Inilah Tingkat Literasi Kebencanaan yang Jarang Diketahui

Kawan Baik, tahu tidak kalau tahun 2023 lalu, itu ternyata ada 5.400 kejadian bencana lho. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) rinciannya adalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terjadi 2.051 kali, cuaca ekstrim terjadi 1.261 kali, banjir terjadi 1.255 kali, tanah longsor terjadi 591 kali, kekeringan terjadi 174 kali, gelombang pasang dan abrasi terjadi 33 kali, gempa bumi terjadi 31 kali, dan erupsi gunung api terjadi 4 kali.

Aduh, jika dalam setahun ada 365 hari dan ada 5.400 kejadian bencana pada tahun 2023 lalu, maka setiap harinya ada 14-15 kejadian bencana dong. Jumlah tersebut jauh lebih banyak ketimbang jumlah mantan kekasih yang mimin punya.

By the way, dengan besarnya dan banyaknya jumlah bencana alam yang terjadi di Indonesia, Kawan Baik penasaran nggak sih dengan tingkat literasi masyarakat Indonesia tentang kebencanaan?

Karena pernah ada pepatah yang bilang, bahwa bangsa yang hebat adalah bangsa yang memiliki daya literasi yang tinggi. Dari mana kah pepatah ini? Sejujurnya mimin juga nggak tahu, soalnya mimin cuman mengarang saja.

Tetapi sejujurnya daya literasi perlu disebarluaskan dan dipetakan, supaya Kawan Baik, bisa mengetahui secara pasti program/kegiatan apa saja yang cocok untuk digencarkan dalam dunia penanggulangan bencana.

Sebuah jurnal yang berjudul Disaster literacy levels of individuals aged 18–60 years and factors affecting these levels: A web-based cross-sectional study (Genc dkk, 2022) mencoba memetakan tingkat literasi terhadap kebencanaan di negara Turki.

Sebanyak 2.134 orang berpartisipasi dalam studi ini yang di mana pengumpulan datanya dilakukan dengan menggunakan skala literasi bencana melalui Google Forms. Adapun populasi penelitian terdiri dari individu berusia antara 18 dan 60 tahun yang tinggal di Turki.

Di antara peserta, 33,8% pernah mengalami bencana sebelumnya, 18,2% di antaranya menyatakan bahwa mereka mengalami setidaknya satu jenis kehilangan harta benda (kehilangan harta benda, kehilangan kerabat, atau cedera). Ditemukan juga bahwa 47,8% peserta menerima pelatihan terkait bencana, 90,3% mengikuti berita terkait bencana, 16,6% memiliki perlengkapan bertahan hidup di rumah, dan 45,8% memiliki asuransi gempa bumi.

Sekitar 28,4% peserta memiliki tingkat literasi bencana yang kurang, 24,3% memiliki tingkat literasi bencana yang pas-pasan, 24,5% memiliki tingkat literasi bencana yang cukup, dan 22,8% memiliki tingkat literasi bencana yang sangat baik.

Dapat disimpulkan bahwa lebih dari 50% peserta diketahui memiliki tingkat literasi bencana yang tidak memadai/sedang saja. Artinya perlu digencarkan dan dimasifkan program-program edukasi kesiapsiagaan bencana di seluruh elemen masyarakat Turki.

Banyak faktor yang menunjukan berbedanya data yang ditemukan, salah satunya adalah media edukasi terbesar mereka berasal dari berita. Tentu ini berlaku untuk berita cetak maupun digital, sehingga mampu menjangkau lapisan yang lebih komprehensif.

Di satu sisi, media berita harus memprioritaskan atau bahkan mengagendakan pemberitaan dan informasi terkait kesiapsiagaan bencana, sehingga awareness masyarakat terhadap tema ini juga besar.

Dalam penelitian yang berbeda yang berjudul Research on Disaster Literacy and Affecting Factors of College Students in Central China (Zhang dkk, 2020). Penelitian ini melibatkan 7.200 mahasiswa dari 10 perguruan tinggi di 5 provinsi dan kota di Cina.

Dalam penelitian ini ditemukan sebanyak, 79,43% responden menyatakan keluarganya tidak siap menggunakan/mengenal alat-alat pencegahan/evakuasi bencana, sebanyak 96,36% menyarankan membentuk tim penyelamat darurat kampus, dan 88,64% memperoleh pengetahuan bencana melalui TV atau Internet.

