Rangkuman Perasaan Manusia itu Bernama Hujan

oleh: Muhammad Imam Muttaqiin

Hujan bukan hanya sebatas semangkuk indomie kuah panas dengan irisan cabai. Menghangatkan, mengenyangkan, dan menyenangkan. Lebih dari itu hujan menghadirkan cerita bagi masing-masing individu yang mengalaminya. Sekali lagi, hujan tidak hanya menawarkan tentang kerinduan dan percintaan namun setiap tetes air yang turun dari awan menyimpan ceritanya masing-masing.

Jika kita beranjak sejenak dari hari ini dan menoleh kembali ke masa kita masih duduk di bangku sekolah tentu kita akan mengingat apa itu siklus hidrologi. Proses perputaran air dari laut menjadi awan, terkondensasi yang dikarenakan angin bertiup membawanya menuju daratan dan turun dalam bentuk tetesan-tetesan air yang disebut hujan. Siklus ini akan terus berlaku selama dunia ini masih ada. Merawat keseimbangan untuk menjaga ketersediaan air di dunia. Namun pernahkah kalian berpikir air yang sama akan turun di tempat yang sama berulang kali? Tentunya dengan menyimpan dan membawa cerita serta rahasia yang berbeda.

Belum pernah ada penelitian yang menjawab pertanyaan tersebut. Namun penulis meyakini air yang sama dapat jatuh di tempat yang sama berulang kali. Mungkin di saat pertama kali turun, hujan membawa cerita bahagia, menuju kembali ke hilir di mana air hujan itu berasal. Kesempatan kedua bisa jadi hujan membawa berita duka untuk diceritakan kepada kawan di kampung halamannya. Kali ketiga mungkin hujan sedang murung mendengar perundungan yang diterima dan rekaman perasaan-perasaan manusia lain yang dibawanya. Semua direkam dan disimpan rapi menjadi sebuah rangkuman oleh hujan.

Akan tetapi di Indonesia ada kecenderungan untuk meromantisasi hujan. Hujan selalu dikaitkan dengan percintaan dan kerinduan. Banyak lagu dan puisi romansa terlahir atas jasa hujan. Sebagaimana lagu “Hujan” dari grup band Utopia dengan liriknya yang melegenda. Aku selalu bahagia saat hujan turun karena aku dapat mengenangmu untukku sendiri. Hujan juga menjadi inspirasi penulis ternama Indonesia Bapak Sapardi Djoko Damono dengan novel “Hujan Bulan Juni”. Novel yang menceritakan tentang sepasang kekasih Sarwono dan Pinkan yang harus menjalin kisah asmara jarak jauh dan hampir berakhir getir karena Sarwono jatuh kritis terkena paru-paru basah. Memang indah dan selalu mengundang gairah pembaca, cerita-cerita hujan yang disandingkan dengan romansa.

Bagaikan pungguk yang merindukan bulan. Harapan bahwa hujan benar-benar hanya membawa kisah romansa yang menghangatkan harus ditepikan sejenak. Dalam realitanya justru hujan tak sungkan membawa berita duka. Kita bisa melihat bersama apa yang dialami oleh saudara kita di Grobogan dan Demak. Hujan menyebabkan banjir dahsyat yang menghanyutkan harta benda dan nyawa, bahkan saat tulisan ini dibuat kondisi di sana masih belum jauh berubah. Di belahan dunia yang lain Libya harus menanggung duka itu. Dilansir dari CNBC Indonesia setidaknya 5.000 orang meninggal dunia dan 10.000 orang hilang disebabkan bendungan yang runtuh tak mampu menampung air yang bertambah akibat curah hujan tinggi di penghujung tahun 2023. Bagaikan sebuah kejutan dalam cerita, kisah romansa berubah menjadi kisah duka.

