Mengapa Pembangunan Kerap Abai Terhadap Ancaman Bencana Alam di Sekitarnya

Mula-mula apa yang muncul ketika ada pihak yang hendak melakukan proyek pembangunan di wilayah sekitarnya?

Bagi mahasiswa mungkin akan memikirkan tempat kos-kosan yang murah, bagi pasangan suami-istri yang baru akan berharap kontrakan yang murah, bagi pelaku usaha akan berharap ruko-ruko yang murah.

Semua orang akan berharap pembangunan tentu membawa manfaat, namun apa jadinya apabila pembangunan itu justru membawa petaka?

Tanah air sempat diramaikan dengan seorang figur publik yang hendak mendirikan tempat penginapan sekaligus tempat rekreasi di Pantai Krakal, Desa Ngastiharjo, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Tentu dengan hadirnya pembangunan tempat rekreasi baru akan membuka peluang lowongan kerja baru. Hal ini tentu akan kesempatan yang bagus untuk penyerapan tenaga kerja.

Akantetapi wilayah Gunungkidul memiliki rekam jejak ancaman kekeringan. Tahun lalu ia termasuk ke dalam kabupaten yang mengalami kekeringan, bersanding dengan wilayah Bantul, Kulon Progo, dan Sleman.

Tahun 2020 saja, ada 80 desa di Gunungkidul yang mengalami kekeringan. Jumlah tersebut sudah termasuk 56 persen dari total desa yang berada di Gunungkidul.

Artinya apabila ada pembangunan tanpa perencanaan matang terhadap bahaya dan ancaman benca alam sekitarnya, pembangunan tersebut akan memperburuk bahaya kekeringan di wilayah Gunungkidul.

“Wilayah Pantai Krakal  masuk dalam zona perlindungan air tanah. Kawasan pantai Krakal mempunyai sungai bawah tanah dan mata air bawah tanah yang juga merupakan cadangan air bagi warga di sekitarnya,” tulis dalam siaran pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) (26/12/2023).

“Meskipun mempunyai sungai bawah tanah, kapanewon Tanjungsari merupakan wilayah yang rawan kekeringan. Pembangunan resort yang mulai dibangun pada tahun 2024 dan akan selesai pada tahun 2025 semakin memperparah kekeringan di kapanewon Tanjungsari,” lanjut WALHI.

Ini hanyalah satu contoh saja pembangunan yang diduga abai terhadap ancaman bencana alam di sekitarnya.

Contoh lain misalnya pembangunan PLTA Batang Toru yang berada di lokasi rawan gempa bumi, pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) dekat wilayah rawan bencana gunung berapi, pembangunan Kawasan Industri Millenium di daerah rawan longsor, Jalan lingkar Gorontalo, atau disebut juga Gorontalo Outer Ring Road (GORR) berada di wilayah rawan bencana seperti longsor dan gempa, pembangunan gerai di objek daya tarik wisata (ODTW) Panyaweuyan yang berada di wilayah rawan banjir dan longsor.

Masih banyak lagi contoh yang bisa dipaparkan namun tidak bisa disebutkan satu-persatu. Kenyataan di atas membuat kita semua bertanya-tanya, ”mengapa pembangunan kerap abai terhadap ancaman bencana alam di sekitarnya?”

Pembangunan selalu melibatkan banyak pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat dan pelaku usaha besar. Namun hanya pemerintah dan pelaku usaha besar atau korporat bisnis memiliki andil besar dalam pembangunan, mengingat posisi mereka sebagai pemangku kebijakan sekaligus inventor  memungkinan membuat pembangunan besar-besaran di masyarakat.

Dalam laporan yang berjudul The Responsible Business Trends Report (2018) oleh David Grayson, Louise Scott dan Holy Ranaivozanany dari Ethical Corporation menemukan data yang menarik.

Laporan yang berasal dari survei 1.500an pelaku bisnis di seluruh dunia, mencatat bahwa di antara responden, sebanyak 75 persen percaya ekonomi keberlanjutan berdampak langsung pada struktur dan tanggung jawab/citra perusahaan.

Lebih jauh dijelaskan sebanyak 75 persen percaya bahwa perusahaan mereka sangat mengenyam semangat gaya hidup atau ekonomi berkelanjutan.

Kenyataan ini didukung bahwa sebanyak 56 persen mengaku memliki pendapatan yang meningkat lewat semangat keberlanjutan ini.

Akantetapi kenyataan ini menjadi ambigu ketika mereka ditanya apakah dampak kebijakan/produk mereka yang memiliki nilai keberlanjutan sudah terukur dengan baik.

Sebanyak 55 persen responden kurang memiliki keyakinan yang pasti. Setengah dari responden yakni sebesar 49 persen tidak mengintegrasikan Tujuan Pembangunan Keberlanjutan (SDGs) sebagai kerangka kerja untuk melaporkan dan mengomunikasikan dampak keberlanjutan perusahannya.

Terakhir sebanyak 56 persen mengaku tidak mencatat dampak ekonomi/gaya hidup berkelanjutan ke dalam Tujuan Pembangunan Keberlanjutan.

Kenyataan di atas bisa disimpulkan bahwa semangat untuk memulai bisnis keberlanjutan sudah mulai timbul, namun hanya segelintir yang berusaha untuk mengintegralkan semangat-semangat keberlanjutannya ke dalam bisnis. Selebihnya hanya memandang sebatas citra/kesan untuk menarik konsumen

“[Bisnis berkelanjutan] adalah sebuah gerakan yang masih mengumpulkan momentum dan otoritas. Ada juga perbedaan besar [antara] mereka yang mencoba menjadikan keberlanjutan sebagai bagian dari strategi bisnis inti mereka dan mereka yang masih melihatnya sebagai ‘tambahan,” ujar Lord Mark Malloch-Brown, mantan ketua Komisi Bisnis dan Pembangunan Berkelanjutan yang juga mantan wakil sekretaris jenderal PBB, mengutip dari The Guardian (30/09/2016).

Sederhananya pembangunan yang ramah lingkungan, yang peka terhadap kondisi lingkungan dan yang sadar akan ancaman bencana di sekitarnya akan sulit digapai karena cara konvensional masih jauh lebih efisien dan cepat.

Hal ini diperburuk apabila mereka hanya mengklaim telah melakukan ini dan itu yang dinilai ramah terhadap lingkungan padahal sebenarnya tidak (greenwashing).

Perilaku seperti ini membahayakan masyarakat, karena mereka adalah aktor/pekerja sekaligus konsumen/penerima manfaat dari semua pembangunan yang ada di sekitar mereka.  Sehingga tidak mengherankan apabila masyarakat menolak berbagai program pembangunan.

Mulai dari kasus penolakan pembangunan pabrik semen di Manggarai Timur, penolakan pembuatan jalan di Desa Dalu, penolakan relokasi Pulau Rempang, menolak pembangunan waduk lombo, dan penolakan atas pembangunan stockpile batu bara di Muaro Jambi. Bahkan presiden Joko Widodo cukup heran dengan kenyataan seperti ini.

Atas dasar ini, ada baiknya pembangunan harus dimotori dengan semangat ramah lingkungan dan mawas terhadap kondisi lingkungan sekitar. Mulai dari ancaman bahaya bencana alam, latar belakang masyarakat, kondisi finansial masyarakat dan lainnya. Hanya dengan demikian, pembangunan dapat mencapai momentum terbaiknya dalam memberikan manfaat serta berkah kepada masyarakat. Karena Bumi Cuma Satu, Berdaya Sekarang. (Penulis: AFP/ Fotografer: OKI/ DMC Dompet Dhuafa)