bagian tengah piramida tercirikan dengan mulai adanya kontak komunikasi dengan pejabat atau pemimpin politik, turut serta dalam pertemuan politik, dan melakukan kontribusi finansial. Hingga bagian teratas piramida diisi dengan rela meluangkan waktunya dalam kampanye politik, menjadi anggota aktif suatu partai atau kelompok, menghadiri pertemuan strategis, merumuskan alur pendanaan politik, terakhir menjadi kandidat atau pemangku jabatan (George dan Leidner, 2019: 9).

George dan Leidner (2019: 10) menggunakan piramida ini untuk menjelaskan aktivisme di era digital. Pertama di piramida bagian bawah, audiens masyarakat mula-mula akan menyukai, mendukung, atau mengikuti suatu konten yang seusai dengan topik yang diminatinya (clicktivism). Setelah itu mereka akan melakukan menyebarkan topik tersebut ke kolega, teman atau keluarganya (metavoicing), hingga membuat konten yang sesuai dengan topik diminati (assertion).

Kemudian mereka akan memasuki tahap transisi di piramida bagian tengah yang diidentikan konsumerisme politik, yakni bentuk kegiatan konsumsi barang dan jasa yang selaras dengan minat topik si audiens melalui perangkat teknologi. Lalu turut serta dalam petisi daring secara resmi, dan menjadi aktivis virtual  atau menjadi robot (botivism)yang sering menyuarakan aspirasi melalui platform media sosial. Hingga kemudian mencari pendanaan untuk menunjang suatu aspirasi pergerakan melalui perangkat teknologi (George dan Leidner, 2019: 12).

Terakhir di piramida teratas masyarakat di era aktivisme digital akan menjadi aktivisme data, yakni menyajikan fakta berbasis data-data dari berbagai sumber. Lalu mereka akan melakukan pembongkaran data atas informasi rahasia yang jarang diketahui publik. Terakhir mereka akan meretas (hacktivism) data-data yang lebih massif yang menyerang berbagai pihak, mulai dari pemerintah, organisasi atau individu tertentu (George dan Leidner, 2019: 14).

Sedangkan relawan, terutama relawan kebencanaan (Phillips, 2020: 3) dapat dilacak ketika banjir yang terjadi di Johnstown, Pennsylvania (AS) tahun 1889 merupakan upaya sukarelawan bencana pertama yang terdokumentasi (Dynes, 2003; FEMA, 1999; McCullough, 1987). Relawan palang merah membantu ribuan korban banjir Johnstown dengan memberi makanan, pertolong pertama, tempat pengungsian, dan semangat. Sebelas tahun kemudian, enam ribu penduduk Galveston, Texas tewas dalam badai dahsyat yang menghancurkan pantai AS, Palang Merah datang lagi, bersama dengan Salvation Army (Larson, 2000).  Pada tahun 1906, gempa berkekuatan 7,8 Richter mengguncang San Francisco, menyebabkan bangunan runtuh dan kebakaran yang meluas. Puluhan organisasi sukarelawan tiba termasuk Palang Merah, Salvation Army, Volunteers of America, dan tentara Amerika (FEMA, 1999).

Melihat ke belakang, jelas bahwa bencana skala besar telah mengubah cara organisasi sukarela mengelola relawan (Phillips, 2020: 4). Setelah badai Camille menghancurkan Pantai Teluk AS pada tahun 1969, organisasi yang tiba membentuk National Voluntary Organizations Active in Disaster (NVOAD) di AS untuk mengoordinasikan jumlah pemilih. Gerakan NVOAD menyebar ke negara bagian dan lokal, di mana organisasi sukarela dapat melatih, berjejaring, dan menggunakan sumber daya dengan bijak. Organisasi sukarela mulai mengkhususkan diri dalam bidang tertentu, seperti United Methodist Committee on Relief (UMCOR) yang berfokus pada manajemen kasus atau Seventh Day Adventists yang mendukung pendanaan donasi gudang. Upaya tersebut meningkatkan partisipasi relawan dan memberikan dasar yang kuat untuk distribusi upaya layanan yang lebih efisien.

Masyarakat juga ada kecenderungan menjadi relawan akibat tidak bisa menyalurkan bakat dan minat di posisinya saat ini, entah itu tempat kerja, pendidikan, keagamaan dan lainnya. “Ada kecenderungan dalam suatu organisasi professional mungkin menekan individu untuk berperilaku yang humanistik terhadap orang-orang yang memang membutuhkan (Jedlicka, 1990: 5).

Atas dasar itu, DMC Dompet Dhuafa terbuka bagi siapa saja yang tertarik bergabung menjadi relawan kemanusiaan DMC Dompet Dhuafa. Caranya cukup yakni menghubungi media sosial DMC Dompet Dhuafa Linkedin: Disaster Management Center Dompet Dhuafa, Instagram: dmcdompetdhuafa, Facebook: dmcdompetdhuafa.offical, Twitter: dmcddofficial, Youtube: DMC Dompet Dhuafa, dan Tiktok: dmcdompetdhuafa . Bisa juga teman-teman membuka tautan berikut Relawan – Disaster Management Center Dompet Dhuafa.

Selain itu DMC Dompet Dhuafa membuka kampanye kemanusiaan yang terdiri dari empat kampanye, Tas Siaga Yatim, Air untuk Kehidupan, Indonesia Siap Siaga, dan Jembatan Kehidupan. Melalui kampanye tersebut masyarakat bisa turut serta dalam aksi kebaikan demi membantu masyarakat dhuafa di bidang kebencanaan dan lingkungan.

“Kaum militan maupun para aktivis jelas adalah juga relawan. Tapi, yang berbeda dari relawan, mereka merupakan anggota partai. Sedangkan relawan, selain bukan anggota partai, memang tidak mengacukan kegiatannya kepada ideologi partai, melainkan kepada ideologi dalam pengertian yang lebih luas, dengan ideologi partai tercakup di dalamnya. Ini berarti, meskipun relawan tidak merupakan anggota partai, sebetulnya lebih radikal karena keterikatan ideologisnya berada di atas kepentingan partai,”tulis Seno Gumira dalam Tempo. (Tulis: AFP/ DMC Dompet Dhuafa/ Foto: DD Jateng)