Selain itu faktor-faktor seperti umur, jurusan, kelas, tempat tinggal, pendidikan orang tua, pekerjaan ibu, pengalaman bencana, pengalaman pelatihan bencana, dan kesiapsiagaan bencana keluarga berpengaruh signifikan terhadap literasi bencana mahasiswa, khususnya jenjang kelas pendidikan, kesiapsiagaan bencana keluarga, dan tempat tinggal.

Kemudian dalam jurnali lainnya yang berjudul Disaster literacy level of teachers and students in secondary school case study in Surakarta City, Indonesia ( Ajar dan Ronggowulan, 2022) melakukan survey terhadap 20 guru dan 82 siswa sekolah menengah dalam mengukur tingkat literasi kesiapsiagaan bencana.

Temuan dalam penelitian ini adalah pertama, kemampuan literasi informasi dalam mengetahui keakuratan dan kelengkapan informasi pada guru dan siswa sekolah menengah rendah karena hanya 5,5% guru dan 7,8% siswa yang mengkonfirmasi keakuratan informasi bencana, dan hanya 5,2% siswa yang ingin mencari tahu kebenaran informasi bencana.

Kedua, sebagian besar guru dan siswa sekolah menengah menggeneralisasi tanggapan mereka baik terhadap gejala bencana maupun informasi bencana, mereka akan segera mengungsi jika menerima gejala atau informasi bencana.

Siswa dan guru telah lulus tingkat dasar literasi bencana atau tingkat satu. Sebanyak 100% guru mengetahui dan memahami langkah-langkah evakuasi ketika terjadi bencana alam, mulai dari bencana geologi hingga bencana meteorologi. Pada siswa, terdapat 20% siswa yang belum mengetahui atau kurang memahami tentang evakuasi saat terjadi bencana.

Untuk evakuasi bencana gempa, sebanyak 50% guru dan 51,25% siswa langsung mengevakuasi diri keluar ruangan saat gempa terjadi. Hal serupa juga terjadi pada evakuasi banjir, hanya 20% guru dan 17,5% siswa yang mampu mengingat dan mengikuti prosedur evakuasi dengan benar.

Jika melihat kenyataan di atas yang berasal dari negara yang berbeda-beda, temuan dari penelitian di Turki dan Cina, cukup komprehensif. Lantaran disebutkan di Turki, setengah sampel penelitian belum memiliki daya literasi kesiapsiagaan terhadap bencana yang tinggi. Mesikipun demikian hampir setengah sampel sudah memiliki asuransi gempa bumi. Artinya walaupun mereka belum memiliki daya literasi yang tinggi, tapi mereka siap apabila terjadi bencana, bahkan mempersiapkan yang terburuk.

Di Cina sebanyak 79% mengaku keluarganya belum teredukasi terkait alat-alat yang dibutuhkan dalam penanggulangan bencana. Artinya mereka mengakui kalau keluarga adalah kelompok masyarakat yang rentan terhadap bencana alam. Meski mereka mendapatkan pengetahuan tentang bencana dari media manapun.

Di Indonesia di bawah 10% mengaku memiliki semangat untuk membuktikan kebenaran informasi terkait bencana alam yang ada di sekitar mereka. Hal ini menjelaskan sebagian besar potensinya mereka terpapar informasi palsu (hoax) tentang bencana.

Lantas Kawan Baik, apa pesan yang bisa kita petik dari penjabaran temuan di atas? Bahwa perjuangan dalam meningkatkan literasi kesiapsiagaan bencana belumlah selesai. Bahkan negara maju sekelas Turki dan Cina, pun memiliki masalah yang juga tidak kalah pelik. Artinya kolaborasi dari seluruh lapisan masyarakat perlu ditingkatkan dan digencarkan.

Kawan Baik, DMC Dompet Dhuafa percaya bahwa kebaikan itu bukan tanggung jawab satu atau dua pihak. Melainkan berbagai pihak, namun akan jauh lebih kuat bahkan lebih berdampak, apabila kolaborasi itu datang dan ditujukan untuk masyarakat: dari dan untuk masyarakat.

Masyarakat adalah garda terdepan dalam penanggulangan bencana, sekaligus sebagai penyintas terdampak bencana. Merekalah yang paling cepat, dan paling dekat apabila bencana alam hadir. Maka dari itu Kawan Baik, mari turut serta bersama DMC Dompet Dhuafa dalam mewujudkan masyarakat tanggap dan tangguh hadapi bencana. Karena Bumi Cuma Satu, Berdaya Sekarang. (AFP/ DMC Dompet Dhuafa)