Lain halnya dengan perasaan penjual es yang bertemu hujan. Penjual es oyen, es sari tebu, es cendol, dan penjual es-es yang lain sepakat hampir membenci hujan. Hujan dianggapnya malapetaka. Hujan dinilainya menjadi penghalang rezekinya. Setidaknya itu yang diungkapkan salah satu penjual es tebu di Batam yang penulis dapatkan dari batamnews.com dan tentunya hujan merekam perasaan itu. Pada setiap keluhan penjual es, hujan ingin sekali meminta maaf. Bukan pula kehendaknya untuk jatuh dari awan saat penjual-penjual itu sedang berdagang. Maka dari sini sedikit banyak kita mulai menyadari bahwa hujan tidak selalu membawa kebahagiaan.

Tak jarang hujan juga hadir sebagai alasan kejengkelan dan umpatan. Pada kekasih yang telah berjanji berjumpa. Pada anak yang ingin berbakti kepada orang tua. Pada pelajar yang ingin menimba ilmu untuk bekal masa depan. Pada pengojek yang harus menepikan kendaraannya. Pada pengendara motor yang harus merogoh kocek membetulkan motornya. Bahkan pada harapan ibu- ibu rumah tangga yang menjerit harga beras naik, gula naik, minyak naik, dan harga sembako lainnya juga ikut merangkak naik untuk segera turun namun kenyataannya hanya hujan yang turun. Maka pada semuanya hujan merekam perasaan itu. Bukan perkara mudah menerima dan menyimpan perasaan tiap-tiap manusia. Membawanya ke hilir sebelum nantinya akan kembali lagi berjumpa manusia.

Dan salah satu manusia itu adalah saya. Namun bagi saya hujan adalah teman. Hujan adalah teman yang merekam perasaan-perasaan saya yang menguar. Senang, sedih, jengkel, duka, lara, rindu, tentram, keluhan, bahkan umpatan. Padanya diri ini mampu mengutarakan semua yang tak mampu diutarakan kepada sesama manusia. Padanya kisah saya bermula dan berakhir. Padanya rahasia saya disimpan rapat-rapat. Hujan selalu mendengarkan tanpa menghakimi. Itulah alasan saya selalu merindukan hujan. Walaupun hujan tak jarang menghadirkan perasaan-perasaan yang tak diinginkan, perasaan duka dan menderita.

Pernah suatu malam saya menangis menahan kerinduan kepada keluarga. Kepada Ibu yang telah membesarkan dan merawat saya. Menangis sendiri di sudut kamar kost di tanah asing, tanah perantauan. Tangisan yang begitu menyesakkan. Hanya kebaikan hujan yang berkenan menyamarkan tangisan itu dengan suara tetesan airnya. Menemani saya tumbuh dan berkembang menjadi dewasa di negeri orang. Hujan juga pernah menghadirkan kebahagiaan. Masa kanak-kanak yang menjadi saksi. Berlari kesana kemari menikmati hujan dengan penuh canda tawa. Sebelum akhirnya omelan Ibu harus saya dengarkan. Hujan juga menyimpan perasaan saya tentang duka. Menjadikannya saksi bisu tangisan Ibu dan anak-anaknya yang kehilangan sosok suami dan Ayah. Sungguh hujan telah merangkum semua. Merangkum perasaan saya dan perasaan seluruh umat manusia.

Oleh karenanya hujan sangatlah istimewa. Hujan memiliki doa dan kita senantiasa diminta berdoa ketika hujan menyapa. Allahumma shoyyiban nafi’an. Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat. Hujan yang membawa kabar gembira. Pada petani yang menjadikan sawahnya tersirami. Pada orang-orang yang merindukan ketenangan sebab aroma petrikor. Pada bumi panas yang menjadikannya sejuk. Pada tanaman-tanaman yang memuji Tuhannya karena berhasil melepas dahaga. Dan pada semangkuk indomie kuah panas dengan irisan cabai yang menjadikannya semakin nikmat.

Foto merupakan dokumentasi pribadi penulis