Halmahera Tengah, Maluku Utara—Di bawah teriknya matahari siang langit Halmahera Tengah, Yon berdiri di atas ladangnya yang hancur diporak-porandakan banjir. Ia menunjukkan tangkai-tangkai tanaman yang patah dan merunduk miring ke arah timur, arah aliran banjir mengalir.
Tidak lama, Yon mengangkat sebuah batang pohon pisang yang rusak, lalu berceloteh sebelum melepaskan tawa yang membuat matanya menyipit kecil, ”Saya tanam juga pisang raja, tapi setelah banjir ada, namanya berganti jadi raja penderitaan,” ujar Yon Ifnanto (45 tahun), warga transmigran, di Desa Persiapan Erafagogoru, Kecamatan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara.
Banjir yang melanda beberapa wilayah di Halmahera Tengah pada Minggu (21/7/2024) lalu menyebabkan banyak kerugian terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat Weda, termasuk warga transmigran yang berada di kawasan transmigrasi Waleh, Desa Persiapan Erafagogoru.
Kawasan transmigrasi yang ditujukan untuk areal pertanian hortikultura lenyap diterjang banjir yang hadir dengan arus cukup deras dan ketinggian air yang tidak biasa. Imbasnya, lahan pertanian yang telah disemai benih dan bibit, hancur begitu saja. Tanpa sisa. Oleh karena itu kondisi terburuk dari produksi pertanian, yakni gagal panen, tidak dapat dielakkan.
Yon Ifnanto, warga transmigran asal Jawa Tengah, menjadi satu dari sekian banyak warga yang dirundung kemalangan akibat banjir yang terjadi. Lahan pertaniannya dilewati banjir selama berhari-hari. Petak-petak tanah yang sudah ia tanam berbagai jenis sayur-sayuran ludes. Setelah banjir surut, tidak satupun yang dapat ia tuai.
“Seharusnya kali ini saya tidak repot secara ekonomi, karena ada penghasilan. Tapi ternyata dengan datangnya banjir, ya, ada kerugian. Dari pupuk saja ada dua sak yang betul-betul mencair dan terseret arus. Belum lagi kondisi ladang yang rusak. Karena banjir, aktivitas saya terpaksa berhenti. Tidak ada lagi tanaman yang harus dirawat,” ujar Yon.
Sudah menetap di tanah Halmahera sejak tahun 2008 silam, Yon menceritakan bahwa banjir kerap kali datang saban tahun. Terutama ketika masuk ke musim penghujan. Saluran irigasi di hulu yang tak baik menjadi penyebabnya.
Gagal panen selalu ia derita setiap banjir datang. Tanaman yang terendam air dalam waktu lama menjadi busuk. Belum lagi arus air yang kuat membuat tanaman tercerabut dari akarnya dan kemudian hanyut.
“Banjir kemarin (21/7) jadi yang paling parah. Biasanya banjir cepat surut. Banjir pagi, siang sudah kering lagi. Tapi kemarin, banjir selalu datang hampir setiap pagi,” kata Yon.
Namun, tidak berhenti di aktivitas pertanian yang terganggu, banjir yang melanda ini membawa derita juga pada perkara air bersih.
“Rumah sudah jelas terkena aliran banjir. Barang-barang banyak rusak dan hilang juga. Yang paling susah itu sumur-sumur tempat kita mengambil air untuk cuci dan mandi jadi tercemar. Kotor. Sudah kotor jadi tambah kotor,” ujar Yon.
Banjir membawa material lumpur dan sampah, menyisakan air keruh di sumur-sumur yang sebelumnya sudah bermasalah. Di kawasan transmigrasi Waleh, masalah air bersih bukanlah hal baru. Sumur-sumur yang digali sering kali sia-sia karena air yang diperoleh terasa asin, tak layak konsumsi.
Ketika warga mencoba menggali sumur dengan kedalaman yang tidak terlalu dalam untuk mendapatkan air tawar, mereka justru menemukan air yang mengandung banyak material kapur. Akibatnya, air tersebut pun tidak dapat diminum karena berisiko menimbulkan gangguan kesehatan.
“Airnya asin dan terkandung kapur, jadi tidak bisa diminum. Banyak teman-teman saya yang mengeluh soal ginjalnya yang terganggu karena terpaksa minum air seperti ini,” keluh Yon.
Kondisi ini membuat para warga transmigran harus mencari alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari. Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan air hujan. Namun, air hujan hanya tersedia saat musim hujan, dan ketika musim kemarau tiba, persediaan air menjadi sangat terbatas.
“Kalau musim hujan, kami kumpulkan air hujan untuk diminum dan memasak. Tapi kalau musim kemarau, kami terpaksa beli air galon dari pedagang. Itu pun tidak murah,” jelas Yon.
Dengan penghasilan yang tidak menentu akibat seringnya mengalami gagal panen, pengeluaran tambahan untuk membeli air bersih menjadi beban tersendiri bagi warga transmigran di Waleh. Banyak dari mereka yang harus memilih antara membeli air bersih atau memenuhi kebutuhan pokok lainnya. Kondisi ini membuat kehidupan mereka semakin sulit dan rentan terhadap berbagai masalah kesehatan.
“Kalau memang pemerintah betul-betul mau membangun irigasi, jenis-jenis saluran air itu, kan, bisa dibagi-bagi. Saya rasa gak akan meluap dan jadi masalah. Salurannya lancar dan terawat. Kalau memang ada pembagian-pembagian air seperti itu,” ujar Yon.
“Kalau terus begini, kami hanya bisa berharap ada bantuan dari pemerintah. Baik itu untuk memperbaiki saluran irigasi agar banjir tidak sering terjadi, maupun menyediakan sumber air bersih yang layak untuk kami konsumsi,” tutup Yon.
Krisis air bersih yang melanda warga transmigran di Waleh, Desa Persiapan Erafagogoru adalah salah satu dari sekian banyak tantangan yang mereka hadapi. Namun, dengan semangat dan ketekunan, mereka terus berjuang untuk memperbaiki kondisi hidup mereka, berharap suatu hari nanti kehidupan yang lebih baik akan mereka rasakan. Karena Bumi Cuma Satu, Berdaya Sekarang. (MAA/DMC Dompet Dhuafa)